Share

Bab 7

Setelah mengantar Haidar dan Ravendra, Kayra kembali ke rumah bersama anak-anaknya.

"Mama, kasihan ya rumah Abang itu." Ucap Reana sesampainya di rumah.

Kayra yang ada dibelakang anaknya, mengernyit heran.

"Lho, kenapa? Apa yang kasihan?" Tanya Kayra.

Kedua anaknya langsung berhenti berjalan, mereka berbalik dan menatap mamanya yang menatap mereka keheranan.

"Bayangkan mama, rumah kita besar. Tapi, rumah Abang itu kecil." Ucap Reina.

Kayra menghela napas, ia berjalan lebih dulu lalu duduk. Reana dan Reina yang tidak mendapat respon lantas menyusul mamanya.

"Mama ih...." Rengek keduanya. Kayra yang tengah bersandar di sandaran sofa ia menatap anaknya. "Apa?"

"Mama emang gak punya hati." Ucap si kembar bersamaan yang langsung pergi meninggalkan Kayra.

Kayra menatap ke arah tangga. "Lho kok aku yang salah?" Monolognya.

***

Tiga hari sejak hari itu, hari dimana Kayra tahu nama Haidar pun sebaliknya. Kini, Kayra tengah duduk dikursi kebesarannya.

"Aku lupa satu hal. Kenapa aku gak minta nomornya ya?" Monolognya sambil memutar kursinya menatap ke arah luar jendela.

"Lho itu kan Haidar." Kayra langsung bangkit, menutup laptopnya dan pergi saat ia menatap melihat Haidar dari jendela ruangannya.

***

"Haidar..."

Laki-laki itu celingukan mencari asal sumber suara. Sepertinya itu adalah suara yang tidak asing. Tapi siapa pikirnya.

"Hai." Kayra tiba-tiba sudah muncul di dekatnya.

"Lho Kayra. Aku kira kamu siapa lho..... Jemput anak juga?"

Kayra berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk. Toh dia tidak punya alasan apapun untuk mengelak. "Hehe...... I-iya."

Haidar mengangguk.

Suasana kembali hening, Kayra juga tidak punya topik untuk ia bicarakan. Sampai ia ingat, Kayra ingin meminta nomor ponsel pria itu.

"Ini," Ucap Kayra menyodorkan ponselnya.

Haidar bingung, ia menatap ponsel itu, lalu beralih menatap Kayra. "Maksudnya apa ya?"

"Masukin nomor kamu. Siapa tahu aku butuh kamu."

Haidar mengambil ponsel itu ragu-ragu, lalu memasukkan nomor ponselnya.

"Sudah." Ucapnya. Kayra tersenyum. "Terimakasih, aku call ya. Biar nomor aku masuk sekarang dan kamu gak bingung." Ucapnya diangguki Haidar.

Benar, ponsel Haidar berdering.

"Angkat dong. Kenapa gak diambil ponselnya?"

"K-kenapa harus diangkat ya? Asal aku tahu aja waktunya kapan dan aku akan langsung tahu itu nomor kamu." Jawab Haidar.

Kayra menunduk sebentar lalu kembali mendongkak. Ia menatap jam di tangannya. Ternyata masih lama untuk anak-anak dibubarkan.

"Makan diseberang lagi yuk." Ajak Kayra.

Namun, belum sempat Haidar menjawab ponsel miliknya kembali berdering.

"Haidar, itu bukan aku. Angkat dong, masa di anggurin." Ucap Kayra. Ia melihat

Haidar tampak ragu dan keraguan itu tercetak jelas diwajahnya.

"Hei, itu siapa Haidar? Angkat." Ucap Kayra lagi.

Haidar menggeleng, dia benar-benar enggan menerima telepon itu.

"Gak Ra. Gak penting." Ucap Haidar dengan nada yang menjadi dingin.

Kayra mengernyitkan keningnya, kenapa Haidar bilang gak penting? Bukankah, Haidar belum melihat siapa penelepon itu.

"Haidar, kamu kan belum lihat siapa yang nelepon." Kekeh Kayra.

"Aku bilang enggak ya enggak Ra." Ucap Haidar penuh penekanan, lalu ia beranjak dari tempatnya entah kemana. Sedangkan Kayra menatap pria itu heran. "Kenapa sih?"

***

Malam dimana Kayra menghabiskannya dengan bekerja dari rumah, maka berbeda dengan Haidar. Dia kini tengah duduk di tepi ranjang.

"Tuhan Haidar hanya ingin bahagia." Monolognya.

Satu tetes air mata jatuh, Haidar lantas menatap adik kecilnya.

Mereka tinggal satu kamar karena memang dikontrakkan yang ditempati olehnya ini hanya memiliki satu kamar.

"Maafin abang ya Rav, Abang belum bisa bahagiakan kamu." Haidar mengusap surai adiknya.

Saat tengah menikmati kesunyian malam, ponselnya kembali berdering. Benar dugaan Haidar, itu telepon dari orang yang sama siang tadi.

"Hallo." Ucap Haidar pertama kali saat telepon itu tersambung.

"......"

"Gak perlu?!" Bentak Haidar tiba-tiba. Lalu memutuskan panggilan secara sepihak.

Entah apa yang dikatakan orang di ponselnya. Tapi yang pasti itu mampu membuat Haidar kehilangan moodnya malam itu.

***

Disatu sisi, didepan laptopnya yang menyala, Kayra jadi kepikiran dengan sikap Haidar tadi siang.

"Kok dia kayak langsung marah sih." Gumamnya.

Kayra menatap ponsel dimeja kerjanya, ada rasa ingin menghubungi Haidar, tapi ia urungkan.

"Telepon jangan ya? Tapi, kalo aku telepon dia malah marah, gimana? Mending jangan deh" Monolognya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status