Part 160. Wani Piro ?"Kak Eni, tunggu!" teriakku, karena kakak iparku itu telah naik ke motor suaminya dan hendak pulang. "Apalagi?" kehebatannya. paling jelas belum memudar."Aku lupa sesuatu," ucapku sambil menghampirinya. "Apa? Cepetan aku dah ngantuk," katanya dengan judes. "Siapa yang mengirim fotoku dan bang Anton di Kakak?" ——RatuNna kania——"Wani Piro?" tanyanya dengan wajah menyebalkan. "Serius, Kak! Kalau nggak—""Kalau nggak mau apa? Hah?! Urusan kita sudah kelar. Dan kalau mau tau siapa si pengirim foto tersebut. Bayar dulu sepuluh ju—ta!" katanya dengan memelototkan matanya. Allah, rasanya ingin ku cakar mulutnya itu. Dan kenapa aku bisa lupa hal sepenting ini. Kini aku balik di minta duit sama kak Eni. Cerdik juga iparku itu ternyata. Dia minta kembali uangnya. Tidak begitulah. Nanti juga ketahuan siapa si pengirim foto itu. Daripada uang sepuluh jutaku hilang kembali. Mending aku tidak tahu sekalian. Iya kali, demi mengetahui siapa biang keroknya, aku
Part 161. Kembalikan uangnya, kasian."Mala, kamu mau apakan uang tiga puluh juta itu?" tanya ibu. Oh, rupanya dari tadi ibu mau membahas uangku. Hingga menunggu suasananya sepi seperti ini. Pantas saja ibu bertahan di dinginnya semilir angin malam ini, ternyata ada maksud tertentu. "Mala, belum tahu, Bu. Nanti Mala coba tanyakan sama Mas Rahman dulu.""Kamu kurangilah uang kompensasi si Eni. Kasian dia. Bila perlu kembalikan!" ucap ibu. "Maksudnya?" tanyaku sambil memandang ke wajah tuanya. Kulit yang mulai keriput menampilkan gelambir di leher dan dibawah kelopak mata. Wanita tua yang melahirkan suamiku itu, mencoba menego lagi denganku. Padahal persoalannya sudah selesai. Bahkan kak Eni dan bang Anton tak mempermasalahkan. Kenapa ibu kembali membicarakannya. Huft."Kamu tau sendiri ini kehidupan Eni kan? Masih belum punya apa-apa. Bahkan rumahnya pun masih ngontrak dan kadang-kadang tak bisa bayar. Apa kamu tidak kasihan dengan meminta uang sepuluh juta sebagai kompensasi pada Ka
Bagian 162. Ponsel Baru. "Bu Usman, Mau?" "Boleh deh. Gak usah banyak-banyak," ucapnya sambil tersenyum bahagia. Aku mengambil lima belas biji rengginang dan memasukkannya ke dalam plastik kemudian menyodorkannya pada tetanggaku itu. "Tanggung amat ini nanti menggorengnya," gerutunya sambil mencebik. Allahuakbar. Rengginang di nampan banyak sekali belum kering pula. "Tadi, Bu Usman, bilangnya jangan banyak-banyak. Sekarang bilang tanggung!" Aku menautkan alisku heran. "Ya, maksudnya e—anu," ucapannya terhenti sambil matanya di seisi dapurku. Mungkin dia masih mencari sesuatu. "Kamu lagi makan, La?" tanyanya. Pandangan terhenti di atas meja, tepatnya di piringku. "Iya, Bu Kami. Aisyah membuatkan nasi goreng," ucapku. "Ibu suka nasi goreng juga, kebetulan belum sarapan, masih ada?" "Bu Usman, mau?" Ia mengangguk dengan mantap. Aku mengambil piring dan membagi dua nasi yang terhidang yang baru sempat aku makan satu suap aja. Telur ceploknya pun ku bagi dua. "Tidak apa-apa, Ibu
Aku terkejut melihat apa yang keduanya lakukan. Bayangkan saja, di usia mereka yang sudah senja masih bisa berlaku layaknya anak tujuh belas tahun, bahkan Aisyah yang usianya masih muda saja, tak pernah melakukan hal seperti itu.Untung saja nampan yang ada di tanganku tak terlepas meski aku shock dengan apa yang barusan aku lihat. Astaghfirullah haladzim, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Aku coba menenangkan diri dengan melafalkan istighfar beberapa kali. "Sini! Mala, ikutan," ucap ibu dengan tetap bergoyang, tak ada rasa malu atau apapun di raut wajahnya padahal aku merapalkan istighfar dengan suara yang keras. "Anggap aja senam, biar kita keringetan," sahut bu Usman. What, senam? Hahaha, pintar ngelesnya sungguh luar biasa. Aku bingung bagaimana caranya untuk mencegah ibu dan bu Usman, akhirnya aku putuskan menelpon Ria, tapi ponselnya mati. Ria pasti sedang bekerja di jam seperti ini. Aku coba menekan nomor mas Rahman, cuma berdering lalu mati pula. Akhirnya aku buka video dan
"E-eh, Bu Usman! Jangan diangkat, biarkan ibu mertuaku belajar untuk mengangkatnya." Sontak aku memekik saat melihat bu Usman hendak mengusap logo gagang telepon yang sedang meloncat-loncat itu. Bu Usman sontak menghentikan jarinya sebelum mengenai layar HP lalu menatap ke arahku. "Sini!" Aku segera meraih ponsel ibu dari genggaman Bu Usman lalu menyodorkan pada ibu. "Usap keatas tanda gagang telepon yang loncat-loncat itu, Bu!" titahku dengan sedikit suara yang meninggi. Aku takut keburu mati panggilannya. Ibu segera mengusapnya ke atas dengan telunjuknya dan muncul wajah mas Rahman, suamiku tercinta."Assalamualaikum, Ibu," sapanya dengan tersenyum pada ibunya. "Rahman," panggilnya. Terlihat gurat kerinduan di binar matanya memandang suamiku. Kata emak, mau sedewasa apapun seorang anak, tapi dimata ibunya dia adalah tetap anak kecil. Perihal menyayangi, maka hanya seorang ibu-lah pemilik cinta yang tulus tanpa syarat."Ibu, sehat-kan?" tanya suamiku. Ibu yang duduk dihadapanku s
Part 165. Sini uangnya saja. Aku beristighfar lagi dan lagi sambil menoleh ke arah ibu mertuaku. Aisyah sudah mulai tertawa-tawa karena melihat tingkah Bu Usman dan ibu di bawah pohon nangka seketika adikku itu melirikku dan bertanya. "Sejak kapan Bu Samirah jadi gesrek begitu?" Aku mendengus dengan pertanyaan yang Aisyah lontarkan, bahasanya tak kusukai. Jujur, aku tak begitu suka anak muda yang bahasanya kasar pada orang tua. "Berbicara yang baik dan benar, Is. Ingat! Beliau mertuaku," tegurku dengan wajah judes sambil meletakkan nampan kecil yang aku bawa di meja makan."Maaf," cicitnya. Aku duduk di meja makan sambil mataku tetap memperhatikan ibu dan bu Usman sedang lipsing adegan film si Roma dan Ani."Tapi bisa pas gitu, ya nadanya, Teh," tanya Aisyah lagi dengan melirik ke arahku. Seandainya Aisyah tau saat ibu dan bu Usman pargoy mungkin dia tertawa hingga terkencing-kencing di celananya. ———Semalam mas Rahman telah mentransfer uang bulanan untuk aku dan ibu. Rencananya
Part 166. Perlawanan Mala."Mala … Mala," teriak seseorang dari luar. Mala serta Bu Samirah juga Eni gegas keluar guna melihat siapa yang datang. "Ada apa, Tika?" Bu Samirah langsung bertanya begitu melihat Tika ada di halaman rumahnya. "Eh, nggak, Bu Sam. Saya mau ke Mala," ucap Tika dengan cengengesan. Hatinya ciut melihat mertua tetangganya itu, karena semua orang sekampung ini sudah tahu peringai tak baik Bu Samirah pada Mala, menantunya sendiri. "Gak ada apa-apa, kok teriak-teriak!" ketus Bu Samirah sambil mendelik. Ia kesal karena baru saja mau minta uang ke Mala malah datang hambatan tak jelas. "Saya mau ke Mala, Bu," sahut Tika dengan melirik ke arah Mala yang sedang berdiri disamping mertuanya. "Ada apa, Tik? Aku kok deg-degan," ucap Mala dengan mengelus dadanya. "E—anu, La," Tika terlihat ragu-ragu untuk mengatakannya. "Ada apa sih? Cepat bilang!" Kini Eni yang berkata, mungkin ia juga ikut penasaran dengan kedatangan Tika. Tika terlihat menghembuskan nafasnya dengan
Part 167. Nggak tau diri. Akhirnya, dengan susah payah Wak Ali meredakan kemarahan antara Eni dan Mala. Wak Ali menyuruh Eni untuk pulang agar tak terjadi lagi keributan. Eni hanya mendengus sedangkan Mala tersenyum dengan lebarnya, puas telah melihat kakak iparnya tersudutkan dan tak bisa membantah lagi pada Wak Ali. "Eni … Eni! Rupanya disini kau, aku hampir mati menunggu di rumahmu dari pagi buta!" ——RatuNna Kania——Eni terkejut melihat saat melihat Mpok Asti datang dengan mimik muka yang hendak menerkam. "Kau berani, ya ngerjain aku?" tanyanya, dagunya menengadah dengan berkacak pinggang. Mpok Asti memakai daster yang panjangnya hanya tengahan betis, dilapisi jaket dan kacamata hitam bertengger di kepalanya. Tak lupa tas selempang merk kiplong dengan banyak resleting menggantung di pundaknya. Mpok Asti adalah salah satu warga pendatang yang sukses dengan usaha pinjam-meminjam uang. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Helen. "Kamu berurusan dengan si Asti?" tanya Bu S