Ujian akhir telah selesai selama dua minggu. Aya mampu melewati semuanya dengan baik walau ada sedikit trauma pasca peristia penembakan di sekolah. Sekarang saatnya liburan sampai pengumuman kelulusan tiba. Sebentar lagi tanggal 1 agustus, Aya akan berulang tahun ke 18. Di Gunung Kalastra seusia Cahaya sudah akan dinikahkan oleh Abhiseka. “Non Aya,” panggil Saka di pagi hari ketika tuannya tidak sekolah lagi. “Aya tahu, Pak, tapi bisa nggak ditunda tiga hari aja dulu ke gunungnya. Aya masih mau jalan-jalan. Aya nggak lari, kok. Cuman minta waktu dikit.” “Baiklah, tiga hari saja kalau begitu. Setelah itu saya akan membawa Non Aya, suka atau tidak suka ke Gunung Kalastra. Itu rumah Non Aya yang sebenarnya. Di sana semua orang akan menerima Non Aya dengan tangan terbuka.” “Di sini Aya juga diterima, kok, kecuali sama Mama.” Gadis itu menarik napas panjang sejenak. “Aya, ikut mama ke kebun. Kamu harus belajar ngurus usaha dari Opa mulai dari sekarang,” perintah sang ratu. “Oke,” jaw
Saka dan Aya masih berada di kebun tebu. Suasana yang dingin di sana membuat sang putri betah dan masih belum mau beranjak. Soal kebakaran Aya tak ambil pusing. Kebun-kebun itu milik mamanya, belum tentu juga akan menjadi miliknya. Karena tiga hari lagi ia pun akan ke tempat yang katanya cocok dengannya. “Eh, itu si pucat,” tunjuk Aya pada hantu temannya yang dulu ada di sekolah. “Hmm, biarkan saja Non Aya, dia betah jadi orang-orangan kebun.” Saka melihat ke seluruh perkebunan. Luas sekali peninggalan milik Pak Bondan sejak dibawah kendali Amira. Tak ayal sang ratu pun ekpansi bisnis sampai ke luar negeri. “Pak, Aya ada ide gila sedikit, sih. Mau nggak Pak Saka buat hari ini aja sama Aya. Besok-besok nggak bakalan ada lagi.” Aya mengedipkan mata birunya berkai-kali. Saka curiga, pikiran random sang putri sulit sekali ditebak. Sebentar bilang benci sebentar bilang sayang, sudah sering. “Kalau boleh tahu, apa itu, Non, asal jangan minta yang aneh-aneh saja.” “Eeh, nggak aneh, kok,
Tinggal menunggu satu hari berlalu. Aya tidak akan tinggal di rumah Pak Bondan lagi. Apa yang sekarang dilakukan oleh Aya dan Saka setelah kemarin cosplay menjadi Ultraman Giga? Yaitu pergi karaoke. Saka sampai tutup telinga karena dentum musik yang terlalu kuat di telinganya. Aya menyanyikan lagu masa kini juga lagu daerah. Suaranya memang bagus, tapi tanpa menyanyi pun sang putri sudah membuat hidup pengawal itu jadi berisik setengah mampus. “Besok aku sudah sampai di gunung. Semoga setelah ini hidupku tenang. Tidak apa cinta lepas lagi. Asalkan aku mendapat kedamaian,” ucap Saka ketika melihat Aya jingkrak-jingkrak nggak jelas di dalam ruangan. “Pak Saka ngomong apa tadi?” tanya Aya. “Tidak ada, lanjutkan saja menyanyinya, Non, di gunung hal seperti ini tidak akan ada.” Saka, sebenarnya dia juga mahir memainkan alat musik ketika sedang termenung di gunung. Sebuah suling yang ia buat dengan tangannya sendiri. Sayangnya, ia tinggalkan di gunung karena di dunia manusia sudah terlal
Di kamarnya, Guru Wirata baru saja selesai memahat patung kecil-kecil. Di antaranya mereka adalah, Putri Cahaya dan tiga calon suaminya yang ia pilih dari gunung lain sesuai dengan titah sang prabu. Langkah selanjutnya yaitu mencari kecocokan dari tiga pangeran tersebut. Mana kiranya yang akan layak menjadi pelindung Putri Cahaya. Satu dari tiga pangeran harimau putih itu bahkan sebentar lagi akan menjadi raja. “Baiklah, semoga ada yang layak untukmu, Putri Cahaya yang separuhnya berdarah manusia, separuh lagi berdarah harimau.” Guru Wirata mengikat patung sang putri dengan salah satu pangeran menggunakan benang merah. Ia bakar menggunakan api yang juga berwarna biru. Benang merah tersebut putus dan patung pangerannya hangus menjadi abu. Tidak dengan Aya.Berlanjut pada patung pangeran kedua. Masih sama, bahkan patung pangeran harimau putih itu meledak. Pertanda jika dipaksakan Aya dengannya, bukan tak mungkin ada perang besar antara dua kerajaan. Mengingat sang putri bukanlah sepert
“Mati aku sampai di atas nanti. Hukuman apa kira-kira yang akan diberikan oleh Gusti Prabu,” ujar pengawal itu perlahan. Saka berjalan di depan dan Aya mengikutinya dari belakang. Mereka melewati tempat yang indah dan membuat mata terlena. “Pak Saka,” panggil sang putri. Namun, pengawal itu sedang tidak ingin bicara apa-apa.“Pak Saka marah sama Aya?” tanya gadis bermata biru itu. “Tidak, kita harus cepat sampai, Tuan Putri. Gusti Prabu pasti sudah menunggu.” Saka menyingkirkan ranting pepohonan yang menghalangi langkah mereka berdua. “Yang tadi nggak sengaja loh, Pak, suer.” “Tidak sengaja apanya?” gumam pengawal itu tak percaya. “Ah, tapi Pak Saka diem aja, nggak ada ngelawan, artinya Bapak mau juga donk.” Aya senyum lagi. “Tuan Putri, harap jaga bicara di sini ya, jangan berkata mesum, nanti terj—” “Terjadi hal-hal yang diinginkan?” tebak Aya. “Shyuuuh, tenang dan nikmati alam pemandangan sekitar.” Saka kemudian menunjuk taman bunga yang sangat luas di lahan tak berpenghuni
“Tuan Putri Cahaya Argani, selamat datang di istana Kerajaan Gunung Kalastra, hamba Marlin, kepala dayang di istana ini.” Sambutan dari salah satu pengurus istana yang paling tua, sambil menundukkan kepala memberi hormat. “Keren amat nama di gunung Marlin, kiran Paijo, Painem, Suketi gitu.” Aya masih memperhatikan gerbang masuk istana yang begitu megah daripada rumah Amira. Semua yang ada di sana memberikan hormat padanya. “Tuan Putri, ayo, hamba akan mengganti bajumu. Gusti Prabu sudah menunggu,” ajak Marlin. Dia membuka tas ransel sang putri dan memberikannya pada dayang muda. “Eh itu ada sunscreen, cussion, retinol, bedak, lipstik.” Aya meminta lagi tasnya. “Tuan Putri tidak perlu itu semua di sini. Mari, kita ganti semua barang-barang manusia biasa yang fana ini. Antar Tuan Putri ke pemandian.” Perintah Marlin pada lima dayangnya. Sepanjang jalan Aya hanya ber woow dan say amazing saja atas kemegahan istana milik Abhiseka. Bahkan dia tidak memanggil Saka lagi. Sudah ada lima
“Taksaka, kau diam dulu di sini sampai pertemuan selesai.” Guru Wirata membuka suara. “Baik, Guru.” Lelaki itu memutuskan tinggal di sisi tuannya lagi. Sesekali manusia harimau kuning tersebut melirik Putri Cahaya yang akhirnya bisa memadamkan api biru sendirian. Kemudian gadis yang sama keras kepalanya seperti Amira duduk sesuai tempat yang ditunjukkan Mei Mei. ‘Oh my god, kenapa semua cowok di sini nggak pakai baju,’ gumam Cahaya dalam hatinya. Malu kalau didengar orang lain. Dari semua yang hadir, hanya Abhiseka yang menggunakan jubah serupa dirinya. Sisanya shirtlees seperti Saka. Very maskulin like gentleman and slaaay. ‘Ya ampun, puas donk mata aku lihat pemandangan indah setiap hari.’ Gadis bermata biru itu senyum-senyum sendiri. ‘Semoga nggak ada gay di sini, sayang banget, udah six pack, macho, uwoooow, kayaknya kalau milih sambil merem nggak apa ini kalau asal comot.’ Gitu kata Aya dalam hati, padahal matanya dari tadi melihat Saka terus. Sampai manusia harimau itu jadi
“Tuan Putri, bangun, Tuan Putri, bangun, hari sudah pagi, ayo kita bersiap.” Mei Mei mengguncang betis tuannya. Aya tidur memakai kain yang sangat tipis dan pendek, mungkin kepanasan, padahal di gunung sangat dingin. “Bentar, lagi, Ma, kan, libur sekolah.” Aya balik tengkurep. “Tuan Putri, nanti Gusti Prabu marah kalau putrinya bangun siang. Tak baik untuk anak gadis apalagi yang belum menikah,” bisik Mei Mei lagi. “Aya nikah sama Pak Saka aja.” Mendengkur lagi gadis bermata biru itu. “Tuan Putri pilihannya hanya tiga pangeran yang datang.” Mei Mei tak menyerah membangunkan tuannya. “Pangeran, Gusti Prabu,” ulang Aya sambil membuka mata perlahan. Lalu ia sadar sudah berada di dalam istana. Detik itu juga Aya duduk bersila. “Cepet banget waktu berjalan, perasaan baru kemarin main ultraman sama Pak Saka.” Aya garuk-garuk kepala. “Ayo, Tuan Putri, hamba bantu mandi.” “Pak Saka mana?” tanya gadis itu. “Tidak tahu, Tuan Putri, kami beda urusan dan pekerjaan. Kita harus cepat, sebab