“Sayang, kita kan udah pacaran lama. Kamu Gak ada niatan untuk ngenalin aku ke keluarga kamu gitu?” tanya Cherry saat mereka tengah berduaan di apartemen Zein.
Zein diam sejenak, kemudian menjawab dengan senyum merekah. “Ada dong.”
Bola mata Cherry berbinar mendengar jawaban Zein, ia menatap lelaki itu untuk meminta penjelasan. “Kapan?”
“Nanti.”
“Hmmm, oke deh.” Cherry tak mau bertanya lebih jauh, ia tak ingin mencari keributan dengan lelaki itu.
“Maaf kalau aku terkesan cuek dan gak peduli. Tapi, kamu harus tahu kalau aku itu sayang sama kamu,” ungkap Zein yang sontak membuat hati Cherry berbunga.
Memang benar yang dikatakan Cherry, mereka berpacaran sudah cukup lama. Namun, hingga kini tak ada tanda-tanda bahkan pembicaraan yang mengarah ke jenjang yang lebih serius. Sebagai wanita, tentu saja Cherry ingin mendengar keseriusan dari lelaki yang dicintainya. Apalagi saat
“Siapa sosok di balik lingerie merah itu?”Ekspresi kesal Zein kembali terlihat. Wajahnya tampak mengeras, menandakan laki-laki itu tak suka dengan pertanyaan Cherry. “Bisa kita bahas soal lingerie itu nanti aja?”“Gak bisa,” tegas Cherry. “Aku mau sekarang,” sambungnya.“Cher, nurut sama aku bisa, kan?” Zein memberikan tekanan di setiap katanya.“Zein…”“Sayang, lihat aku.” Zein memegang dagu Cherry hingga mata keduanya bertemu. “Aku gak mungkin main belakang. Cinta dan sayang aku sepenuhnya cuma buat kamu. Gak ada yang lain. Kamu percaya, kan?” potong Zein sebelum Cherry menyelesaikan ucapannya.Ingin sekali Cherry menggeleng keras. Mana bisa ia percaya begitu saja setelah menemukan baju dinas malam di kamar lelaki itu. Cherry sangat yakin, apa yang terjadi sebenarnya tidak sama dengan yang Zein katakan. Namun, di hadapan Zein ia memilih
“Aw! Lo kalau jalan bisa pake mata gak, sih?!” bentak seorang wanita yang tampak buru-buru, ia kesal pada sosok menjulang tinggi yang seperti sengaja menabrak dirinya.“Sori.”“Sori-sori, mata lo udah gak fungsi ha?” hardiknya sembari membereskan tumpukan kertas yang berceceran.“Jangan marah-marah, nanti cepet tua.”Suara itu, suara yang amat Sindi kenal. Ia mendongak, menatap siapa sosok yang telah menabraknya barusan. Tepat saat netra mereka bertemu, detik itulah matanya terbuka sempurna.“Altair! Ini beneran lo?” tanya Sindi dengan raut terkejut.“Yaiya lah, lo pikir?!” jawab Alta sembari membantu Sindi membereskan tumpukan kertas tersebut.“Ngapain lo di sini?” Sindi heran, mengapa tiba-tiba Alta berada di Bandung, terakhir bertemu lelaki itu masih di Jogja.“Jalan-jalan aja,” bohong Alta.Keduanya telah selesai memberesk
Green sudah siap untuk berangkat mengajar. Setelah melewati masa libur dua hari, kini semangatnya sudah kembali. Begitupun dengan Langit, lelaki itu juga sudah siap dengan pakaian kerjanya. Tak lupa, Green menyiapkan bekal untuk sang suami mengingat Langit akan mengajar sampai sore hari ini.“Kak, ini makan siangnya jangan lupa dibawa ya,” teriak Green dari dapur. Ia sudah harus berangkat mengingat aturan sekolah yang mewajibkan semua guru mengikuti upacara di hari Senin.“Iya, Dek,” jawab Langit kalem. Lelaki itu tengah menyiapkan buku dan beberapa perlengkapan mengajarnya.“Saya berangkat, Kak,” pamit Green. Wanita itu menemui Langit di ruang kerja kemudian mencium punggung tangan lelaki tersebut.“Bareng saya aja.”“Kita gak searah. Bukannya Kakak juga buru-buru? Kan ada kelas pagi.” Green mengingatkan sembari merapikan baju Langit yang tidak berantakan.Langit menimbang-nimbang,
Wanita berambut sebahu tengah duduk di pojok sebuah kafe, ditemani secangkir coklat panas dan earphone terpasang di telinga. Selepas kelas memasak, wanita yang tak lain adalah Reina menyambangi tempat tersebut untuk bersantai sejenak. Kepalanya reflek bergoyang ke kanan dan kiri mengikuti alunan musik. Kafe yang terbilang tidak terlalu ramai membuatnya semakin merasa rileks.Hidup Reina sekarang sudah jauh lebih baik. Setelah memilih menyibukkan diri dengan melakukan apa yang disuka, ia merasa tak perlu khawatir soal apapun lagi. Bisa dibilang, saat ini Reina hanya fokus pada dirinya, tidak memikirkan hal lain apalagi masa lalu.“Rei, lo di mana?” Pesan dari Regita masuk ke ponselnya, Reina segera membalas pesan tersebut.“Kafe Marina.”Tak sampai satu detik, ponselnya kembali bergetar. “Gue ke sana.”“Ngapain?”“GBT!”“Yaudah, hati-hati.”“
“Ra, aku pulang malem ya. Ada meeting sama klien yang gak bisa ditunda. Gak apa-apa, kan?”Aira membaca pesan singkat yang dikirimkan Rian seraya mencebikkan bibirnya. Ia kesal karena akhir-akhir ini Rian selalu izin pulang terlambat. Padahal, bukan hanya kantor yang membutuhkan kehadirannya, melainkan Aira juga. Ia sedang hamil dan butuh Rian ada di sampingnya.“Yahhh, harus banget? Kan kamu tahu, aku tuh gak bisa tidur kalau gak ada kamu. Aku tungguin deh ya, kamu pulang jam berapa?”“Iya sayang, aku tahu. Tapi, ini penting banget buat keberlangsungan perusahaan kita. Kamu tidur duluan aja ya, aku gak bisa pastiin bakal pulang jam berapa.”“Yaudah deh, hati-hati sayang. I love u.”“Love you more, istriku.”Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aira sudah mencuci mukanya dan bersiap hendak menyambut Rian untuk makan malam bersama dengan perasaan riang gem
Sore harinya, Green dan Langit sudah kembali dari aktivitas mereka. Green sudah mengganti pakaian gurunya dengan baju rumah, begitupun Langit. wanita itu tampak asyik dengan ponsel, ia tak peduli pada Langit yang duduk di sampingnya.“Tadi pulang sama siapa?” tanya Langit memulai pembicaraan.“Ojol,” jawab Green cuek.“Kok gak nunggu saya jemput?”“Lama.”“Sayang, kamu masih marah?” Langit memiringkan tubuhnya hingga menghadap Green.“Enggak.”Langit memegang kedua pundak Green, memutar tubuh wanita itu agar berhadapan dengannya. “Saya harus gimana biar dimaafin?”“Gak gimana-gimana, lagian saya gak marah.”“Gak marah tapi cuek gitu.”“Saya capek, Kak, mau istirahat.” Green beranjak dari sofa, dan meninggalkan Langit. Ia sedang tak ingin berbicara pada lelaki itu. Terlebih, tadi pagi kepala sekol
“Sayang..,” Aira terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba, ia sangat ingin makan rujak. Alhasil, di hari yang sudah gelap ia membangunkan Rian yang baru saja terlelap.“Hmmmm?” Rian menggeliat, matanya terbuka setengah. Ia melihat wajah imut Aira tengah menatapnya dengan raut memohon. “Kenapa sayang?”“Pengin rujak,” tutur Aira dengan perasaan tidak enak. Ia kasihan pada Rian yang baru beberapa menit lalu memejamkan mata, tapi mau bagaimana lagi, keinginan jabang bayi tak bisa diajak kompromi.“Sayang...,” Aira menggoyang-goyang tubuh Rian karena lelaki itu mengacuhkan dirinya. Cukup lama Aira menunggu, namun Rian tak kunjung merespon. Dengan perasaan sedih, Aira memunggungi Rian, matanya sudah berkaca-kaca.Sebuah tangan besar melingkari pinggang Aira. Rian berbisik di telinga Aira dengan suara serak khas bangun tidur, suar
Langit pergi dengan motor besarnya, meninggalkan Green yang menurutnya sulit diajak kerjasama. Ditemani langit sore, ia membelah jalanan ibukota. Sebenarnya, Langit tak punya tujuan akan pergi kemana. Tapi yang jelas, ia harus menenangkan diri dan meredam emosi lebih dulu. Sebelum bertemu dan berbicara dengan Green lagi nanti.Langit sudah sangat jauh dari rumahnya. Saat tengah mengemudi, seseorang dari arah tak terduga tiba-tiba melintas begitu saja. Ban motor Langit nyaris menyentuh kaki orang tersebut, tapi untungnya semua masih bisa dikendalikan.Langit turun dari motornya dengan emosi yang meluap-luap, ini saat yang tepat untuk menumpahkan amarah yang sedari tadi ia tahan.“Anda punya mata yang masih berfungsi, kan? Mengapa tidak digunakan dengan baik?” cecar Langit.Sosok yang nyaris tertabrak oleh Langit adalah wanita. Wanita itu menutupi wajah sedihnya dengan rambut. Bukan, bukan karena cecaran Langit ia menangis. Melainkan, ada sesuat