"Haidar, menurut aku kamu terlalu kejam sama adik kamu." Ujar Kayra yang tengah duduk di ruang tamu Haidar.
Kontrakan yang ditempati Haidar ini hanya terdiri dari dapur, satu kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tamu kecil tanpa kursi. Jadi Kayra duduk dilantai beralaskan tikar. "Kejam? Aku kejam kayak gimana Ra?" Tanyanya. Haidar baru saja kembali dari dapur untuk mengambil air, tapi sesampainya diruang tamu malah mendapat pernyataan itu dari Kayra. "Ravendra mulung." Haidar terkejut dengan pernyataan yang keluar dari mulut Kayra. "Mulung? Ra coba deh kamu jelasin pelan-pelan. Aku gak ngerti. M-maksud kamu mulung gimana?" "Ravendra mulung untuk dapetin uang." "Uang?" "Astaga Haidar. Kamu tahu kenapa aku bisa sama dia? Ya karena aku ketemu dia dijalan lagi mulung." "Untuk apa dia mulung?" "Kamu ngerasa pernah kasih dia uang untuk jajan?" Tanya Kayra. Haidar menggeleng. "Aku emang gak pernah kasih dia uang untuk beli jajan. Penghasilan aku gak cukup." "Nah, dia cari uang untuk jajan. Dia sempat cerita ke aku, tentang uang yang kamu dapetin itu untuk apa aja." Haidar menunduk, ada perasaan bersalah yang mampir direlung harinya. Sejujurnya jauh dilubuk hatinya Haidar juga ingin membahagiakan Ravendra. Memenuhi segala kebutuhannya, termasuk memberinya uang untuk membeli apapun yang Ravendra inginkan. "Aku yang salah Ra." Kayra menatap laki-laki disampingnya. "Ravendra takut kamu marah. Makanya dia gak bilang." Haidar menatap Kayra. "Aku gak akan pernah marah sama dia. Tapi aku marah sama diri aku sendiri yang gak bisa bahagiain dia." "Haidar apa kamu gak ada niat buat cari kerjaan lain?" Haidar terdiam, dia memang butuh pekerjaan sampingan. "Kalo kamu masih di posisi ini, keadaan kamu gak akan berubah." Ucap Kayra lagi. Benar yang di katakan Kayra. Dengan berjualan hidup Haidar tidak sama sekali ada kemajuan. "Terus aku harus kerja apa? Sedangkan aku ijazah saja hanya sampai SMA." "Itu udah minimal lho Haidar." Beberapa menit setelahnya, Haidar menggeleng. "Aku yakin Ra, besok atau lusa jualan ku pasti laris manis. Aku bisa cukupi kebutuhan aku sama Ravendra." "Jadi, mau atau enggak cari kerjaan yang lain?" Haidar menggeleng. "Kalo aku kerja full time. Ravendra gimana?" Kayra lupa satu hal, mereka hanya tinggal berdua. Jika Haidar harus kerja dari pagi ke pagi lagi, yang menyiapkan perlengkapan Ravendra siapa. "Yaudah kalo itu yang kamu mau. Semoga suatu hari kamu bisa membuat adik kamu bangga." Haidar mengangguk. "Eh, udah hampir malam. Aku pamit dulu ya." Ucap Kayra saat sadar kalo dirinya akan pulang larut jika terlalu lama disini. "Gak mau makan malam bareng dulu?" "Kapan-kapan ya. Aku takut anak-anak nanyain." "Oh yaudah. Hati-hati ya, maaf gak bisa nganter." "Kenapa?" "Masa iya bos muda dianter pakek motor butut kan gengsi." Kayra terkekeh. "Halah, apa-apa gengsi." Haidar juga ikut terkekeh. "Sudah-sudah, gih pulang. Jangan kemalaman gak baik." Kayra tersenyum. "Yaudah, sampai jumpa besok." Haidar mengangguk, ia melambaikan tangannya kearah Kayra yang sudah duduk di kursi kemudi mobilnya. Setelah perginya wanita itu, Haidar masuk kedalam rumah kontrakannya lagi. Ia terduduk dan menangis. "Tuhan, ini bukan salah Haidar kan? Hikss....Hikss...." *** Seminggu kemudian, Kayra kini tampak tengah berjalan-jalan sendiri ditaman dekat kompleknya. Kebetulan Reana dan Reina diajak Oma dan Opa-nya pergi jalan-jalan. "Kayak remaja lagi aku." Kayra duduk disalah satu bangku taman. Tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundaknya. Kayra mengira itu adalah Haidar, karena biasanya jika dihari libur pria itu akan berjualan di dekat sini. "Haidar-" Ucapannya terpotong. "Ngapain kamu kesini?" Tanya Kayra dingin. Ternyata saat Kayra berbalik, seseorang yang menepuk pundaknya itu adalah Nabastala sang mantan suami. "Boleh aku duduk?" Tanya Nabastala. Kayra tidak menjawab, tapi laki-laki itu duduk disebelahnya. "Kayra aku mau minta maaf." Cicitnya. Kayra masih diam. "Ra, aku tahu aku salah. Aku gak dengerin dulu kamu. Aku di tulikan Ra." Kayra terkekeh, ia menepis tangan Nabastala yang hendak menyentuh tangannya. "Tuli? Terus udah ke tht?" "M-maksud kamu Ra?" "Na, kamu bukan tuli. Tapi, hati kamu yang mati. Kamu memang ditulikan. Ditulikan kakak kamu." Nabastala terdiam, dia menatap Kayra yang juga menatapnya. Ada sorot kecewa yang begitu dalam dari sorot matanya. "Aku bisa jamin kakak ku gak akan berbuat hal yang sama Ra." "Watak itu ada sejak lahir Na, dan itu gak bisa diubah sama sekali." Kayra hendak bangkit dari duduknya, tapi tangannya dicekal oleh lengan kekar Nabastala. "Lepas Na. Cukup penderitaan ku sampai hari dimana aku kamu pulangkan. Sekarang, ijinkan aku bahagia." "Gak Ra. Aku gak akan pernah melepaskan kamu." "Na aku-" Ucapan Kayra terpotong saat ada tangan yang membatu Kayra untuk melepaskan cekalan kuat Nabastala. "Mas jangan ganggu dia." Nabastala menatap seorang laki-laki yang dengan beraninya melarang dirinya. Pakaian yang lusuh membuat satu tarikan dibibir Nabastala tercetak jelas. "Oh, jadi dia pacar kamu sekarang? Selera kamu ternyata sangat buruk ya Ra." Ucap Nabastala. Kayra diam, sedangkan Nabastala menghampiri pria yang tiba-tiba datang itu. "Gue gak akan buat kalian bahagia." Ucap Nabastala lalu pergi. Sedangkan laki-laki yang tak lain adalah Haidar itu menghampiri Kayra. "Kamu gak apa-apa Ra?" "Aku gak papa." Jawab Kayra. Haidar menatap pria yang kian menjauh itu. "Dia siapa kamu?""Dia siapa kamu Ra?" Tanya Haidar.Kayra perlahan kembali duduk, dia menatap lurus kearah depan. Haidar yang tidak mendapat jawaban, lantas ia kembali bertanya. "Ra-" Belum sampai selesai kalimatnya, Kayra memotong ucapan Haidar. "Dia mantan suami aku." Ucapnya tanpa menoleh.Haidar menatap wanita disampingnya. Kayra, menoleh kearah Haidar. "Terimakasih ya, sudah mau bantu aku." Ucapnya Kayra tersenyum."Sama-sama, balas Haidar. "Eh, tapi kamu beneran gak kenapa-kenapa kan Ra?" Tanya Haidar, wajahnya menunjukkan raut khawatir yang ketara.Kayra yang melihat itu, terkekeh pelan. "Beneran kok, aku gak papa. Kan tadi langsung ada kamu."Haidar mengangguk. "Syukurlah."Lama terdiam, Haidar kembali membuka suara. "Kok sendiri Ra? anak-anak kemana?""Sama Oma Opa-nya, jalan-jalan.""Kamu?"Kayra menoleh menatap kearah pria disampingnya. "Aku, kenapa?""M-maksudnya, kamu gak ikut?"Kayra menggeleng, ia kembali menatap lurus kedepan. "Aku ngerasa kayak remaja lagi, kalo anak-anak lagi sama
"Mama..." Kayra terperanjat kaget saat mendapati anak-anaknya berlari kearahnya. "Sudah pulang? Mana Oma dan Opa?" Reana dan Reina menoleh ke arah belakang. "Masih disana." Ucap anak-anak. Kayra mengangguk. "Yasudah naik sini, ke sofa." Ujarnya menepuk sofa disebelahnya. Kayra memang pulang sejak siang tadi, tapi anak-anaknya baru pulang jam delapan malam ini. Mama dan papa belum sampai juga kedalam rumah, tapi anak-anak itu sudah kembali bersuara. "Mama tahu gak, tadi ada om-om ngaku-ngaku papa..." Ujar Reana. "Iya lho mah... Katanya papa belum meninggal, dia papa kami, katanya." Ujar Reina. deg! Tidak mungkin kan om-om yang dimaksud anak-anaknya adalah Nabastala, pikir Kayra. "Kalian, tahu ciri-cirinya?" Tanya Kayra tidak santai. Kedua anaknya mengangguk. "Tahu ma." Jawab Reana. "Boleh mama tahu, bagaimana ciri-cirinya?" Belum sampai Reana bersuara, suara mama lebih dulu terdengar. "Dia Nabastala." Entah kenapa, tapi tubuh Kayra saat ini terasa kebas, seluruh sarafn
"Haidar, kok kamu bisa tahu tempat makan mie ayam yang seenak ini sih?" Haidar menoleh kearah wanita disampingnya. "Aku pedagang Ra." Kayra mengangguk. "Aku juga mau jadi pedagang ah, biar bisa tahu makanan enak." Haidar terkekeh. Ia lap bibirnya. "Janganlah." "Kenapa gitu?" "Capek tahu. Masa wanita secantik kamu dagang." Kayra terkekeh. "Emang aku cantik ya?" Mereka saling menatap, dalam sepersekian detik Haidar merasa terhipnotis oleh paras Kayra. Saat wanita itu tersenyum kearahnya entah kenapa jantung Haidar terasa berdetak kencang tidak seperti biasanya. "Haidar." Kayra melambaikan tangannya didepan wajah pria itu. Haidar yang ketahuan melamun, langsung memalingkan wajahnya. "E-enggak kok." "Maksud kamu? Aku gak cantik ya?" "E-eh.... E-emang kamu nanya apa? I-itu.. Anu.." Kayra terkekeh. "Apaan sih, udah ah lupain."Kayra kembali menyantap makanan milikinya, sedangkan Haidar hanya duduk melamun. Entah ada apa dengan dirinya, tapi yang pasti jantungnya tidak aman dide
Hari-hari berlalu, bahkan sampai dengan detik ini Kayra masih memikirkan ucapan Nabastala tempo hari. Hari ini, Kayra ada dirumah sang mama. Ia akan meminta ijin untuk menikah lagi, jika sudah ada ijin ia akan meminta Haidar menjadi suaminya. "Mama, Kayra mau menikah lagi. Bolehkan?" Tanyanya pada sang mama yang tengah asik menonton tv. Si kembar sengaja dibawa oleh papa ke taman saat Kayra mengatakan akan berbicara serius dengan mama. "Ra sejujurnya mama masih berat. Tapi, apa kamu sudah bertemu dengan seseorang yang baik?" Kayra mengangguk. "Iya ma, Kayra sudah ketemu yang tepat." "Boleh mama bertemu dia dulu?" "Tentu." Kayra merasa senang dalam hatinya, akhirnya setelah sekian lama Kayra mendapat juga ijin dari sang mama. *** Esok harinya, Kayra menghampiri Haidar yang tengah berjualan ditaman kota. "Haidar!" Sapa Kayra saat menemukan Haidar yang tengah duduk di trotoar jalan. Pria itu melambaikan tangannya. Kayra berjalan menghampiri wanita itu. "Gimana j
Hari ini adalah hari dimana Kayra akan membawa Haidar kerumahnya. Dia sudah izin pada sang mama dan papa. "Ayo masuk Haidar." Ucapnya saat sampai didepan rumahnya. Haidar mengangguk. "Ayo Ra." Mereka masuk kedalam rumah orang tua Kayra. Kayra tidak harus memastikan orang tuanya ada atau tidak, karena dia sudah memberi kabar lebih dahulu. Sesampainya didalam rumah. "Mama, papa..." "Kayra duduk nak." Balas papa. Melihat pria tadi hanya berdiri, mama bersuara. "Silahkan duduk nak, jangan segan-segan anggap saja rumah sendiri." Ucap akan ramah. Pria itu tersenyum, lalu ia mendudukan bokongnya disofa. "Jadi, kalian pacaran? sudah berapa lama?" Tanya papa to the point. Mama menepuk paha papa. "Jangan langsung interogasi dong pak." Papa hanya tersenyum kikuk, sedangkan Kayra mati-matian menahan tawanya. Mama menatap Haidar dengan senyum diwajahnya. "Silahkan diminum dulu, biar relax. Soalnya papa si Kayra mukanya tegang." Haidar mangut sopan." Terimakasih Tante." Ucap
Hari ini, adalah hari dimana Haidar akan menawarkan Kayra bertemu dengan orang tuannya."Haidar, kita kesana naik apa?" Tanya Kayra saat Haidar sudah sampai di depan rumahnya."Naik motor ku Ra.""Aman?"Haidar tersenyum. "Aman kok Ra, tenang aja. Tapi, bentar ya aku izin dulu sama mama papa kamu."Kayra menahan pria itu. "Gak usah.""Lho, kenapa? Kalo aku gak izin nanti dikira nyulik dong? Terus anak-anak sama siapa?""Nah, itu kamu nyadar. Mama sama papa gak ada dirumah. Papa kerja, mama bawa anak-anak jalan-jalan. Lagian kamu udah izin kemarin kan?"Haidar mengangguk, lalu tersenyum. "Yaudah kalo gitu. Ayo Ra!""Haidar kenapa gak pake mobil aku aja?""Gak ah, ribet. Siapa tahu pulangnya naik mobil kan.."Kayra tidak mengerti ucapan pria itu, ia hanya mengikuti saja.Selama perjalan, tidak ada percakapan apapun. Haidar diam begitupun dengan Kayra. Hanya suara bising kendaraan disekitar mereka yang terdengar. Ini untuk pertama kalinya bagi Kayra menaiki sepeda motor untuk waktu yang
“Mama… kata teman-teman aku… aku sama Riana anak h-haram….” Reana mulai berbicara sambil terisak. “P-padahal kan kita anak Mama….”Kayra tertohok. Anak seperti apa yang berani mengatakan hal buruk itu kepada putri-putrinya?Ia baru saja pulang dan memasuki rumah orang tuanya. Tapi, bukan sambutan hangat yang Kayra dapatkan melainkan sebuah isak tangis yang bersahutan dari ruang keluarga.Kata sang papa, anaknya baru saja dibuli di sekolah karena tidak memiliki ayah. Kayra menatap kedua anak yang ada di pangkuannya. Kayra Agnesia, seorang ibu dari dua anak kembar. Jandanya seorang pengusaha kaya raya. Kecantikan wajah dan kesuksesan dalam berkarir tidak menjadi tolak ukur cinta itu bertahan, buktinya Kayra ditinggalkan suaminya saat tengah mengandung anak kembarnya di usia tujuh bulan.Kayra kira, setelah bercerai dan hidup lebih baik, ia akan bahagia. Tapi tidak dengan kedua anaknya. Ini bukan kali pertama anak-anaknya dibuli hanya karena tidak memiliki ayah.“K-katanya… karena kita
Kayra menatap tak percaya pada seorang pria muda yang tidak dia kenal. Pria itu memakai kaos oblong biasa, dan celana bahan yang terlihat sedikit kotor. Ada handuk kecil yang melingkar di lehernya, dan sebuah topi hitam menutupi rambutnya yang agak ikal."Nyonya apa sopan Anda memaki seseorang di tempat seperti ini?" Tanya pria itu berani.Wanita itu menatap pria yang mencekal tangannya. Ia tatapan sekitar. Benar banyak orang. Lalu matanya menatap pria itu dari atas sampai bawah."Kamu siapa berani-beraninya melarang saya? huh?! Kamu gak tahu apa-apa. Dasar miskin!" Ucap wanita itu lalu pergi sambil menghentakkan kakinya.Kayra bernapas lega. Dia menatap pria itu dengan binar di matanya."Terima kasih ya." Ucap Kayra.Pria itu tersenyum. "Sama-sama, Nyonya. Apa anda tidak kenapa-kenapa?"Kayra menggeleng.Pria tadi memerhatikan Kayra. Ia melihat wajah Kayra sebelah pipi wanita itu sedikit merah dan memar."Tapi itu—" tunjuk pria itu.Kayra menyadarinya, ia pegang sebelah pipinya itu.