Mataku menyipit menatap rumah sebesar ini. Pasti pemiliknya bukan orang sembarangan, aku menatap dari balik kaca gelap van yang sudah ditutup kembali oleh Bang Napi. Ia seperti menyiapkan diri sebaik mungkin.Aku mengernyitkan dahi, kembali berpikir. Apa rumah ini peninggalan masa-masa di era colonial?Arsitekturnya menunjukkan hal tersebut. Deretan tiang dengan lapisan marmer di sekeliling rumah. Halaman yang luas, penuh dengan taman-taman hijau yang terawat. Jalan pribadi dengan tatakan batu kali yang rapat dan tampak terawat. Hutan-hutan buatan sebelum mencapai villa.Mobil van kami berhenti di depan rumah kuno namun menawan tersebut. Serta merta, aku turun dengan hati berdebar. Di sampingku, Bang Napi cengar cengir, dan tersenyum lega. Dia agak gugup, tapi bisa mengatasinya dengan baik.Seseorang—mungkin kepala pelyan tempat ini keluar dari dalam rumah. Aku takjub masih ada orang atau mungkin keluarga yang mempekerjakan abdi dalem di dunia yang begitu modern. Eh, apa dia ini abdi
"Aku ingin menyegarkan diri. Di sini aman, tidak ada yang mengganggu. Mereka pasti segan dengan Juan, termasuk keluargaku." Suaranya menggantung. Penuh kalimat tanda tanya. Maksudku, aku yang bertanya-tanya dan berusaha mencernanya.Aku berusaha memercayainya. Biru sedikit berbeda hari ini. Iya, ini sudah kukatakan berulang kali kan?"Kenapa Pak?" Duh, lancang benar mulutku.Ia memandangiku, serasa seperti mengulitiku dari ujung hijabku, hingga rok span yang sepertinya aneh dilihatnya."Kau terlalu rapi, Jani. Seperti sedang membawakan acara berita politik." Ia seperti tersenyum lebar."Ini kan protokoler talk show, Pak?""Ini hanya wawancara pribadi, Jani. Apa tak kau pelajari materinya?""Sudah Pak. Berulang kali," sahutku cepat.Ia menyandarkan punggung di kursi."Aku suka di sini. Juan betul-betul hebat. Rumah ini kebal dari ancaman nyamuk pers dan orang-orang usil," ia tertawa kecil, "lalu, kapan kita mulai wawancara?"Bang Napi berdehem, kemudian menoleh ke salah satu anggota ti
"Kamu berkeringat, Jani."Suara Biru terdengar jauh, apa benar? Bukankah di sini hawanya sangat dingin? Tidak sedingin di Bromo sana, tapi tetap dingin ketimbang Surabaya yang panas, lembab, dan lengket.Aku menggeleng, "Tidak apa-apa, Pak."Ia mengerutkan kening mendengar jawabanku. Aku hanya tersenyum hambar, sementara perutku merasa diaduk-aduk. Ke mana timku tadi? Apa mereka menyiapkan tempat untuk wawancara nanti?Aku melihat bayang-bayang mengabur, dan kepalaku terasa berputar-putar. Sementara suara Biru terdengar jauh. Ia begitu jauh. Hingga aku merasa semua terasa gelap.OOOSaat aku membuka mata, aku tidak melihat bayangan anggota timku di sini. Kelambu berwarna putih, berderak-derak di antara angin dingin yang lewat melalui jendela.Kamar ini terlalu besar untukku, mirip kamar-kamar dalam film klasik historical romance. Kamar bergaya Eropa di abad ke-18 atau ke-19. Kamar-kamar putri Bridgertone, bangsawan Inggris. Ini di mana? Apa aku sedang berhalusinasi?Ruangan terasa tem
"Jangan takut, ini aku Jani." Ia berkata samar, duduk di sandaran tempat tidur yang terbuar dari kayu pilihan. Ia tampak baru terbangun, ia mengucek matanya. Melihatku dalam keadaan paling jelek sedunia.Biru meletakkan kakinya di atas lantai."Aku kedinginan, Pak," ucapku dengan gemetar, "aku mau ke toilet, Pak." Aku seperti anak TK, ia berdiri membimbingku dengan telaten. Di mana toiletnya?Oh ternyata di sini. Ada sebuah pintu besar berukir keemasan. Aku membukanya. Ia sedikit menjauh. Lalu, aku masuk ke dalam. Toilet hotel di sebuah istana di atas bukit. Bagus benar nasibku hari ini.Aku mengejang, perutku terasa diaduk-aduk. Aku kembali mengeluarkan isi lambungku. Kali ini lebih leluasa, karena Biru tidak ada di sini. Aku melihat deretan pasta dan sikat gigi yang masih baru. Semua berlabel hotel de Borgh. Aku di mana ini?Aku menggosok gigi. Merasakan betapa mengesalkan ritual ini di saat badanku terasa sakit. aku merapikan pakaianku. Aku harus mengganti bajuku ini. Baju rapi, d
Aku terbangun. Rasanya masih gelap dan samar-samar. Ruangan masih seperti berputar, aku ingin duduk tapi terhuyung-huyung. Lidahku seperti terbelit di mulut. Aku ingin bersuara, tapi rasanya begitu pahit."Kau bangun lagi," Biru mendekat seperti bayangan dalam kegelapan, sebentuk wajah yang akrab di dalam lift, di dalam resto, dan di dalam kantornya yang megah dan mewah. Betul-betul bukan kelasku.Aku menyipitkan mata, masih bingung apakah ini mimpi ataukah bukan? Ia duduk di sebelahku. Bajunya masih kaos kasual yang tidak jelas warnanya, masih tampak memburam dan aneh. Kaos itu lengket di tubuhnya, sehingga aku bisa dengan jelas dan samar melihat otot dada dan perutnya.Ada apa dengan otakku ini, heh?"Aku kedinginan," tanganku meraba hijabku yang tampak miring dan awut-awutan, "apa Bapak melihat rambutku?" aku mendelik, tapi bahuku terasa kuyu."Kamu masih demam, harusnya minum air dan obat," ia memberikan segelas air. Aku menerimanya, tanganku gemetar. Setelah menelan pil, rasanya
"Saya nggak pernah lihat Bapak pakai kaus begini.""Iya, kau sudah bilang kemarin.""Krem, putih, biru garis-garis, biru muda, biru tua, hijau telur asin, hitam," aku menghitung dengan memberi isyarat jariku. Terasa melayang jauh. "Kenapa kau ini?" ia bertanya, senyumnya semakin lebar."Itu warna kemeja Bapak, dalam seminggu. Ada jadwalnya," aku mengoceh semakin aneh. Seperti lepas, tak terkendali. Ada apa aku ini?"Iya, aku mengaturnya. Lajang yang tidak diurus siapapun.""Seharusnya kemeja Bapak bisa lebih variative, agar tidak tertebak olehku.""Kenapa?" ia bertanya seolah aku ini balita, dan dia pengasuhnya.Kenapa wajah dan bajuku berantakan? Pasti aku sangat jelek di matanya. Gadis sakit yang menjengkelkan dan cerewet. Seharusnya, aku memakai gaun yang anggun, senada dengan ruangan klasik ini. Itu akan terasa dramatis seperti rumah ini. Istana di atas gunung."Agar lebih misterius." Aku menyahut, semakin melantur."Kau masih mengigau.""Saya haus Pak."Ia memberikan segelas air
Aku masih duduk memandangi Langit Biru yang terkapar lelah tak jauh dariku, di atas sofa klasik dalam kamar istana di atas gunung. Aku tersenyum, sedikit takut kalau ia terbangun. Apa ia akan terbangun?Aku masih duduk dengan hati-hati, ruangan diterangi cahaya matahari yang kekuningan dan berpendar bagus di dalam ruangan luas ini. Aku melihat dari jauh ranjang putri bangsawan Inggris—milik putri-putri Bridgertone, di sekitarnya berserakan handuk, waslap, wadah bersih, sebungkus plastik berisi obat-obatan yang diberi catatatan khusus dan thermometer.Tasku yang besar dan tampak lesu menggantung di sebuah kursi dan meja—seperti meja rias. Aku bangkit, berusaha mencari gawaiku yang menghilang entah ke mana. Aku merogoh tas besar, mengaduk aduk isinya hingga menemukan gawaiku tampak gelap, kehilangan baterai. Bagus benar di saat seperti ini.Aku berjalan ke samping ranjang besar, meraih thermometer di atas nakas, meletakkannya sebentar di mulut. Rasa-rasanya demamku sudah turun.Aku ter
"Kamu melihatku dengan aneh, Jani." Ia tertawa.Aku merasakan pipiku bersemu merah dan menghangat."Kau pasti sudah lebih baik, bisa melihatku seperti itu.""Saya—saya," aku tidak meneruskan kalimatku. Aku melihatnya melangkah menuju pintu, sementara hatiku diserang rasa panik ketika ia membuka pintu besar itu dan menoleh.Aku terburu-buru menyusulnya, lalu ia melihatku."Kau tak perlu buru-buru mengusirku, Jani." Dia memberi isyarat, "Aku mau ke kamarku di sana, di ujung koridor dekat taman. Kalau kau tersesat di rumah ini, kau bisa tanya aku atau asisten di sini. Mereka baik-baik, walaupun tampak bisu.""Iya, Pak. Terima kasih," kataku parau.Dia menghentikan langkahnya, tangannya ada di pegangan pintu, "kau harus tidur lagi. Istirahat yang banyak, ohya minum lagi dua pil setelah bangun nanti."Ia seperti bimbang, setelah melihatku mengangguk cepat, "Baik. Kau bisa tidur lagi, aku tak akan mengganggumu Jani."Begitulah hal yang terasa aneh."Jangan menceritakan ini pada biang gosip