Setelah mengantar Haidar dan Ravendra, Kayra kembali ke rumah bersama anak-anaknya.
"Mama, kasihan ya rumah Abang itu." Ucap Reana sesampainya di rumah. Kayra yang ada dibelakang anaknya, mengernyit heran. "Lho, kenapa? Apa yang kasihan?" Tanya Kayra. Kedua anaknya langsung berhenti berjalan, mereka berbalik dan menatap mamanya yang menatap mereka keheranan. "Bayangkan mama, rumah kita besar. Tapi, rumah Abang itu kecil." Ucap Reina. Kayra menghela napas, ia berjalan lebih dulu lalu duduk. Reana dan Reina yang tidak mendapat respon lantas menyusul mamanya. "Mama ih...." Rengek keduanya. Kayra yang tengah bersandar di sandaran sofa ia menatap anaknya. "Apa?" "Mama emang gak punya hati." Ucap si kembar bersamaan yang langsung pergi meninggalkan Kayra. Kayra menatap ke arah tangga. "Lho kok aku yang salah?" Monolognya. *** Tiga hari sejak hari itu, hari dimana Kayra tahu nama Haidar pun sebaliknya. Kini, Kayra tengah duduk dikursi kebesarannya. "Aku lupa satu hal. Kenapa aku gak minta nomornya ya?" Monolognya sambil memutar kursinya menatap ke arah luar jendela. "Lho itu kan Haidar." Kayra langsung bangkit, menutup laptopnya dan pergi saat ia menatap melihat Haidar dari jendela ruangannya. *** "Haidar..." Laki-laki itu celingukan mencari asal sumber suara. Sepertinya itu adalah suara yang tidak asing. Tapi siapa pikirnya. "Hai." Kayra tiba-tiba sudah muncul di dekatnya. "Lho Kayra. Aku kira kamu siapa lho..... Jemput anak juga?" Kayra berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk. Toh dia tidak punya alasan apapun untuk mengelak. "Hehe...... I-iya." Haidar mengangguk. Suasana kembali hening, Kayra juga tidak punya topik untuk ia bicarakan. Sampai ia ingat, Kayra ingin meminta nomor ponsel pria itu. "Ini," Ucap Kayra menyodorkan ponselnya. Haidar bingung, ia menatap ponsel itu, lalu beralih menatap Kayra. "Maksudnya apa ya?" "Masukin nomor kamu. Siapa tahu aku butuh kamu." Haidar mengambil ponsel itu ragu-ragu, lalu memasukkan nomor ponselnya. "Sudah." Ucapnya. Kayra tersenyum. "Terimakasih, aku call ya. Biar nomor aku masuk sekarang dan kamu gak bingung." Ucapnya diangguki Haidar. Benar, ponsel Haidar berdering. "Angkat dong. Kenapa gak diambil ponselnya?" "K-kenapa harus diangkat ya? Asal aku tahu aja waktunya kapan dan aku akan langsung tahu itu nomor kamu." Jawab Haidar. Kayra menunduk sebentar lalu kembali mendongkak. Ia menatap jam di tangannya. Ternyata masih lama untuk anak-anak dibubarkan. "Makan diseberang lagi yuk." Ajak Kayra. Namun, belum sempat Haidar menjawab ponsel miliknya kembali berdering. "Haidar, itu bukan aku. Angkat dong, masa di anggurin." Ucap Kayra. Ia melihat Haidar tampak ragu dan keraguan itu tercetak jelas diwajahnya. "Hei, itu siapa Haidar? Angkat." Ucap Kayra lagi. Haidar menggeleng, dia benar-benar enggan menerima telepon itu. "Gak Ra. Gak penting." Ucap Haidar dengan nada yang menjadi dingin. Kayra mengernyitkan keningnya, kenapa Haidar bilang gak penting? Bukankah, Haidar belum melihat siapa penelepon itu. "Haidar, kamu kan belum lihat siapa yang nelepon." Kekeh Kayra. "Aku bilang enggak ya enggak Ra." Ucap Haidar penuh penekanan, lalu ia beranjak dari tempatnya entah kemana. Sedangkan Kayra menatap pria itu heran. "Kenapa sih?" *** Malam dimana Kayra menghabiskannya dengan bekerja dari rumah, maka berbeda dengan Haidar. Dia kini tengah duduk di tepi ranjang. "Tuhan Haidar hanya ingin bahagia." Monolognya. Satu tetes air mata jatuh, Haidar lantas menatap adik kecilnya. Mereka tinggal satu kamar karena memang dikontrakkan yang ditempati olehnya ini hanya memiliki satu kamar. "Maafin abang ya Rav, Abang belum bisa bahagiakan kamu." Haidar mengusap surai adiknya. Saat tengah menikmati kesunyian malam, ponselnya kembali berdering. Benar dugaan Haidar, itu telepon dari orang yang sama siang tadi. "Hallo." Ucap Haidar pertama kali saat telepon itu tersambung. "......" "Gak perlu?!" Bentak Haidar tiba-tiba. Lalu memutuskan panggilan secara sepihak. Entah apa yang dikatakan orang di ponselnya. Tapi yang pasti itu mampu membuat Haidar kehilangan moodnya malam itu. *** Disatu sisi, didepan laptopnya yang menyala, Kayra jadi kepikiran dengan sikap Haidar tadi siang. "Kok dia kayak langsung marah sih." Gumamnya. Kayra menatap ponsel dimeja kerjanya, ada rasa ingin menghubungi Haidar, tapi ia urungkan. "Telepon jangan ya? Tapi, kalo aku telepon dia malah marah, gimana? Mending jangan deh" Monolognya.Sudah tiga hari, Haidar dan Kayra tidak bertemu. Bahkan kini Reana dan Reina diantar dan dijemput oleh supir. Diruangannya, Kayra kini sibuk dengan banyaknya berkas. "Kenapa ya gak ketemu dia itu, kayak ada yang kurang aja." Gumamnya. Kayra menatap ke arah luar, anak-anak disekolah sesudah dibubarkan. Kayra tidak melihat Haidar. Bahkan saat netranya menangkap adik Haidar, anak itu justru pulang dengan berjalan kaki. "Ravendra sendiri. Apa aku samperin ya. Eh, tapi kalo aku samperin kan aneh." Monolognya lagi. *** Di tempat lain, Haidar orang yang Kayra pertanyakan itu tengah sibuk berjualan. Kebetulan ada acara dangdutan di nikahan kampung sebelah. "Ravendra pulang sama siapa ya? Gak mungkin dia naik angkot. Dia gak punya uang." Monolognya. Keringat sudah membasahi darinya, Haidar mengusapnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya."Panas banget. Tapi aku harus tetap semangat." Monolognya. Haidar kembali fokus berjualan. Dari pagi tadi baru ada sekitar lima belas oran
"Haidar, menurut aku kamu terlalu kejam sama adik kamu." Ujar Kayra yang tengah duduk di ruang tamu Haidar. Kontrakan yang ditempati Haidar ini hanya terdiri dari dapur, satu kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tamu kecil tanpa kursi. Jadi Kayra duduk dilantai beralaskan tikar. "Kejam? Aku kejam kayak gimana Ra?" Tanyanya. Haidar baru saja kembali dari dapur untuk mengambil air, tapi sesampainya diruang tamu malah mendapat pernyataan itu dari Kayra. "Ravendra mulung." Haidar terkejut dengan pernyataan yang keluar dari mulut Kayra. "Mulung? Ra coba deh kamu jelasin pelan-pelan. Aku gak ngerti. M-maksud kamu mulung gimana?" "Ravendra mulung untuk dapetin uang." "Uang?" "Astaga Haidar. Kamu tahu kenapa aku bisa sama dia? Ya karena aku ketemu dia dijalan lagi mulung." "Untuk apa dia mulung?" "Kamu ngerasa pernah kasih dia uang untuk jajan?" Tanya Kayra. Haidar menggeleng. "Aku emang gak pernah kasih dia uang untuk beli jajan. Penghasilan aku gak cukup." "Nah
"Dia siapa kamu Ra?" Tanya Haidar.Kayra perlahan kembali duduk, dia menatap lurus kearah depan. Haidar yang tidak mendapat jawaban, lantas ia kembali bertanya. "Ra-" Belum sampai selesai kalimatnya, Kayra memotong ucapan Haidar. "Dia mantan suami aku." Ucapnya tanpa menoleh.Haidar menatap wanita disampingnya. Kayra, menoleh kearah Haidar. "Terimakasih ya, sudah mau bantu aku." Ucapnya Kayra tersenyum."Sama-sama, balas Haidar. "Eh, tapi kamu beneran gak kenapa-kenapa kan Ra?" Tanya Haidar, wajahnya menunjukkan raut khawatir yang ketara.Kayra yang melihat itu, terkekeh pelan. "Beneran kok, aku gak papa. Kan tadi langsung ada kamu."Haidar mengangguk. "Syukurlah."Lama terdiam, Haidar kembali membuka suara. "Kok sendiri Ra? anak-anak kemana?""Sama Oma Opa-nya, jalan-jalan.""Kamu?"Kayra menoleh menatap kearah pria disampingnya. "Aku, kenapa?""M-maksudnya, kamu gak ikut?"Kayra menggeleng, ia kembali menatap lurus kedepan. "Aku ngerasa kayak remaja lagi, kalo anak-anak lagi sama
"Mama..." Kayra terperanjat kaget saat mendapati anak-anaknya berlari kearahnya. "Sudah pulang? Mana Oma dan Opa?" Reana dan Reina menoleh ke arah belakang. "Masih disana." Ucap anak-anak. Kayra mengangguk. "Yasudah naik sini, ke sofa." Ujarnya menepuk sofa disebelahnya. Kayra memang pulang sejak siang tadi, tapi anak-anaknya baru pulang jam delapan malam ini. Mama dan papa belum sampai juga kedalam rumah, tapi anak-anak itu sudah kembali bersuara. "Mama tahu gak, tadi ada om-om ngaku-ngaku papa..." Ujar Reana. "Iya lho mah... Katanya papa belum meninggal, dia papa kami, katanya." Ujar Reina. deg! Tidak mungkin kan om-om yang dimaksud anak-anaknya adalah Nabastala, pikir Kayra. "Kalian, tahu ciri-cirinya?" Tanya Kayra tidak santai. Kedua anaknya mengangguk. "Tahu ma." Jawab Reana. "Boleh mama tahu, bagaimana ciri-cirinya?" Belum sampai Reana bersuara, suara mama lebih dulu terdengar. "Dia Nabastala." Entah kenapa, tapi tubuh Kayra saat ini terasa kebas, seluruh sarafn
"Haidar, kok kamu bisa tahu tempat makan mie ayam yang seenak ini sih?" Haidar menoleh kearah wanita disampingnya. "Aku pedagang Ra." Kayra mengangguk. "Aku juga mau jadi pedagang ah, biar bisa tahu makanan enak." Haidar terkekeh. Ia lap bibirnya. "Janganlah." "Kenapa gitu?" "Capek tahu. Masa wanita secantik kamu dagang." Kayra terkekeh. "Emang aku cantik ya?" Mereka saling menatap, dalam sepersekian detik Haidar merasa terhipnotis oleh paras Kayra. Saat wanita itu tersenyum kearahnya entah kenapa jantung Haidar terasa berdetak kencang tidak seperti biasanya. "Haidar." Kayra melambaikan tangannya didepan wajah pria itu. Haidar yang ketahuan melamun, langsung memalingkan wajahnya. "E-enggak kok." "Maksud kamu? Aku gak cantik ya?" "E-eh.... E-emang kamu nanya apa? I-itu.. Anu.." Kayra terkekeh. "Apaan sih, udah ah lupain."Kayra kembali menyantap makanan milikinya, sedangkan Haidar hanya duduk melamun. Entah ada apa dengan dirinya, tapi yang pasti jantungnya tidak aman dide
Hari-hari berlalu, bahkan sampai dengan detik ini Kayra masih memikirkan ucapan Nabastala tempo hari. Hari ini, Kayra ada dirumah sang mama. Ia akan meminta ijin untuk menikah lagi, jika sudah ada ijin ia akan meminta Haidar menjadi suaminya. "Mama, Kayra mau menikah lagi. Bolehkan?" Tanyanya pada sang mama yang tengah asik menonton tv. Si kembar sengaja dibawa oleh papa ke taman saat Kayra mengatakan akan berbicara serius dengan mama. "Ra sejujurnya mama masih berat. Tapi, apa kamu sudah bertemu dengan seseorang yang baik?" Kayra mengangguk. "Iya ma, Kayra sudah ketemu yang tepat." "Boleh mama bertemu dia dulu?" "Tentu." Kayra merasa senang dalam hatinya, akhirnya setelah sekian lama Kayra mendapat juga ijin dari sang mama. *** Esok harinya, Kayra menghampiri Haidar yang tengah berjualan ditaman kota. "Haidar!" Sapa Kayra saat menemukan Haidar yang tengah duduk di trotoar jalan. Pria itu melambaikan tangannya. Kayra berjalan menghampiri wanita itu. "Gimana j
Hari ini adalah hari dimana Kayra akan membawa Haidar kerumahnya. Dia sudah izin pada sang mama dan papa. "Ayo masuk Haidar." Ucapnya saat sampai didepan rumahnya. Haidar mengangguk. "Ayo Ra." Mereka masuk kedalam rumah orang tua Kayra. Kayra tidak harus memastikan orang tuanya ada atau tidak, karena dia sudah memberi kabar lebih dahulu. Sesampainya didalam rumah. "Mama, papa..." "Kayra duduk nak." Balas papa. Melihat pria tadi hanya berdiri, mama bersuara. "Silahkan duduk nak, jangan segan-segan anggap saja rumah sendiri." Ucap akan ramah. Pria itu tersenyum, lalu ia mendudukan bokongnya disofa. "Jadi, kalian pacaran? sudah berapa lama?" Tanya papa to the point. Mama menepuk paha papa. "Jangan langsung interogasi dong pak." Papa hanya tersenyum kikuk, sedangkan Kayra mati-matian menahan tawanya. Mama menatap Haidar dengan senyum diwajahnya. "Silahkan diminum dulu, biar relax. Soalnya papa si Kayra mukanya tegang." Haidar mangut sopan." Terimakasih Tante." Ucap
Hari ini, adalah hari dimana Haidar akan menawarkan Kayra bertemu dengan orang tuannya."Haidar, kita kesana naik apa?" Tanya Kayra saat Haidar sudah sampai di depan rumahnya."Naik motor ku Ra.""Aman?"Haidar tersenyum. "Aman kok Ra, tenang aja. Tapi, bentar ya aku izin dulu sama mama papa kamu."Kayra menahan pria itu. "Gak usah.""Lho, kenapa? Kalo aku gak izin nanti dikira nyulik dong? Terus anak-anak sama siapa?""Nah, itu kamu nyadar. Mama sama papa gak ada dirumah. Papa kerja, mama bawa anak-anak jalan-jalan. Lagian kamu udah izin kemarin kan?"Haidar mengangguk, lalu tersenyum. "Yaudah kalo gitu. Ayo Ra!""Haidar kenapa gak pake mobil aku aja?""Gak ah, ribet. Siapa tahu pulangnya naik mobil kan.."Kayra tidak mengerti ucapan pria itu, ia hanya mengikuti saja.Selama perjalan, tidak ada percakapan apapun. Haidar diam begitupun dengan Kayra. Hanya suara bising kendaraan disekitar mereka yang terdengar. Ini untuk pertama kalinya bagi Kayra menaiki sepeda motor untuk waktu yang