“Sialan kau, Zahra! Aku yang bertahun-tahun berusaha untuk mendapatkan David, eh malah kamu yang dapat.”
Dalam keadaan setengah sadar Andin terus meracau, memaki dan meneriaki Zahra. Di depannya satu botol minuman beralkohol sudah habis ditenggaknya sendiri.“Dasar adik tak tahu di untung! Udah disayang-sayang malah menusuk dari belakang! Enak kamu sekarang jadi istri orang kaya, ya?”“Lagian istri si David kenapa mat1nya telat, kenapa enggak dari dulu aja?”Selalu seperti itu saat Andin mengingat kegagalannya mendapatkan David. Ia merasa jika Zahra dan mendiang istri David sebagai penghalang hubungannya dengan David.“Andin! Kamu g1L4, ya? Kamu bisa m4t1 kalo minum terus!” Seorang lelaki yang baru saja datang langsung merebut botol minuman di tangan Andin dan melemparkan kasar.“Kamu ngapain datang, hah? Suka-suka aku mau ngapain, itu bukan urusan kamu!” maki Andin sembari melayangkan pukulan bertubi-tub“Mbak bos, dipanggil Mas bos buat makan malam,” ucap Wati yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar milik Mora.“Mas David belum makan?”“Belumlah, dari tadi nungguin Mbak bos.”Zahra mengucek matanya, lima belas menit yang lalu ia berpamitan ingin menidurkan Mora berharap David makan terlebih dahulu tapi ternyata lelaki itu malah menunggunya. Semenjak percakapan mereka tempo hari, Zahra menjadi sangat canggung jika harus berhadapan dengan David secara langsung. Ia tahu jika lelaki itu berharap jika dirinya mau menjalani perannya sebagai istri pada umumnya dan itu tak mudah bagi Zahra.Tak ingin membuat Wati curiga, Zahra memutuskan untuk bangun, membenahi rambutnya sebentar lalu melangkah keluar. Ia menapaki satu per satu tangga dengan pelan berharap David sudah tak berada di meja makan. Tapi ternyata itu hanya sekedar harapan karena lelaki itu masih duduk santai dengan posisi yang sama seperti saat Zahra lihat tadi. Hanya beda
Lengkingan suara tangis Mora berhasil menyelamatkan Zahra. Dengan sigap gadis itu langsung membuka pintu dan segera berlari untuk menenangkan Mora.Davis mengerang seraya mengusap wajahnya kasar. Mungkin ia sudah keterlaluan karena mengingkari janjinya sendiri untuk tak menuntut apa pun saat Zahra telah menikah dengannya. Tapi bagaimanapun juga ia lelaki normal, siapa yang tahan untuk tak menyentuh seorang gadis yang telah sah menjadi istrinya.Selama ini Zahra memang terlihat biasa saja di matanya. Wanita itu tak pernah berdandan atau berpakaian menggoda seperti Andin dulu. Bisa dibilang penampilan Zahra kampungan. Setelan baju tidur panjang atau kaos oblong dipadukan dengan celana jeans panjang atau pendek selutut menjadi outfit kesehariannya. Tapi hal itu tak menyurutkan pesona gadis itu yang selalu membuat David uring-uringan.**“Bu, telepon Zahra, bilang bapak minta uang. Sebentar lagi mau masuk musim tanam, kita butuh modal,” perintah Pak Sarip pada Bu Sumi.“Kenapa harus minta
Zahra menggeliat saat telinganya sayup-sayup mendengar ocehan Mora. Perlahan ia membuka mata dan melihat bayi itu sedang merambat ditubuhnya sembari menepuk-nepuk mukanya.“Jangan ganggu Bunda, Sayang. Sini sama Ayah.”Zahra mengurungkan niatnya untuk membuka mata saat David tiba-tiba terbangun dan mengangkat Mora dari tubuhnya. Bunda? Sejak kapan lelaki itu menyematkan panggilan tersebut? Perasaan selama ini Zahra selalu menyebut dirinya dengan panggilan Tante jika bersama Mora.Zahra membuka matanya sedikit, ia bisa melihat David sedang menuangkan bubuk susu formula ke dalam botol lalu memberinya air dari termos yang sudah ia siapkan sebelumnya. Beberapa kali lelaki itu terlihat mengecek tulisan dalam kaleng susu yang Zahra yakin itu adalah takaran pembuatan susu.David menuangkan sedikit susu yang baru saja dibuatnya untuk mengecek suhu. Meski baru pertama kali membuat, tapi ia sudah sering melihat cara Zahra menyiapkan susu untuk anaknya. Setelah dirasa pas, lelaki itu menghampiri
“Aku berangkat dulu. Baik-baik di rumah.” David mendaratkan kecupan singkat di dahi Zahra lalu mengelus lembut rambutnya.Zahra diam mematung melihat suaminya melayangkan senyum ke arahnya sebelum lelaki berjalan keluar. Tak seperti sebelumnya, hidup Zahra kini penuh dengan kejutan. Sikap dan perlakuan manis yang ia terima dari David membuatnya merasakan hal yang luar biasa timbul dari hatinya.Tangan Zahra terulur menyentuh dahinya, memang setiap hari David selalu berpamitan saat akan berangkat kerja, tapi baru kali ini lelaki itu bersikap demikian. Meski keduanya pernah lebih dari itu, tapi perlakuan David barusan membuat Zahra seperti sedang naik roller coaster dalam posisi menukik, nano-nano rasanya.[Gimana rasanya jadi nyonya David Ardian? Udah bulan madu kemana? Udah dibeliin apa aja? Emas, berlian atau mobil?]Zahra mengernyit heran melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselnya dari nomor baru yang belum disimpannya. Penasaran, Zahra menyentuh ikon kontak tersebut dan terpam
Suasana hening menyelimuti kebersamaan David dan Zahra yang sedang duduk bersama sambil menonton televisi. Sebenarnya bukan menonton, melainkan ditonton karena keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing.Waktu masih jam delapan malam, masih terlalu awal untuk pergi tidur. Akhir-akhir ini interaksi keduanya memang sudah lebih santai jadi tak masalah lagi jika Zahra harus duduk berdua dengan David, toh pertahanannya sudah jebol.“Mora sudah tidur? Perasaan dari tadi enggak ada suaranya?” tanya David sembari terus fokus pada ponselnya.“Belum, kalo udah tidur pasti Wati turun," jawab Zahra“Kayaknya kita enggak perlu cari pengasuh, Wati aja udah cukup.”Zahra mengangguk mantap.“Kata Wati yang penting gajinya cocok, semua pasti beres."David terkekeh, atas saran Zahra ia baru saja menaikkan gaji Wati dua kali lipat dari sebelumnya. Itu dikarenakan Wati sekarang mempunyai tugas ganda yaitu asisten ru
“Selamat pagi, Sayangnya Ayah.”David mengangkat Mora yang sedang duduk di kursi bayi lalu mencium pipi gembulnya dengan gemas. Zahra yang sedang menyiapkan sarapan mencuri pandang ke arah mereka dan tersenyum saat melihat Mora tertawa karena David tak henti-henti menciumnya.Seperti biasa, saat memasak sarapan Zahra akan selalu ditemani Mora karena anak itu selalu bangun lebih awal. Ia tak mau selalu merepotkan Wati karena wanita itu pun punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan setiap pagi. “Ayo kita lihat Bunda,” ucap David berjalan mendekati Zahra.Ada desiran aneh yang terasa saat David selalu menyebutnya dengan panggilan Bunda. Antara bahagia dan tak percaya jika saat ini ia telah memiliki suami dan anak yang cukup memberi warna dihidupnya.“Bunda masak apa?”“Na-nasi goreng.” Zahra melirik pada lelaki yang kini berdiri tepat di sampingnya. Dagu David yang hampir menyentuh pundaknya berhasil membuat tubuhnya sedikit gemetar.“Cicip dong, Bunda. Kelihatannya enak,” ujar Dav
Zahra terus mengecek jam diponselnya. Berkali-kali ia melongok keluar jendela berharap lelaki yang sedari tadi ditunggu menampakkan ⁷batang hidungnya. Sudah jam sembilan malam, tapi belum ada tanda-tanda jika suaminya akan pulang. David sudah telat tiga jam dari jam pulang biasanya dan itu cukup membuatnya was-was. Sejak pagi perasaannya sudah tak karuan, bahkan seharian ia sama sekali tak melakukan aktivitas apa pun termasuk makan dan mengasuh Mora. Seharian anak itu full dipegang oleh Wati bahkan hingga saat ini pun anak itu tidur bersama Wati.Keringat dingin mulai membasahi tubuh Zahra, rasa mual, pusing dan lemas mulai terasa. Berkali-kali ia melihat deretan foto yang semalam dikirimkan oleh Andin. Foto yang berisi gambar kakaknya dengan suaminya dengan pose mesra cukup membuat hatinya tak karuan.Cemburu? Bukan cemburu, lebih tepatnya tak rela jika lelaki yang telah menjadi miliknya ternyata masih menemui mantan kekasihnya. Pagi tadi Zahra sangat syok saat melihat pesan yang d
Huqbungan Zahra dan David kembali dingin seperti semula. Rumah yang tadinya mulai ramai, kini kembali sepi. Jarang ada obrolan saat sarapan atau setelah makan malam seperti biasanya. Lagi pula akhir-akhir ini David terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Meski tak pernah pulang telat tapi lelaki itu malah membawa kerjaannya ke rumah. Alhasil saat di rumah sebagian besar waktu David dihabiskan di depan laptop.“Ngapain pulang kalo masih kerja?” sindir Zahra. Entah mengapa setelah tahu David bertemu Andin, perasannya selalu sensitif dan selalu ingin marah.“Aku enggak mau kamu curiga gara-gara pulang terlambat, makanya aku bawa pulang kerjaannya,” jelas David.“Alasan! Aku juga enggak bakal marah kok kamu mau pulang jam berapa.”“Oh, ya? Nanti tengah malam marah-marah kayak kemarin.”David berusaha menggoda Zahra. Meski ia sendiri kerepotan meladeni kemarahan istrinya, tapi David jujur saja David suka melihat sikap Zahra