"Jangan takut, ini aku Jani." Ia berkata samar, duduk di sandaran tempat tidur yang terbuar dari kayu pilihan. Ia tampak baru terbangun, ia mengucek matanya. Melihatku dalam keadaan paling jelek sedunia.Biru meletakkan kakinya di atas lantai."Aku kedinginan, Pak," ucapku dengan gemetar, "aku mau ke toilet, Pak." Aku seperti anak TK, ia berdiri membimbingku dengan telaten. Di mana toiletnya?Oh ternyata di sini. Ada sebuah pintu besar berukir keemasan. Aku membukanya. Ia sedikit menjauh. Lalu, aku masuk ke dalam. Toilet hotel di sebuah istana di atas bukit. Bagus benar nasibku hari ini.Aku mengejang, perutku terasa diaduk-aduk. Aku kembali mengeluarkan isi lambungku. Kali ini lebih leluasa, karena Biru tidak ada di sini. Aku melihat deretan pasta dan sikat gigi yang masih baru. Semua berlabel hotel de Borgh. Aku di mana ini?Aku menggosok gigi. Merasakan betapa mengesalkan ritual ini di saat badanku terasa sakit. aku merapikan pakaianku. Aku harus mengganti bajuku ini. Baju rapi, d
Aku terbangun. Rasanya masih gelap dan samar-samar. Ruangan masih seperti berputar, aku ingin duduk tapi terhuyung-huyung. Lidahku seperti terbelit di mulut. Aku ingin bersuara, tapi rasanya begitu pahit."Kau bangun lagi," Biru mendekat seperti bayangan dalam kegelapan, sebentuk wajah yang akrab di dalam lift, di dalam resto, dan di dalam kantornya yang megah dan mewah. Betul-betul bukan kelasku.Aku menyipitkan mata, masih bingung apakah ini mimpi ataukah bukan? Ia duduk di sebelahku. Bajunya masih kaos kasual yang tidak jelas warnanya, masih tampak memburam dan aneh. Kaos itu lengket di tubuhnya, sehingga aku bisa dengan jelas dan samar melihat otot dada dan perutnya.Ada apa dengan otakku ini, heh?"Aku kedinginan," tanganku meraba hijabku yang tampak miring dan awut-awutan, "apa Bapak melihat rambutku?" aku mendelik, tapi bahuku terasa kuyu."Kamu masih demam, harusnya minum air dan obat," ia memberikan segelas air. Aku menerimanya, tanganku gemetar. Setelah menelan pil, rasanya
"Saya nggak pernah lihat Bapak pakai kaus begini.""Iya, kau sudah bilang kemarin.""Krem, putih, biru garis-garis, biru muda, biru tua, hijau telur asin, hitam," aku menghitung dengan memberi isyarat jariku. Terasa melayang jauh. "Kenapa kau ini?" ia bertanya, senyumnya semakin lebar."Itu warna kemeja Bapak, dalam seminggu. Ada jadwalnya," aku mengoceh semakin aneh. Seperti lepas, tak terkendali. Ada apa aku ini?"Iya, aku mengaturnya. Lajang yang tidak diurus siapapun.""Seharusnya kemeja Bapak bisa lebih variative, agar tidak tertebak olehku.""Kenapa?" ia bertanya seolah aku ini balita, dan dia pengasuhnya.Kenapa wajah dan bajuku berantakan? Pasti aku sangat jelek di matanya. Gadis sakit yang menjengkelkan dan cerewet. Seharusnya, aku memakai gaun yang anggun, senada dengan ruangan klasik ini. Itu akan terasa dramatis seperti rumah ini. Istana di atas gunung."Agar lebih misterius." Aku menyahut, semakin melantur."Kau masih mengigau.""Saya haus Pak."Ia memberikan segelas air
Aku masih duduk memandangi Langit Biru yang terkapar lelah tak jauh dariku, di atas sofa klasik dalam kamar istana di atas gunung. Aku tersenyum, sedikit takut kalau ia terbangun. Apa ia akan terbangun?Aku masih duduk dengan hati-hati, ruangan diterangi cahaya matahari yang kekuningan dan berpendar bagus di dalam ruangan luas ini. Aku melihat dari jauh ranjang putri bangsawan Inggris—milik putri-putri Bridgertone, di sekitarnya berserakan handuk, waslap, wadah bersih, sebungkus plastik berisi obat-obatan yang diberi catatatan khusus dan thermometer.Tasku yang besar dan tampak lesu menggantung di sebuah kursi dan meja—seperti meja rias. Aku bangkit, berusaha mencari gawaiku yang menghilang entah ke mana. Aku merogoh tas besar, mengaduk aduk isinya hingga menemukan gawaiku tampak gelap, kehilangan baterai. Bagus benar di saat seperti ini.Aku berjalan ke samping ranjang besar, meraih thermometer di atas nakas, meletakkannya sebentar di mulut. Rasa-rasanya demamku sudah turun.Aku ter
"Kamu melihatku dengan aneh, Jani." Ia tertawa.Aku merasakan pipiku bersemu merah dan menghangat."Kau pasti sudah lebih baik, bisa melihatku seperti itu.""Saya—saya," aku tidak meneruskan kalimatku. Aku melihatnya melangkah menuju pintu, sementara hatiku diserang rasa panik ketika ia membuka pintu besar itu dan menoleh.Aku terburu-buru menyusulnya, lalu ia melihatku."Kau tak perlu buru-buru mengusirku, Jani." Dia memberi isyarat, "Aku mau ke kamarku di sana, di ujung koridor dekat taman. Kalau kau tersesat di rumah ini, kau bisa tanya aku atau asisten di sini. Mereka baik-baik, walaupun tampak bisu.""Iya, Pak. Terima kasih," kataku parau.Dia menghentikan langkahnya, tangannya ada di pegangan pintu, "kau harus tidur lagi. Istirahat yang banyak, ohya minum lagi dua pil setelah bangun nanti."Ia seperti bimbang, setelah melihatku mengangguk cepat, "Baik. Kau bisa tidur lagi, aku tak akan mengganggumu Jani."Begitulah hal yang terasa aneh."Jangan menceritakan ini pada biang gosip
Ini hari yang menjengkelkan, karena aku harus masuk kantor. Setelah mengajukan izin selama dua hari.Bagus benar aku ini.Pegawai baru yang suka izin karena sakit. Selain itu, aku juga telah membuyarkan proyek tim yang dibanggakan Bos Tisu. Apa nanti komentarnya kalau bertemu denganku?Wajahku masih sepucat kapas, dan aku melihat hantu di dalam cermin. Wajah-wajah baru sakit begini tidak akan membuat siapapun kagum. Itu hal yang pasti. Namun, aku tidak peduli.Ini hari Kamis, hari kemeja krem dan dasi Biru bergaris-garis tipis. Aku melirik jas Biru yang sudah ku-laundry dan kumasukkan dalam kemasan plastik yang wangi. Aku bisa membawanya nanti kan? Apa itu bisa? Harusnya bisa sih, tidak apa-apa. Tidak akan ada seorang pun menganggap ini semua skandal.Oke. Aku akan berterus terang sekarang. Aku hanya ingin menegaskan kalau aku bersedia berteman dengannya, bosku yang sombong dan sok cakep itu.Kami setidaknya sudah tertatih-tatih di jurang pertemanan. Mungkin sulit, bagi Biru--menging
Aku merasa seperti melayang-layang saat masuk ke dalam Terios-nya. Aku duduk di sampingnya, ia tersenyum melihatku mendekap rangkaian tulip di dadaku. Sementara pikiranku mengembara jauh.Begitu jauhnya seperti aku melayang-layang di antara awan. Lalu, apa yang sedang ada dalam pikiranku sekarang? Maaf, sudah membuat sarapanmu berantakan. Apa itu dari Biru?Aku menutup mulutku dengan dramatis, seperti seorang model yang sedang kaget. Mau ditaruh mana mukaku ini? Aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih padanya saat ia menyinggung buket mawar itu.Ya, Tuhan. Bodoh sekali aku ini."Kenapa Jani? Kau tampak sedikit pucat? Kau baik-baik saja?" Argo mengemudikan mobilnya dengan santai, melewati barisan mobil dan kendaraan lain dengan mulus.Aku menggeleng, "Aku baru saja sembuh, kemarin lalu demam.""Kenapa tak kau telepon aku? Aku bisa membantumu."Sudah ada yang merawatku. Tentu saja itu jawabanku dalam hati. Aku menghargai perilaku Argo yang ingin menjalin persahabatan kembali. Jadi,
"Apa kau harus membawa pacarmu itu ke sini sepagi ini?" hardik Biru, tiba-tiba. Ia berdiri dari kursinya, dan menatapku lurus-lurus.Aku balik menoleh, apa ia bicara padaku. Tentu saja, ya Tuhan. Keributan belum berakhir."Aku tidak membawanya Pak, dia membuntutiku sejak dari kos," bagus sekali sekarang Biru mengerti kalau Argo menjemputku dari sana."Oh, jadi sopir pribadi, tukang antar jemput?"Aku mengkerut di tempatku. Aku masih belum menyalakan computer meja, jadi rangkaian tulip ini terasa menyolok sekali. Sesekali mata Biru menatap rangkaian bunga di mejaku.Bagus benar, pagi ini.Beruntung, hanya ada aku dan dia serta para petugas kebersihan yang lalu lalang dengan cuek. Di mana Bos Tisu? Atau Mbak Tina, mungkin? Yang bisa menyelamatkan aku dari amukan Biru yang aneh."Jadi, begini Pak. Argo tiba-tiba ke kos, lalu menjemput. Dia masuk, saya mendaftarkannya sebagai tamu di lobi, dia sudah mendaftar secara resmi sebagai tamu. Di masuk lift, lalu dia ikut ke sini. Hanya itu saja,