POV RIDWANSusah payah aku mengumpulkan uang itu, sampai harus beberapa kali mengambil yang bukan hakku, demi memenuhi keinginan Gita untuk punya rumah bagus. Padahal semua yang dia minta sudah kuberikan. Sampai modal untuk buka usahanya juga tak sedikit yang kuberi. Ya, aku baru ingat. Gita menanam modal di butik milik temannya. Aku akan menghubungi Widya, teman Gita waktu itu, setidaknya aku bisa mendapatkan kembali modal yang sudah Gita berikan padanya. Segera kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Lalu mencari nomor kontak Widya. "Halo, Widya?" ucapku ketika panggilan telepon itu tersambung."Iya, Bang Ridwan? Ada apa?" tanya Widya dari seberang telepon. "Abang mau tanya soal uang yang diberikan Gita padamu. Waktu itu Widya dan Gita kan yang ngomong ke Abang, kalau Gita mau nanam modal di butik Widya. Jadi, maksud nya, Abang mau tarik modal itu. Karena Abang dan Gita sudah berpisah, dan dia membawa kabur uang Abang," terangku pada Widya."Aduh, gimana ngomongnya ya, Bang.
POV RIDWAN"Kenapa jadi begini, Wan? Kenapa kamu bisa ditangkap polisi? Ada apa?" Ibu berkata sembari menangis tersedu. Raut wajahnya tampak kebingungan sekali.Setelah lima jam diperiksa di kantor polisi, aku baru menghubungi Ibu dan memberitahu tentang keadaanku. Dari suaranya waktu kutelepon tadi, beliau sangat syok, memutuskan panggilan telepon tiba-tiba. Ternyata beliau langsung datang ke sini untuk melihat kondisiku.Ibu terduduk lemas di hadapanku. Air matanya meluncur bebas membasahi kedua pipinya. "Panjang ceritanya, Bu. Ridwan memang salah, Bu. Ridwan sudah merugikan perusahaan, dengan mengambil uang yang seharusnya bukan hak Ridwan," ujarku lirih."Pasti semua ini gara-gara Gita, kan? Dia selalu minta uang yang banyak sama kamu. Iya, kan?" Ibu berkata dengan nada sangat marah. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku mengangguk lalu tertunduk. "Ridwan waktu itu terlalu cinta pada Gita, sehingga menuruti semua kemauannya. Sampai-sampai Ridwan nekat mengamb uang perusahaan berul
POV RIDWANBeberapa bulan kemudian.Hari demi hari kulalui dengan begitu berat. Baru saja hitungan bulan aku menjalani hukuman ini, namun rasanya sangat sulit sekali. Aku hampir tak tahan. Ingin rasanya aku menyerah dan mengakhiri semuanya. Tapi, aku kasihan pada Ibu. Dia akan sangat menderita bila itu kulakukan. Untung saja, aku hanya dihukum dua tahun, dan itu berkat kebaikan Pak Ardi yang telah menolongku untuk memohon pada pihak perusahaan, agar tidak menuntut terlalu berat. Kalau tidak, mungkin aku akan dihukum lebih lama lagi.Waktu itu, dia mengunjungiku di tahanan, dan kami bicara dari hati ke hati. Aku menyampaikan penyesalanku yang sangat mendalam kepadanya, dan dia kasihan padaku. Makanya, dia berjanji akan menolongku. Dia juga yang mencarikan pengacara untuk membelaku di pengadilan. Aku benar-benar malu padanya. Dia mau menolongku, padahal aku sudah pernah berlaku tidak baik padanya dan Risa. Risa benar-benar beruntung mendapatkan suami sebaik Pak Ardi. Risa memang berhak
RIDWAN"Wan, apa kabar? Maafin Kakak ya, baru bisa datang sekarang. Kakak gak tau kalau kamu masuk tahanan." Kak Suci langsung menghambur memelukku begitu aku tiba di ruang kunjungan, untuk menemuinya. Dia datang sendirian. Darimana dia tahu aku ditahan di sini?"Alhamdulillah, Ridwan sehat, Kak. Kakak kemana aja? Kami sudah mencoba menghubungi Kakak. Tapi nomor telepon Kakak tidak aktif. Ibu juga sudah ke rumah Kakak. Tapi, kata tetangga, kalian pergi ke Bali. Kenapa gak kasih kabar sih, Kak?" tanyaku pada Kak Suci."Iya, Wan. Kakak minta maaf. Waktu itu Kakak dipecat dari pekerjaan, karena ada pengurangan karyawan. Perusahaan tempat Kakak bekerja, bangkrut. Kakak gak berani ngasih kabar itu, takut jadi beban pikiran Ibu. Trus, Kakak ditawari temen kerjaan lain, di Bali, Jadi, Kakak boyong anak-anak ke sana. Sebenarnya Kakak mau kasih kabar ke kalian begitu sampai di Bali, tapi dalam perjalanan, hapenya hilang, gak tau jatuh atau diambil orang. Kakak gak ingat nomor hapemu dan Ibu. Ma
Ridwan"Pak Ridwan, ada yang datang berkunjung." Seruan seorang lelaki berseragam polisi, membuat aku tersadar dari lamunanku."Ibu saya, Pak?" tanyaku, sembari menunggu Pak polisi membukakam pintu yang terbuat dari besi itu."Seorang wanita, masih muda. Namanya Tiwi," sahut Pak Polisi. Lalu kami beranjak meninggalkan sel, menuju ruang kunjungan.Aku duduk di depan Tiwi. Jarak kami terpisah oleh sebuah meja."Ada apa, Mbak Tiwi datang ke sini? Ibu saya di mana?" tanyaku heran. Raut wajah Tiwi kelihatan penuh kekhawatiran."Ibu sakit, Bang. Tadi pagi, Ibu jatuh di kamar mandi, setelah itu Ibu gak bisa apa-apa. Sepertinya Ibu terkena stroke. Kami langsung membawanya ke rumah sakit," terang Tiwi dengan lirih. Kesedihan terpancar dari nada suaranya."Ya, Allah. Jadi Ibu sekarang dirawat di rumah sakit? Siapa yang nemenin Ibu di sana? Ibu pasti sedang banyak pikiran." Aku meraup wajah dengan kasar. "Semua ini salahku," ucapku lagi. Lalu, aku tertunduk, diam membisu, sembari menyesali keaada
Ridwan"Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menghirup udara bebas," gumamku seraya menarik napas dalam-dalam, merasakannya mengalir segar di dalam tubuhku, lalu menghelanya perlahan. Lega rasanya, aku dapat menghirup kembali udara di alam terbuka dan bebas seperti ini. Hari ini, aku dinyatakan bebas. Dua tahun sudah kujalani hidup seperti burung, yang dikurung dalam sangkar besi. Semua serba dibatasi. Makan tak kenyang, tidur pun tak nyenyak. Angan dan pikiran mengembara jauh entah kemana, namun, tubuh masih terpuruk, mendekam di balik jeruji besi.Sungguh sebuah kondisi yang sangat tidak nyaman. Hidup terkurung, berpisah dengan keluarga. Aku bersumpah, aku tak akan pernah kembali ke dalam penjara itu lagi. Biasanya, kalau orang yang baru bebas dari penjara, akan dijemput oleh keluarganya. Berbeda dengan aku, tak seorang pun datang menjemputku. Ibu masih belum dapat berjalan dengan normal. Sedangkan Kak Suci, hanya pulang sebentar saja beberapa bulan yang lalu, setelah itu dia harus kem
RidwanTak lama, Tiwi dan keluarganya datang dan bergabung dengan kami di ruang makan. "Perkenalkan, Pak, Bu, ini anak saya yang sering saya ceritakan," ujar Ibu dengan senyum merekah di bibirnya.Aku tersenyum, seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Ganteng anaknya ya, Bu. Kayak artis," kelakar ibunya Tiwi, membuat aku tersenyum malu-malu."Ah...Bu Salmah, bisa aja. Oya, Wan yang itu adiknya Tiwi," ucap Ibu lagi, memperkenalkan seorang pemuda, memiliki hidung yang mancung seperti Tiwi dan kulit sawo matang."Saya Dedi, Bang," ujarnya seraya menjabat tanganku dengan ramah. Aku membalas dengan senyum ramah pula. "Acara perkenalannya sudah selesai. Sekarang kita makan. Anggap saja ini acara syukuran kecil-kecilan atas kepulangan anak saya. Ayo, Pak Bu, Tiwi, Dedi, Ridwan, kita makan! Jangan malu-malu, semua hidangan ini, Tiwi yang masak," ujar Ibu seraya tertawa bahagia.Susana hangat dan penuh kebahagiaan tercipta di tengah-tengah obrolan kami sembari menikmati hidangan yang di
RidwanDengan napas tersengal, akhirmya aku sampai di depan pintu rumah. Aku mengetuk pintu, lalu mengucapkan salam. Ibu menyahut salam dari dalam rumah, lalu membukakan pintu."Loh, kok sudah pulang, Wan? Kenapa? Kamu kecapekan? Atau kamu sakit? Sudah Ibu bilang, kamu gak akan kuat kerja begitu. Udahlah, cari kerja yang lain saja!" cerca Ibu dengan raut wajah khawatair karena melihatku sudah pulang ke rumah pas tengah hari, dengan napas terengah-engah pula. "Nggak, Bu. Ridwan gak kenapa-kenapa. Kerjaannya gak terlalu berat kok. Ridwan masih sanggup," sahutku sembari masuk dan duduk di kursi yang terbuat dari plastik, di ruang tamu. Ibu mengikutiku masuk, lalu memposisikan kursi rodanya di hadapanku."Lalu, kenapa kamu cepat pulang?" tanya Ibu lagi. Mungkin beliau masih bingung kenapa aku pulang secepat ini."Ternyata pemilik bangunan yang sedang kami kerjakan adalah Ardi dan Risa, Bu. Tadi mereka datang bagi-bagi makanan untuk para pekerja." terangku pada Ibu."Trus...mereka ajak Tam