Part 24. Like Mother, like girl."Ingat, Mala. Anak laki-laki meski sudah beristri tetap milik ibunya," ucapnya dengan tegas. "Iya, Bu," sahutku menyetujui apa katanya. Biar apa? Biar cepat kelar omelannya. Aku malas berdebat dengan Ibu sepagi ini."Mala mau ambil uang belanja dulu. Mau Ibu atau aku yang belanja?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Halah, kamu mau kabur, ya? Takut Ibu omelin?" ucap Ibu dengan suara yang keras, tapi aku tidak memperdulikannya aku tetap masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar untuk mengambil uang belanja. "Anak jaman sekarang kalau di bilangin ngeyel. Mentang-mentang yang nanya nenek-nenek begini," omelnya lagi. Ibu memang pantang menyerah dalam hal mengomeliku. Selalu ada saja kata-kata untuk menghinaku, menyebut aku dengan segala macam kata. Mulai dari aku miskin, aku tidak berpendidikan, aku tidak layak untuk anaknya, padahal dari awal menikah mas Rahman belum memberiku apa-apa. Kebahagiaan atau pun harta benda, tapi segitu angkuhnya Ibu p
"Aku penulis lho, Mal," ucap Tika."Penulis apa?" "Cerbung," ucapnya. "Apa itu cerbung?" "Cerita bersambung, samacam novel. Aku nulis perhari satu part, dan aku up di aplikasi novel online," terangnya. Tapi aku tetap tidak mengerti dengan penjelasan Tika. "Aku boleh belajar?" tanyaku. Tika mengangguk dan mempersilahkan aku untuk datang kerumahnya kapan saja. Tika bilang setiap bulan dia dpt 1-2 juta rupiah dari dua aplikasi. bukan lumayan lagi itu mah. Tak terasa kami sudah sampai ke tukang sayur, disana sudah banyak ibu-ibu yang akan berbelanja. Dan si pirang juga kebetulan ada disana bersama ibunya. Mendadak lambungku mual ingin muntah dimuka si Ratu drama itu. "Eh, Mala. Bu Samirah tumben gak belanja?" tanya Bu Usman. "Iya, Bu," jawabku singkat."Sakit atau apa?" tanyanya lagi. Duh ini bestie nya Ibu, hilang sebentar aja, kaget dan panik. "Nggak, Bu Usman. Ibu sehat, mungkin lagi malas keluar?" sahutku. "Pasti si Mirah ada yang dirasa, yakin aku! Ya…sudah, hitung belanjaan
"Untung anakku gak jadi nikah sama si Rahman, bisa sengsara aku," ucapnya lagi. Aku yang mendengar suamiku dihina seperti itu langsung naik darah. Ketemu jarang, sekali ketemu bikin di mintagaruk pake cangkul juga rupanya. Gak anak gak ibu, sama-sama gil* bikin emosi orang aja. Aku mengumpat dalam hati. Ku tatap wajah ibunya Helen dengan pandangan garang, aku yang sejak subuh sudah menghadapi menghadapi ibunya mas Rahman. Kini disajikan dengan orang-orangan sawah yang dipakein nyawa. Astagfirullah. "Ibu jangan menghina suamiku, ya!" ucapku dengan lantang. Emosiku rasanya ingin meledak saja. "Hah, apa? Aku menghina suamimu? Ngaca Mala, ngaca! Lalu hitung gaji suamimu perbulannya. Mana bisa mencukupi anakku yang wah," sombong. "Lah, lagian ngapain mas Rahman harus mencukupi kebutuhan anak Ibu! Istri bukan, saudara bukan, ngarang aja, Ibu ini, ya!" ucapku dengan diiringi tawa. "Iya si Ibu mah, sok aneh. Kan istrinya Rahman, Neng Mala. Ngapain mencukupi kebutuhan Helen," bela Mamang s
"Dah, gak usah didengerin, nyok pulang." Tika menyeretku agar segera menjauh dari Mamang sayur. "Aku heran lho, Tik. Ini kampung di masa lalu kutukan atau apa sih? Kok, isinya orang-orang rempong semua," sungutku gak jelas. "Heh, sembarangan! Itu hanya segelintir warga saja, kebetulan ada beberapa yang suka heboh dan biang gosip, jadilah grup toxic cetar membahana," ucap Tika sambil terkekeh. "Kamu gak usah ladenin, Mal. Biar gak stroke," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Tika. Akhirnya kami berpisah karena aku sudah sampai, sedangkan Tika masih harus melewati dua rumah lagi. "Nanti aku main ya, kesana," teriakku saat Tika sudah agak jauh. "Oke, aku tunggu, jangan lupa bawa cemilan," katanya sambil nyengir. Aku pun tergelak. Kedua anak Tika sangat suka dengan kedatanganku karena pastinya setiap aku datang tak pernah dengan tangan kosong. Saat aku memasuki rumah, kudengar banyak orang di dalam, antara ruang tengah atau dari dapur. Bisa ku pastikan itu adalah Bu
Pov Rahman. Udara pagi ini begitu sejuk, dinginnya begitu terasa menusuk tulang. Aku mempercepat langkahku agar lekas sampai di rumah. Tanah yang basah bekas hujan semalam membuat langkahku sedikit terhambat. Jalanan disini belum semuanya tersentuh aspal. Tapi ini awal perjuanganku. Kata Arif, ini kota terdekat dari sekian puluh sekolah yang membutuhkan guru baru. Ya, aku bersyukur bisa punya teman sebaik dia. Anak pejabat yang juga jadi pejabat dan mau membantuku. Benar kata orang, jangan berhenti berbuat baik. Saat kita berbuat baik pada orang lain, itu sama artinya dengan kita berbuat baik kepada diri kita sendiri. Dan ternyata sekarang aku menuai dari apa yang aku lakukan dulu. Saat masih kuliah, aku sering membantu Arif. Aku tidak tahu kalau Arif itu adalah seorang anak pejabat di kota ini, karena penampilannya yang sederhana dan juga dia tidak sombong. Aku mengetahui siapa Arif sebenarnya saat wisuda, karena Ayah dan ibunya juga keluarga besarnya datang. Dan bulan kemarin Arif
POV Mala. Matahari begitu terik, hawa panas tak bisa diredakan oleh kipas angin. Apalagi suasana rumah yang masih riuh sejak pagi membuat tingkat kegerahanku makin meningkat. Ting…. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau. " Assalamualaikum, Kak, sehat? Ibu, Bapak dan kami juga sehat," pesan dari Melani adikku. Tak terasa air mata langsung saja berhamburan keluar saat menerima pesan itu, padahal mereka pun mengabarkan bahwa mereka baik-baik saja. Ku usap air mata yang tak bisa kutahan, dan ku tekan tanda gagang telepon di aplikasi hijau milikku. "Assalamualaikum," ucapku saat melihat gambar Ibu. Ya…Allah, di usianya yang sudah renta aku bahkan belum bisa membahagiakannya. {Waalaikum salam, sehat Nak?} "Alhamdulillah sehat, Bu," ucapku sambil mengusap lelehan airmata. Aku rindu tangan tua itu, aku rindu usapan lembutnya di kepalaku. Sejak mas Rahman merantau sebulan lalu, aku belum pernah pulang menengok mereka. Karena kondisi yang tidak memungkinkan. {Syukurlah kalau kamu sehat,
"Mala, Mala! Kamu ngobrol sama siapa? Rahman ya?" terdengar teriakan Ibu dari depan pintu. Ya…Tuhan, malang sekali nasibku ini. Apapun yang aku lakukan, mertuaku selalu tahu dan selalu ingin tahu. Huft. "Mala! Buka pintunya!" Ternyata Ibu masih menungguku membuka pintu, kukira dia akan pergi saat aku membiarkannya tadi. Pentang menyerah sekali nenek tua itu. "Iya, Bu. Sebentar." "Mas, udah dulu ya, nanti ku telpon lagi," ucapku pada Mas Rahman. {Aku mau ngomong sama Ibu, nggak apa-apa kan?} pintanya. Masa iya aku tidak perbolehkan. Anak sama ibu sama-sama tidak peka. Ya… Tuhaaaaaaan. "Baiklah, tunggu sebentar," Aku menekan tanda loudspeaker sebelum aku membuka pintu. "Lama amat, lagi ngomong sama siapa sih?" Semprot Ibu dengan wajah bengis. "Ini Mas Rahman yang telpon, Bu," ucapku dengan malas. "Berikan ponselnya, anakku telpon aja kamu gak boleh macam aku tau, menantu apa kamu itu?" gerutunya sambil menyambar ponsel yang aku sodorkan. Salah lagi, kan salah lagi. Aku menari
Kudengar suara berisik dari arah depan, siapa lagi ini yang datang. Tak pernah seharipun rumah ini tentram gitu. Selalu ada saja yang datang bikin kehebohan. Aku bergegas ke depan guna melihat ada apa disana. "Terus sekarang gimana?" tanya Ibu panik. "Susan, juga belum tahu, Bu. Katanya Bang Rahmat di Rumah Sakit Husada," jawab Mbak Susan sambil menangis. "Ada apa, Mbak?" tanyaku dengan hati berdebar setelah mendengar kata rumah sakit. Ada apa dengan Abang iparku itu. "Bapak si Wulan kecelakaan, Mal," ucapnya. "Ayok kita kesana," ajak Ibu, ia melangkah keluar dengan segala kekhawatiran yang terpancar dari wajahnya. "Bu, Bu, ganti baju dulu," teriakku. Saking paniknya, Ibu bahkan tak membawa dompet ataupun uang, ia hendak pergi begitu saja dengan penampilan berdaster dan bersandal jepit. "Allahu Akbar, sebentar, San," kata Ibu. Sambil kembali masuk ke dalam kamarnya. "Ini gimana kejadiannya, Mbak?" tanyaku penasaran. Aku kayak orang bingung yang panik karena mendengar bang