Sejak sepuluh menit yang lalu, Shela dan Sebastian datang. Mereka berdua dengan wajah paniknya dan Shela yang tidak bisa tenang sedikitpun, dia tetap menangis memeluk Sebastian. Aldrich pun juga dirangkul oleh Sebastian, karena dia tahu Aldrich pun pasti cemas tak terkira. "Tiana, bagaimana dia, Sayang?" tanya Tiana memejamkan kedua matanya dan kembali menangis. "Tidak papa Shela, aku yakin Tiana baik-baik saja. Tenanglah, kalian berdua tenang... Dokter Marisa tidak pernah gagal! Adam juga selalu memberikan yang terbaik!" jawab Sebastian merengkuh Shela dengan sangat erat. Tak lama setelah itu, pintu kaca buram di depan mereka terbuka, nampak Dokter Marisa yang muncul menatap Sebastian dan Shela, juga Aldrich yang bersama mereka. "Dokter, bagaimana keadaan Tiana?" Aldrich lebih dulu mendekat. "Kondisinya menurun drastis, mungkin karena faktor kelelahan juga bisa. Tapi kami harus mengambil tindakan yang cepat, karena Tiana tidak sadarkan diri sejak beberapa menit yang lalu," jela
Sampai beberapa jam lamanya Aldrich menunggu istrinya bangun. Ia menemani Tiana di dalam sebuah ruangan bersama dengan Dokter Adam. Aldrich duduk mengusap punggung tangan Tiana. Sejak malam hingga pagi menjelang siang, Tiana tidak kunjung bangun. "Apa masih lama, Om?" tanya Aldrich tanpa menatap Adam. "Tidak Al, kita harus lebih bersabar lagi. Tiana kehabisan tenaga, tubuhnya sakit, dia juga pasti memikirkan bayinya." Adam memperhatikan Aldrich yang sangat-sangat sedih. Pemuda itu mengecup punggung tangan istrinya dengan penuh harapan. "Cepat bangun, Sayang... Kasihan Arabelle menunggumu. Kau bilang padaku katanya kau ingin menggendong Arabelle saat anak kita lahir, kau ingin menjadi orang pertama yang menggendongnya. Ayo bangun, Sayangku..." Aldrich berucap lirih tanpa suara. Adam yang melihat Aldrich saat ini, dia merasa sangat kasihan dan juga merasa kagum dengan kesetiaan yang Aldrich miliki.Laki-laki itu melangkah keluar, dia membiarkan Aldrich lebih leluasa berbincang den
"Ya ampun Mam, kecil sekali anak ini... Nangisnya tapi keras kayak Mamanya! Dasar...!" Celetuk itu terucap dari bibir Tino saat ia menatap bayi mungil milik Tiana yang kini berada di rumahnya. Mendengar apa yang Tino ucapkan, Shela langsung terkekeh. Wanita itu duduk memangku bayi perempuan mungil yang tengah menggeliat. "Mami berharap Tiana cepat dibawa pulang, dia pasti rindu dengan Arabelle," ujar Shela. "Biar besar di sini Mam, biar aku ada rival," ujar Tino. "Memangnya kau tidak butuh menikah?" tanya Sebastian menyahuti. "Atau kau ingin adik, jangan-jangan!" "Ingin sih ingin, tapi kalian jangan sampai memberikan aku adik! Ingat Pi... Sudah tua, sampai Papi kasih adik buat kembar, bakal aku bawa pergi tuh bocil!" seru Tino dengan nada merajuk. Shela dan Sebastian tertawa, Sebastian langsung mengusak pucuk kepala Tino dengan gemas dan kesal. Sejak dulu hanya Tino yang paling tak setuju bila orang tuanya memberikan dia seorang adik, pasti dia menolak keras dan marah-marah pa
Beberapa hari berlalu cepat, Tiana masih tinggal di kediaman orang tuanya. Ia tidak bisa merawat Arabelle tanpa bantuan Shela. Selalunya ada Shela yang menemaninya dan membimbing Tiana memberikan ajaran untuk melakukan ini dan itu."Mam, apa aku dulu persis dengan Arabelle?" tanya Tiana seraya menggendong bayi mungilnya. Shela menundukkan kepalanya dan tersenyum menatap bayi yang tengah tertidur itu. "Sedikit. Menurut Mami, Arabelle malah mirip dengan Aldrich," jawab Shela. "Hemm? Malah mirip dengan Aldrich?" Tiana terkekeh mendongakkan kepalanya. "Iya Sayang. Lihat saja... Pipinya memang gembil seperti punya Tiana, tapi hidung, mata, bibir, ini seperti punya Aldrich." "Kan memang anakku, Mam!" Suara Aldrich membuat Tiana dan Shela menoleh. Nampak Aldrich baru saja pulang dari kantor sore ini. Laki-laki itu berjalan mendekati istri dan Mama mertuanya. Aldrich menatap bayi mungil dalam pelukan Tiana. "Lucu ya, dia baru saja menangis... Untungnya ada Mami," ujar Tiana. "Belaja
SEASON 3. TIANO LOVE STORY.Beberapa bulan yang lalu, di kota Scarborough...Seorang gadis berkulit putih pucat, bermata sipit dengan rambut hitam panjang lurus berponi, ia berjalan memeluk mantel tebalnya menangis tanpa suara di tepi jalanan, kedinginan, dan amat terpuruk dengan apa yang dia rasakan saat ini."Tuan... Maafkan saya! Tidak akan, saya tidak akan mencuri lagi! Maaf... Saya berjanji tidak akan mencuri lagi!"Suara pekikan seorang laki-laki yang kini berhadapan dengan tiga orang berpakaian seorang perwira. Gadis cantik berdarah Jepang tadi, berdiri dengan wajah panik. Sora melebarkan kedua matanya dan berlari. "Ayah!" pekik gadis itu berlari mendekat. "Sora... Sora, kau dari mana hah?! Cepat suruh mereka pergi!" seru laki-laki tua itu. Aroma minuman menyengat dari laki-laki itu. "Ayah mabuk lagi? Ayah kenapa lagi? Jangan bilang Ayah kalau melakukan kejahatan lagi, kali ini apa lagi, Ayah... Ibu sedang sakit! Ayah kenapa malah seperti ini?! Dan-" Ucapan Sora terhenti,
"Apa yang Tuan inginkan dari saya?" Sora mengerjapkan kedua matanya menatap Tiano yang kini berdiri di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum tipis mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Sora. "Tidak perlu banyak bertanya, Sora. Yang jelas kau akan berguna nanti," jawab laki-laki itu..Mata sipit Sora menjadi sayu, dia mengangguk kecil meremas tas miliknya. Tiano berjalan membuka sebuah pintu. Sora berjalan mengekorinya, gadis itu melihat Tiano mengeluarkan ransel besarnya. "Beberapa Minggu lagi aku sudah tidak aktif di dunia Militer, aku akan kembali ke kota.""Ke kota? Ke London?" tanya gadis itu. "Heem, dan kau ikut denganku." "Saya?! Tapi Ibu saya kan-"Ucapan gadis itu terhenti, Tiano membalikkan badannya menatap gadis yang gugup dan bingung. "Aku mencari seorang gadis yang mau menjadi asistenku di kantor, ya... Anggap saja, menjadi pesuruhku. Aku akan membayarnya puluhan juta atau bahkan lebih! Apa kau tidak tertarik?" Tiano tersenyum miring. "Ya, saya mau kalau begit
Kamar VVIP, dokter spesialis yang handal, dan seorang perawat penjaga. Sora mengerjapkan kedua matanya saat Tiano meminta hal yang serba mahal pada dokter. Dia ingin diberikan yang terbaik untuk pasien itu, tak lain Ibunya Sora. Bahkan kini Ibunya sudah ditangani sejak beberapa jam yang lalu, Sora dapat melihat penanganan yang luar biasa mereka lakukan. Hingga Ibunya kembali tersadar. "Ibu... Ibuku sudah bangun!" Sora mendongak menatap Tiano yang berdiri di sampingnya. Tiano melirik wajah gadis itu, dia tersenyum manis dan sangat bahagia. Ponsel Tiano tiba-tiba berdering, nampak sebuah nomor menghubunginya. "Tunggu di sini sebentar," ucapnya pada Sora. "Baik Tuan." Tiano melangkah menjauh, dia menjawab panggilan itu. "Halo..." "Tuan sudah membawa putriku? A-apa dia melawan? Dia melunjak pada Tuan?" tanya laki-laki di balik panggilan itu.Senyuman tipis terukir di sudut bibir Tiano. Laki-laki itu menoleh ke arah Sora. "Tidak. Dia akan ikut denganku, sebagai gantinya! Kau jang
London, Inggris...Baru kali pertama ini Sora menginjakkan kakinya di kota London. Gadis itu seperti anak hilang, menatap pemandangan di luar mobil dengan terheran-heran. Sora tidak pernah pergi ke manapun, bahkan keinginannya untuk kembali ke Jepang juga pupus sejak Ibunya sakit, uang tabungannya juga harus untuk biaya pengobatan sang Ibu. "Wahh, bagus sekali," gumam gadis itu. Tiano menoleh. "Baru pertama kali ke London?" "Iya. Ini baru pertama kali, aku tidak pernah pergi dari Scarborough. Ibuku melarangku pergi sendiri, takut aku diculik orang asing," jawabnya menjelaskan. "Oh... Diculik orang asing, ya..." Tiano mengusap pipinya sendiri menahan tawa. 'Padahal yang membawanya kini adalah orang asing. Dasar, gadis bodoh!' batinnya. Selang beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah megah. Rumah berlantai dua seperti istana. Bangunan dengan arsitektur megah khas Eropa. Tiano berjalan lebih dulu dari Sora, pintu rumah megah itu terbuka. Nampak dua pria tampan berada