“Itu sih bunyi klakson Bus antar kota dan provinsi. Tetettoret. Kan kalau nikah backsoundnya kayak gitu.”“Makanya Pak. Selama belum ada kepastian manusia akan baik-baik saja pindah ke MARS, lebih baik masih pakai bahasa manusia!” ledek David. “Aku benci kamu!”Tak lama mereka kembali terdiam. Rufy menunjukan mainan mobil-mobilan yang ia bongkar. “Pa, dak bagus agi,” adu anak itu.“Kenapa dibongkar?” David mengusap rambut Rufy sambil menaikan sebelah alis.“Mo pacang dili, Pa. Gimana?” tanya Rufy. David langsung mengajari anak itu. Satu per satu komponen ia contohkan bagaimana cara memasangnya. Sedang Biru beberapa kali manyun. “Jadi gimana?”“Tinggal pasang dinamonya, nanti nyala lagi,” jawab David. “Bukan mobil, aku tanya kamu dan Vinza gimana?”David menarik napas. Ia berhenti sejenak. “Aku dan dia ya hidup sendiri-sendiri. Aku hanya akan menggaji dia untuk mengasuh Rufy. Hubungan kami sebatas anak ini.”Biru menggelengkan kepala. “Dengar! Soal ini aku lebih punya pengalaman dar
Terdengar tawa di ruangan kamar itu. Di kasur ukuran nomor dua, tubuhnya berguling-guling. Sesekali ia memekik gemas ketika adegan di layar ponsel berisi hal romantis antara lee young joon dan kim ji yoo.“Beruntung banget sih bisa nikah sama CEO ganteng, gagah dan romantis kayak gini. Ngimpi kali ya aku kalau bisa nikah sama CEO.” Kaki Vinza bergerak-gerak menendang pelan dinding. Ia mengusap perut yang terasa tak enak. Tiba-tiba saja tayangan dramanya berhenti dan berganti jadi putaran kekesalan alias buffering. “Lha, ini kenapa?” tanya Vinza bingung. Baru bertanya, operator sudah peka duluan mengiriminya SMS pemberitahuan berisi ....Paket Reguler kamu sudah habis. Beli paket kuota tambahan di *123#, atau langsung beli di website ****“Yah, kenapa enggak kerasa? Padahal baru diisi kuota. Duh, kalau gini uangku bisa cepet habis cuman buat isi kuota. Tak lama ponselnya langsung memberikan notifikasi pendeteksian jaringan wifi. “Apa ini? Ada wifi? Bahkan enggak cuman satu.”Vinza mer
Menunggu David masak, Vinza masih anteng melanjutkan menonton drama. “Ya Allah, kenapa CEO ganteng-ganteng, sih? Kirim satu saja CEO kayak gini buat aku. Bisa enggak, ya?”Mendengar itu David terbatuk-batuk. Tentu, ia CEO di salah satu perusahaan di bawah naungan HG. “Mau pedes, enggak?” tanya David. Yang ditanya malah cekikikan. “Mau pedes enggak?” tanya pria itu lagi. Vinza tetap saja terpaku pada ponselnya. Ternyata wanita itu memakai earphone. David mendekati dan menarik earphone Vinza. Merasa earphonenya dicabut, Vinza berbalik. Saat itulah, bibirnya tanpa sengaja bersentuhan dengan bibir David. Keadaannya karena kaget, mereka malah mematung dengan posisi itu. David mendorong Vinza begitu sadar. Vinza hampir terjungkal karena tak berpegangan. David yang kaget langsung menarik lengan Vinza dan lagi bibir mereka bersentuhan. Vinza dorong tubuh David. “Kamu ngapain, sih? Aku merasa dinodai!” bentak Vinza sambil mengusap bibirnya. Dia pergi ke wastafel dan mencuci bibirnya. “Dih
“Rufy, kamu kenapa?” tanya Vinza. David berdiri dan menggendong putranya. Ia bawa ke kamar diikuti Vinza. “Rufy, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Vinza. David baringkan tubuh Rufy di atas tempat tidur. Rufy berguling sambil memegang perutnya. Ia meringis kesakitan sambil merengek. “Ayah cakit. Bunda cakit,” adunya. Vinza duduk di pinggir tempat tidur. Ia usap rambut Rufy. David meminta pelayan memanggil dokter. David berdiri dengan wajah panik. Ia seperti melihat dirinya dulu saat sakit perut. Tak satu pun orang yang peduli. Ia hanya menahan sendiri. Kadang mengeluh pada kakak-kakaknya di panti, ia malah dikatai manja. Jika Bu Ifa ke panti, barulah ia bisa mengadu. Maklum, tak banyak tenaga di panti itu. Anak-anak di sana pun bisa makan saja untung. Jarang ada bantuan dan Bu Ifa harus mencari dana sendiri. David hampiri putranya. Ia gendong Rufy dan mengusap kepala Rufy. “Yang kuat, Sayang. Ayah di sini,” ucapanya. Matanya melirik ke arah pelayan di sana. “Kenapa d
“Bunda suapin, ya?” tawar Vinza. Rufy mengangguk. Ia bangun dan duduk di pangkuan David. Ini hal yang Rufy impikan, makan sup ayam sambil disuapi Bundanya dan duduk di pangkuan Ayahnya. “Bunda dak keja, ya?” pinta Rufy. Vinza menggeleng. “Bunda di sini sama Rufy, ‘kan? Ayah juga, ya?”“Iya, Ayah hari ini mau asuh Rufy saja,” timpal David. Wajah Rufy berbinar. Ia begitu lahap makan yang Vinza suapi. Sesekali bergoyang kepalanya ke kanan ke kiri seakan ia mendengar irama. Rufy tersenyum, matanya menyipit dan lesung pipit terlihat. “Dak mo ulitna, Bunda.” Rufy menunjuk kulit ayam yang masih menempel pada daging. Lekas Vinza pisahkan. Tangan Rufy memegang tangan David. Ia begitu manja bersandar pada pria itu. Sesekali David kecup keningnya setiap Rufy mendongak untuk melihat wajah David. “Ayah tayang, Upi?”“Sayang banget,” jawab David. “Bunda tayang Upi?”Vinza mengangguk. “Kalau Bunda enggak sayang Upi, Bunda enggak akan cari Upi. Bunda enggak akan nangis setiap hari waktu Rufy hil
“Dengar, Damier! Selama ini Papaku selalu bantu Papamu mencari kamu. Dan begini balasan kamu untukku?” tegurnya. “Iyakah? Lalu kenapa enggak ketemu dan malah aku yang menemukannya? Satu lagi, kamu pikir aku tega membuat ratusan ribu karyawan hilang pekerjaan, hanya karena kamu? Tidak! Itu masalah yang keluar dari mulutmu sendiri dan kamu sendiri yang harus menanggungnya!” tegas David. “Kamu pikir aku akan menyangka itu akan bocor apa? Ada orang sialan yang menyadap ponselku! Aku akan temukan dia dan menghancurkannya. Dan kamu, aku enggak akan setuju pertunangan kita batal!” tegas Viane. David menggeleng. “Terlambat. Kamu bisa cek berita.”Viane membuka tas dan mengambil ponsel. Ia kaget akibat apa yang kini sedang dibicarakan. “Pertunangan Viane Zhou dengan Damier Lau resmi dibatalkan. Heaven Grouph memberi pernyataan jika mereka tidak tahu dan tidak membenarkan perbuatan Viane. Akibatnya mereka memilih membatalkan rencana perjodohan sebagai simbol rasa kemanusiaan. Heaven Grouph b
“Tulus bei cendal. Beina pacal kumis,” cerita Rufy. “Kamis,” ralat Vinza. “Iya. Itu!” tegas Rufy. Kadang saat Rufy salah bicara, jadi hiburan sendiri untuk kedua orang tuanya. Ponsel Vinza berdering. Wanita itu mengambil dan mengangkat telpon dengan nama Adam di kontak. “Maaf, Pak. Rufy lagi sakit. Jadi aku enggak bisa masuk tadi,” ungkap Vinza. “Terus sekarang gimana keadaan Rufy? Aku boleh jenguk?” tanya Adam.Vinza melirik Rufy yang masih bercerita dengan Ayahnya. “Kami lagi ada di rumah Ayah Rufy. Apa Pak Adam enggak keberatan?” Adam meneguk ludahnya. “Ouh, jadi kamu lagi di rumah mantan kamu?”Vinza tak mungkin bilang kalau dia tinggal di sini. “Karena lebih dekat ke dokter, jadi Rufy di sini. Gitu,” jelas Vinza. “Hmm, aku jenguk boleh? Sekalian aku mau ajak Galih. Dia nanyain Rufy terus. Kayaknya emang kangen. Apalagi mereka sudah lumayan dekat.”“Boleh. Nanti aku kasih alamatnya, ya?” Tak lama mereka menutup panggilan. Vinza kirim lokasi rumah pada Adam. Ia kemudian berj
“Maaf ya, Pak. Keadaannya ini enggak bisa ngedukung. Nanti kalau sudah baikan, aku beri tahu,” jawab Vinza di telpon saat Adam memberitahu kalau ia sudah ada di depan gerbang David. Ia terpaksa meminta Adam pulang. “Ya sudah, enggak apa-apa. Mudah-mudahan Rufy cepat membaik. Kamu yang tegar, ya? Ini cobaan. Namanya anak kadang ada waktunya bisa tantrum seperti itu kalau terlalu lama menahan perasaan. Hanya kita harus sabar ketika menghadapi itu. Ingat, emosi berlebihan saat menghadapi anak ketika tantrum malah akan memperburuk keadaan. Lebih baik diamkan sejenak sampai dia lebih tenang,” nasihat Adam. “Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih sudah mau memperhatikan Rufy. Walau dia bukan anak Bapak, tapi Pak Adam sangat pengertian.”Adam menunduk. Ia menarik napas. “Aku berharap dia bisa jadi anakku dan Galih jadi anakmu,” jawab Adam membuat Vinza terdiam. “Maksud Bapak gimana?” tanya Vinza bingung. “Vin, aku tahu ini enggak tepat. Cuman, aku ingin kamu jadi ibu untuk anak-anakku. D