“Permisi.”Suara pria yang tak asing bagi Danisa dan ibunya itu pun memecah perbincangan yang terjadi antara ibu dan anak tersebut. Danisa dan sang ibu menoleh ke sumber suara. Mereka tersenyum pada seorang pria yang tak lain adalah Restu, ayah dari anak didik yang begitu dekat dengan Danisa. Ya, dia adalah ayah dari Claudia, anak kecil yang sangat lengket dengannya. Terlebih Restu yang seorang duda, mendapati kedekatan sang putri dengan Danisa pun membuat hati pria yang sudah menduda sejak putrinya terlahir itu kembali menghangat. “Maaf. Claudia sejak tadi merengek untuk ke sini terlebih dulu. Katanya dia bilang jika ibu dari Bunda Nisa–nya sedang tidak baik-baik saja,” terang Restu dengan sedikit canggung, saat harus mengunjungi rumah pemilik sekolah putrinya tersebut. “Eh, Nak Restu.” Ibu Danisa mengulas senyum ramahnya pada pria tersebut. Tatapan matanya beralih pada anak kecil yang usianya belum genap lima tahun. Bisa dibilang, hanya beda beberapa bulan dari anak-anak yang
“Saya menjadi tidak enak hati sama Bunda Nisa. Lagi-lagi, Saya menjadi lebih sering merepotkan bunda dan juga keluarga Bunad di sini,” tutur Restu pada Danisa. Pria tersebut menunjukkan rasa tak nyaman yang terlihat begitu jelas di matanya. Sedangkan Danisa yang melihat itu hanya mengulas senyum ramahnya. “Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak merasa keberatan sama sekali, Jika Claudia harus menginap di rumah kami.” Danisa memberikan jawabannya dengan begitu ramah. Dia jujur, memang dirinya sama sekali tidak merasa keberatan jika Claudia, anak yang ceria itu menginap di rumahnya.Danisa senang, karena keberadaan kalau dia bisa menjadi pelipur lara ibunya. Ibunya yang sedang sakit itu pun menjadi lebih ceria dengan keberadaan Danisa yang seperti obat bagi keluarganya tersebut.Restu menghela nafas beratnya, kemudian mengeluarkan kembali secara perlahan. Masih dengan tatapan tak nyamannya, dia pun kembali mengucapkan kalimatnya. “Entah, harus dengan cara apa lagi saya berterima kasih kepa
Aiden yang mendapati Ara menangis dalam keadaan mata yang masih terpejam itu pun menjadi panik. Anak lelaki itu segera keluar dari kamar meninggalkan Ara seorang diri. Dia menggedor pintu kamar ayahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka paksa meski belum mendapatkan izin dari sang pemilik kamar.Daren yang baru keluar dari dalam kamar mandi itu dibuat terkejut. Anak lelakinya tiba-tiba masuk dengan wajah yang begitu panik. “Dad, ayo! Ara,” kata Aiden memberikan kabar yang tidak jelas pada sang ayah. “Ara? Ada apa Boy dengan Ara?” Tanya Daren berusaha bersikap tenang. Dia menundukkan diri, mensejajarkan tinggi kepada Sang putra yang sedang menarik tangannya itu.“Ara menangis,” kata Aiden masih dengan memberikan kabar yang belum jelas. Aiden sedang panik, dan anak lelaki itu pun dalam keadaan terkejut dan baru bangun dari tidur lelapnya. Hal itulah yang membuat Aiden tak mampu berpikir jernih. Karena dia sedang merasa cemas dengan kondisi Ara. “Dad, ayo!” Lagi, Aiden menarik
Riana mendekat ke arah sang putra yang sudah tak muda lagi, namun tetap terlihat gagah dan tampan baginya. Dia menatap teduh pada Daren yang menatap ke arahnya.“Apa yang akan kamu lakukan untuk membawa Riana kembali di hidupmu. Bahkan sudah beberapa tahun, kalian lewati. Bahkan Riana sama sekali dan tidak pernah muncul atau setidaknya mencari kabar tentang anak-anaknya.”Riana menghembuskan nafas kasarnya. Merasa tak suka dengan janji yang Daren berikan untuk kedua cucunya. Bahkan yang Riana lihat akhir-akhir ini, jika putranya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Daren masih bergeming di tempatnya. Masih dengan tatapan datar yang ia lakukan pada mamanya tersebut. “Daren sudah bilang pada anak-anak untuk membawa mommy-nya kembali. Maka Daren akan mewujudkan kata-kata yang sudah Daren ucapkan itu untuk mereka,” jawab pria tersebut dengan nada datarnya. “Apa kau yakin akan bisa?” Keraguan itu terlihat sangat jelas dalam diri Riana pada Sang putra. Faktanya, sudah bertahun- tahun
“Nanti Claudia akan menginap lagi di sini boleh tidak, Ayah?” Siang hari tepat pukul sebelas siang, ketika Restu istirahat sari pekerjaannya itu menyempatkan untuk menjemput putri tercintanya untuk kembali ke rumah. Restu sedang berjongkok, mensejajarkan tinggi dengan Claudia, anak perempuannya itu kemudian membawa sang putri tercinta ke dalam pelukannya. “Sayang, kalau kamu sering menginap di sini, apa tidak kasihan sama ayah yang selalu sendiri di tinggal di rumah, hm?” Tanya Restu. Pria yang sedang memeluk anaknya itu tidak ingin langsung melarang Putri kesayangannya untuk kembali pulang ke rumah. Dia lebih suka berbicara dari hati-hati dengan Putri kesayangannya agar tidak melukai perasaan Putri kecilnya sebagai belahan hidupnya saat ini. Kalau mendengar dengan baik pertanyaan dari ayahnya tersebut. Dia tidak langsung menolak ataupun menjawab kalimat yang diberikan oleh ayahnya itu. Gadis kecil itu terlihat sedang termenung, memikirkan jawaban tepat yang akan dia berikan kepad
Danisa tidak mengerti ke mana arah pembicaraan yang Restu maksud itu mengulas sebuah senyum lega dan hangatnya. Kedua matanya pun berbinar, saat tahu jika Claudia yang selama dia kenal seperti anak yang merindukan kasih sayang seorang ibu itu akan segera merasakannya. Tentu saja, dia ikut bahagia dengan kabar yang didengarnya itu. “Wah, Syukurlah kalau memang seperti itu. Saya senang mendengarnya,” ujar Danisa dengan senyum sumringahnya. Pancarana rasa senang yang dilakukannya itu tidak menutup kebohongan. Dan itu membuat Restu tersenyum ke arah Danisa. “Ayah, No! Claudia tidak mau punya mama tiri!” tolak anak kecil yang sejak tadi menjadi pendengar pembicaraan antara dua orang dewasa di hadapannya tersebut. Claudia tidak terima, saat sang ayah bilang jika akan memberikan sosok Ibu pengganti untuknya. Ya, dia memang iri dengan teman-temannya yang diantar jemput oleh ibu yang Bahkan kedua orang tuanya. Sedangkan dirinya akan lebih sering disebut oleh sopir atau susternya. Ya
Puding Marissa“Selamat pagi, Tante,” sapa seorang wanita yang baru masuk ke dalam rumah besar dengan membawa sesuatu di tangannya dan senyum lebar itu menghias wajah cantiknya dengan sangat jelas. Riana yang baru saja hendak mengecek sarapan untuk kedua cucunya apa sudah disiapkan di meja makan itu menghentikan langkah. Menoleh ke sumber suara, dia membalas senyum ramah yang Marisa beri untuknya. Sepagi ini, wanita yang juga sibuk dengan butik megahnya itu tetap menyempatkan diri untuk mengunjungi rumahnya. Tidak cukup hanya itu, berkah Marissa tidak datang ke rumahnya itu hanya dengan tangan kosong. “Hai, selamat pagi, Sayang. Kenapa kamu menyibukkan diri banget buat datang ke sini. Padahal Tante yakin jika kamu pun sedang sibuk dengan butikmu itu,” sahut Riana. Dia mengurungkan langkah yang sebelumnya akan menuju ke ruang makan. Riana menghampiri Marisa yang sedang melangkah ke arahnya itu. Marisa terkekeh, kedua wanita itu pun saling memeluk dan berciuman pipi. Kemudian dia
“Baik, Tuan Muda,” jawab suster saat bantuan yang dia lakukan untuk Aiden itu mendapat penolakan. Suster yang biasa membantu Ara itu memundurkan diri, mengurungkan niat yang sebelumnya hendak membantu Aiden dan berakhir mendapat penolakan. Beralih menuju ke meja Ara, dia pun memilih untuk menunggu Arra yang masih terlihat sedang berbincang dengan Marissa. “Tante, aku sangat senang memasak. Nanti jika Mommy datang, Ara akan bilang sama sama Mommy jika Ara sangat pandai memasak. Ara juga akan buatkan puding khusus untuk Mommy.”Ara mengucapkan semua keinginannya itu kepada Marissa. Mengabaikan, sikap canggung yang langsung yang membuat wanita yang semula terlihat jelas binar bahagianya itu menjadi pias. “Tentu dong. Ara bisa buatkan masakan apapun nanti untuk Mommy. Tapi, mommy kembali kan belum tahu. Jadi lebih baik untuk saat ini kamu belajar memasaknya buat Omah saja,” sela Riana yang tersadar akan situasi yang terjadi di meja makan itu. Aiden, si anak pendiam yang sejak tadi