“HATCHI!”
Suara bersin saling bersahut-sahutan di ruang tamu rumah Bara. Ketiga pria yang sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek itu duduk dalam satu selimut.
“HATCHI! HATCHI!” Edo mengelap hidungnya yang memerah dengan ujung selimut, membuat Bara menggeram kesal. Seluruh persediaan handuk dan selimut bersihnya habis dipakai ketiga pria bodoh itu.
“Kayaknya mereka flu,” gumam Nilam cemas. “Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit?”
“Mereka cuma lemah,” desis Bara kesal. Ia berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap ketiga pria dewasa itu dengan pandangan yang benar-benar marah. Bukannya membantu, ketiga sahabatnya justru menghancurkan sore Bara yang indah.
Nilam menatap prihatin. “Kalau begitu boleh saya pinjam dapurnya dulu?”
“Ya?”
“Biar saya buat teh hangat.”
“Ah, itu nggak perlu. Lagi pula
Di dalam rekaman cctv, tampak Fadlan tengah bermain bersama Leo di ruang tamu. Bara bahkan membelikan beberapa box mainan baru agar Leo tidak bosan. Sekarang Fadlan dan Leo tengah menyusun rel kereta api mainan yang panjang di atas meja ruang tamu.Lalu, tiba-tiba Fadlan menoleh ke arah cctv, dan mengangkat jari tengahnya, seakan tau Bara tengah memperhatikan cctv.“Hahaha.” Tanpa sadar Bara tertawa pelan.“Apa nggak apa-apa Leo dititip di sana?” tanya Nilam cemas.Bara menggeleng, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja, agar Nilam bisa melihat tayangan live cctv yang terpasang di rumahnya.“Fadlan orang yang baik, dan dia seorang koki yang cukup berbakat. Kamu nggak perlu khawatir soal makanan Leo.”Sejujurnya, bukan itu yang Nilam risaukan. “Tapi saya takut merepotkan. Padahal saya bisa titip di daycare.”“Leo masih sakit, Nilam,” bujuk Bara lembut. “Kalau di
“Ssst, mereka tidur.” Bara meletakkan telunjuknya di bibir, lalu menutup perlahan pintu kamarnya.Bahu Nilam yang sebelumnya begitu tegang, mencelos lega seketika. Hampir saja ia terserang panik saat tidak menemukan Leo atau Fadlan di mana pun di rumah itu. Padahal pintu rumah dibiarkan terbuka.“Mungkin mereka kelelahan,” gumam Bara.Nilam mengintip sekilas. Di dalam kamar itu Leo dan Fadlan tampak tertidur nyenyak. Bahkan Fadlan masih menggunakan celemek berwarna cokelat. Pasti tidak mudah menjaga seorang bocah penuh semangat seperti itu.Nilam kembali menutup pintu kamar Bara dengan perlahan, khawatir akan membangunkan keduanya. Matanya menyapu ruang tamu rumah Bara yang sudah seperti kapal pecah.“Syukurlah kalau mereka tidur, saya jadi punya sedikit waktu.”Deg.Bara menoleh cepat. Apa ia tidak salah dengar? Nilam baru saja bersyukur karena keduanya tertidur? Apa Nilam mengharapkan hal yang sam
Awalnya ciuman itu hanya sebuah sentuhan tipis yang begitu lembut. Sedetik kemudian, Bara melepaskan kecupannya, matanya menatap mata indah Nilam yang tak lagi berjarak. Dan saat ia melihat kabut yang sama di mata wanita itu, Bara kembali mendekatkan wajahnya.Tangannya terselip di antara helaian rambut dan leher wanita itu, menelusuri jenjang kulit halusnya. Ia bergerak perlahan, mengecup sedikit demi sedikit, sampai ia merasa penolakan Nilam berkurang, dan membalas ciumannya, Bara mulai kehilangan akal sehat.Bara membuka bibirnya, mencium bibir lembut wanita itu. Semakin dalam Bara menciumnya, ia jutsru semakin haus untuk bergerak lebih jauh. Erangan melompat dari mulutnya setiap kali mereka berpisah sejenak.Bara mempersempit jarak di antara mereka berdua, menghirup dalam-dalam aroma Nilam yang memabukkan.Saat bibirnya bergerak menuruni leher wanita itu, desah napas Nilam membuat kepalanya semakin menggila. Bara benar-benar menginginkan wanita itu se
“Le? Siapa yang telepon?” tanya Nilam saat keluar dari kamar mandi.Tadi, ia sempat mendengar dering ponselnya, lalu hening. Ia yakin Leo sudah mengangkat telepon itu.“Leo?” Nilam melongokkan kepala ke dalam kamar ketika tidak menemukan jawaban dari putranya. Ia mengernyit melihat lampu yang sudah dimatikan. Padahal biasanya Leo masih terjaga, terlebih lagi, tadi sore bocah itu sudah tidur.Nilam menatap sekeliling kamar. Tumpukan kardus mainan yang diberikan Bara masih tergeletak di bawah kaki ranjang, belum terbuka sama sekali.Apa Leo sakit? batin Nilam ragu. Ini benar-benar tidak biasa. Ia pikir Leo akan sangat kegirangan mendapat mainan baru sebanyak itu.Nilam berjalan mendekat sepelan mungkin, lalu meletakkan tangannya di kening Leo. Tidak ada demam, atau erang kesakitan seperti kemarin malam. Apa Leo hanya kelelahan bermain seharian?Lekat, Nilam menatap wajah Leo. Tidak ada hal yang paling indah sel
“Mama, katanya, Leo anak sial. Kalau Leo nggak ada, papa sama nenek nggak akan usir Mama. Leo minta maaf, Mama…”BRAK.Tanpa sadar Bara meninju pintu kontrakan itu dengan sangat keras, membuatnya terbuka begitu saja.Bara tau, ia baru saja berjanji untuk melangkah mundur, tapi, saat ia mendengar kata-kata lirih Leo, ia tidak bisa menahan luapan amarah di dadanya. Dengan langkah lebar, Bara melesat masuk ke satu-satunya kamar yang ada di dalam kontrakan Nilam.“Siapa? Siapa yang bilang begitu, Leo?!” tanya Bara geram.Nilam dan Leo tersentak kaget dengan kedatangan sosok itu. Ia seperti beruang yang siap menerkam siapa saja.“O-Om Bara?” gumam Leo terbata.Bara berlutut di samping ranjang Leo. “Bilang sama, Om. Siapa yang sudah ngomong begitu sama Leo?” tuntut Bara menggebu-gebu. “Biar Om kasih pelajaran orang itu!” Wajah tampannya memerah marah. “Ayo bil
Nilam : ‘Ya, Mas. Mas juga yang semangat kerjanya. Sampai ketemu nanti sore.’Putra mendengus pelan saat menyadari Bara terus menatap layar ponsel. Ia yakin pria itu tidak mendengarkan isi kontrak yang diajukan sekretaris perusahaan rekanannya sekarang.“Bar!” desis Putra sambil menendang kaki pria itu di bawah meja. “Gue pecat lo lama-lama,” bisiknya geram.Bara menghela napas panjang, lalu meletakkan ponselnya dengan wajah kesal.“Poin nomor 6, apa artinya Anda akan menggunakan SKTU dan SIUP yang sama?” tanya Bara, berubah serius.Pria melirik kaget, ia pikir Bara tidak mendengarkan sama sekali.Pria bernama Anwar yang memperkenalkan diri sebagai seorang sekretaris, berdeham pelan. Ia melempar pandang ke pria yang duduk di sebelahnya.“Bahkan kalau pun itu franchise, tetap membutuhkan SKTU dan SIUP terpisah.”“I-ini hanya
“ASTAGA! MOBIL LO KENAPA, BAR?!” pekik Edo saat Bara memakirkan mobilnya di depan rumah. “LO HABIS NABRAK APAAN?!”Bukannya menjawab, Bara malah membanting keras pintu mobilnya. Lalu, masih dengan wajah marah, ia membukakan pintu untuk Nilam, tapi meninggalkannya begitu saja.“Kalian kecelakaan, Nilam?” tanya Edo sambil memeriksa kondisi mobil pria itu. Percuma bertanya kepada Bara, karena ia takkan pernah menjawab. “Kecelakaan di mana?”Sebenarnya keadaan spion kanan mobil Bara tidaklah terlalu parah, tapi siapa pun pasti menyadari jika ia patah, pasrah, dan hanya mengandalkan beberapa kabel kecil untuk bertahan hidup.Gelengan ragu Nilam membuat Edo semakin mengernyit.Mobil kedua yang memasuki parkiran rumah Bara adalah mobil Putra.“Put, lihat nih!” teriak Edo, bahkan sebelum Putra sempat mematikan mesin mobilnya.“Anj*r, kenapa tu mobil? Kamu kecelakaan, Nil?&rdquo
“PUTRA!” Putra lantas menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara teriakan ibunya.“Ya, Mi?” tanyanya dengan wajah mengernyit.“Sebenarnya kamu lagi ngapain, hah?” Putra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia baru saja membantu Fadlan merapikan kekacauan di rumah Bara. Sedangkan pemilik rumah itu sendiri malah pergi mengantarkan Nilam dan Leo pulang.Musik yang dinyalakan Edo mengalun kencang dari ruang depan, tempat ia tengah mengepel sambil bernyanyi.“Heh, Kampr*t! Matiin dulu!” desis Putra tanpa suara. Tangannya menunjuk ponsel dan gorokan ibu jarinya di leher sebagai kode hitam. Edo langsung bergerak mafhum. Ia melompat dan mematikan musik menggelegar itu, lalu kembali asyik mengepel lantai tempatnya tertawa sampai mengompol tadi.“Kamu di mana sekarang?!” “Aku lagi di apartment, Mi,” jawab Putra sambil mengel