Tidak…tidak. Apa tadi mereka sempat bicara soal menginap? Atau ia yang menawarkan pada atasannya itu untuk menginap? Setelah dipikirkan beberapa kali pun hasilnya tetap sama. Arsya memang membawa kopernya turun dari mobil dengan rasa percaya diri yang dimiliki atasannya itu seperti biasa. “Mbak Indah,” panggil Bu Anum. Indah mendekat dan wanita itu membawa Indah menuju dapur. “Saya sudah bawa Alif ke kamar. Sekarang saya lapar. Mau makan. Kita semua belum makan malam. Bapak itu juga,” lapor Bu Anum, menjengukkan kepalanya melihat Arsya. “Iya, Bu. Maaf kalau saya lupa soal makan malam. Bu Anum bisa masak atau menghangatkan masakan apa pun yang ada di kulkas. Sejak dulu Mbah Fatmah nggak pernah membiarkan kulkas kosong tanpa masakan yang praktis bisa langsung dihangatkan. Bisa dilihat sekarang. Saya mau nunjukin kamar ke Bapak itu.” Indah meringis karena Bu Anum tersenyum jahil menggodanya. Indah melihat dua koper ukuran kabin teronggok di dekat sofa. Arsya menempati sofa tunggal dan
Tangisan Pak Hadi yang tersedu-sedu membuat Arsya terdiam beberapa saat. Arsya melirik Indah yang sedikit pun tidak mau menoleh ke arahnya ketika ia menyampaikan soal pernikahan. Awalnya ia mengira Indah akan memandangnya dengan raut asing. Atau bisa jadi juga Indah akan kesal karena ia bicara tidak pada tempatnya. Tapi pagi itu Indah diam karena wanita itu sepertinya tidak siap melihat keadaan papanya untuk pertama kali.Indah menunduk dan menangis tanpa suara. Tangannya menggenggam tangan Pak Hadi yang bisa digerakkan. “Papa …,” panggil Indah dengan suara yang sangat berat menahan tangis. “Kenapa Papa jadi gini? Kalau Papa nggak bisa ngomong, Indah harus mendengar nasihat dari siapa? Maafin Indah yang belum bisa menyenangkan Papa. Indah selalu aja buat masalah. Indah selalu jadi beban.” Indah melipat tangannya di tepi ranjang dan membenamkan kepalanya. Ia kembali menangis. Tak kuat melihat perban yang terbebat di kepala Pak Hadi.Indah tidak mengerti apa yang hendak dikatakan papan
“Maksudnya? Pengacara untuk apa?” Saking pusingnya memikirkan keadaan Pak Hadi, Indah lupa kalau rumah mereka di Bandung sedang dalam tawanan pihak lain karena sejumlah uang.“Saya pengacara yang akan mengurus pengembalian sertifikat rumah atas nama Bapak Hadi. Juga ada beberapa hal yang perlu diselesaikan.” Bono si pengacara tersenyum tipis berharap Indah tidak mempermasalahkan penyebutan ‘beberapa hal’. Penyebutan itu diminta oleh orang yang menyewa jasanya.“Beberapa hal seperti apa?” Indah melirik Bu Lina yang langsung salah tingkah.“Beberapa hal sepele,” tegas Bono. Memang menurutnya hal-hal sepele. Wajar kalau pria yang membayarnya cukup besar itu mewanti-wantinya untuk tutup mulut. Kasus penggelapan dana perusahaan kecil baginya hanya hal sepele. Terlebih arus keuangan dari wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya saat itu jelas masuk ke rekening seorang pria muda yang berstatus sebagai kekasihnya. Bono memegang janji untuk tidak membocorkan hal itu agar wanita bernama Ind
Selama di Bandung Arsya mengamati semua anggota keluarga Indah. Bu Lina merespon kehadirannya dengan antusias, Mbah Fatmah memandangnya dengan sorot penasaran, juga Pak Hadi yang tersadar dari operasi lalu menatapnya dengan sorot penuh kesedihan yang tidak ia mengerti.Informasi yang Arsya terima sebelumnya adalah Pak Hadi mendapat serangan stroke setelah mengetahui Bu Lina menggadaikan sertifikat rumah dan memiliki cukup banyak cicilan hutang karena itu.Bukan ingin mencampuri urusan Indah terlalu jauh, tapi tangisan Pak Hadi yang tersedu-sedu ketika mereka bertemu membuat ia banyak berpikir. Bagaimana kalau dalam masa penyembuhannya nanti Pak Hadi malah kehilangan rumah karena cicilan yang tidak dibayar? Maka Arsya menelepon seseorang yang biasa menangani masalah hukum keluarganya.Seorang pengacara muda bernama Bono mendatangi Arsya dengan laporan mengejutkan. “Saya sudah mengecek semuanya dengan teliti. Semuanya masih sama dengan yang sebelumnya. Sekarang hanya ada penambahan satu
Bukan hanya ketergesaan dalam suara Arsya saja yang membuat Indah keheranan. Tatapan Arsya juga tidak seperti biasa. Ada yang lain, tapi Indah belum mengerti. Keteguhan hati yang sudah ia persiapkan tadi luruh begitu saja. Ia mengangguk dengan bodohnya. Penyesalan anggukan itu tak menunggu lama. Beberapa detik kemudian Indah tersadar setelah Arsya membuka kembali pintu emergency dan berkata, “Bereskan semua bawaan kamu, kita berangkat ke butik pakaian wanita. Saya akan bilang ke Sarah kalau kamu akan menemani saya mengunjungi suatu tempat. Itu saja.”Indah berjalan di lorong seperti orang linglung. Puluhan pertanyaan dengan awalan ‘bagaimana kalau’ memenuhi pikirannya ketika cepat-cepat membereskan tas. Kalau bisa, jangan sampai ia masih berada di sana ketika Arsya keluar ruangan. Ia tidak mau berjalan beriringan dengan atasannya itu.Dinding kantor yang katanya bertelinga ternyata memang tidak salah. Yeni mendatangi Indah dengan wajah kesal. “Kamu memang diajak Bapak pergi? Berdua la
Kentara sekali kalau butik itu memang langganan Arsya sebelumnya. Seorang wanita pemilik butik menyambut mereka di luar lalu dengan luwesnya melingkarkan tangan di lengan Indah untuk dibawa ke dalam. Indah merasa tangannya menegang ketika berjalan di antara pemilik butik dan Arsya sambil mendengarkan basa-basi keduanya. Ia merasa bagai orang asing yang tersasar di antara percakapan orang kaya. Kalau pemilik butik memandangnya sambil tersenyum dan sambil bicara, Indah membalas senyuman itu. Wanita pemilik butik berusia sekitar empat puluhan. Tapi masih terlihat sangat muda. Kekayaan, penampilan modis dan makeup mampu menyembunyikan usia sebenarnya. Di ruang ganti, Indah melihat tiga gaun yang tergantung di sebelah kaca. Pemilik butik bernama Rana itu mengambil dress berwarna biru langit dan menyerahkannya pada Indah. “Sepertinya Bu Indah harus coba yang ini dulu, deh. Karena Pak Arsya kayaknya paling suka yang warna ini. Beliau sempat bilang Bu Indah pasti bagus pakai dress warna bi
Sebenarnya Indah ingin berkeliling kamar yang disebut Arsya sebagai kamarnya. Ia ingin menyentuh setiap benda cantik dan unik dekorasi kamar, juga melihat-lihat apa saja merek kosmetik yang memenuhi meja rias. Ingin sekali. Jiwa perempuan yang menyukai banyak keindahan itu belakangan banyak diredamnya demi Alif. Indah melirik jam di nakas. Waktu yang menunjukkan hampir pukul delapan malam membuat Indah melesat ke kamar mandi.“Mirip kamar mandi hotel bintang lima,” gumam Indah, jemarinya menyentuh gulungan handuk yang ditumpuk cantik di dekat wastafel. Toiletris yang tersusun pun mereknya seperti merek toiletris departemen store kelas satu. “Arsya benar-benar orang kaya,” ucap Indah.Seluruh bagian dirinya menyadari kalau tanpa suatu tujuan sudah bisa dipastikan kalau Arsya tidak akan mendekatinya. Apalagi melamarnya.Ia hanya seorang janda yang memiliki seorang bayi sakit dan banyak kekurangan. Menjadi istri seorang genreasi penerus perusahaan tambang adalah bukan keniscayaan. Indah
“Huuuu … padahal cuma pergi sebentar aja. Mesti pakai cium.” Laras menepuk lengan Arsya yang meninggalkannya dengan wajah penasaran, sekaligus cemas. “Oh, ya … Bang Asa udah ngasih tahu nama aku, kan? Aku Laras. Bang Asa bilang kalau usiaku jauh di atas Indah. Tapi aku mau Indah panggil aku dengan Laras aja. Oke?” Laras menyodorkan kelingkingnya.Indah bahkan tak sempat berkedip saat bibir Arsya menyentuh pipinya dengan ringan dan lembut. Itu di luar kesepakatan. Arsya tidak ada mengatakan soal kontak fisik di antara mereka. Indah cemberut memandang punggung Arsya yang menjauh. Benar-benar kesal. Untungnya Laras mengalihkan kekesalan itu dengan membawa Indah ke ruang makan.“Ibu … ini Indah.” Tangan Laras masih melingkar di lengan Indah.Tadinya Indah membayangkan seorang tua yang wanita cantik dan mentereng seperti istri pejabat sosialita yang sering dilihatnya makan siang di café mahal gedung kantornya. Ternyata wanita yang dipanggil ibu oleh Arsya adalah wanita berwajah ramah, berpe