Aiden yang mendapati Ara menangis dalam keadaan mata yang masih terpejam itu pun menjadi panik. Anak lelaki itu segera keluar dari kamar meninggalkan Ara seorang diri. Dia menggedor pintu kamar ayahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka paksa meski belum mendapatkan izin dari sang pemilik kamar.Daren yang baru keluar dari dalam kamar mandi itu dibuat terkejut. Anak lelakinya tiba-tiba masuk dengan wajah yang begitu panik. “Dad, ayo! Ara,” kata Aiden memberikan kabar yang tidak jelas pada sang ayah. “Ara? Ada apa Boy dengan Ara?” Tanya Daren berusaha bersikap tenang. Dia menundukkan diri, mensejajarkan tinggi kepada Sang putra yang sedang menarik tangannya itu.“Ara menangis,” kata Aiden masih dengan memberikan kabar yang belum jelas. Aiden sedang panik, dan anak lelaki itu pun dalam keadaan terkejut dan baru bangun dari tidur lelapnya. Hal itulah yang membuat Aiden tak mampu berpikir jernih. Karena dia sedang merasa cemas dengan kondisi Ara. “Dad, ayo!” Lagi, Aiden menarik
Riana mendekat ke arah sang putra yang sudah tak muda lagi, namun tetap terlihat gagah dan tampan baginya. Dia menatap teduh pada Daren yang menatap ke arahnya.“Apa yang akan kamu lakukan untuk membawa Riana kembali di hidupmu. Bahkan sudah beberapa tahun, kalian lewati. Bahkan Riana sama sekali dan tidak pernah muncul atau setidaknya mencari kabar tentang anak-anaknya.”Riana menghembuskan nafas kasarnya. Merasa tak suka dengan janji yang Daren berikan untuk kedua cucunya. Bahkan yang Riana lihat akhir-akhir ini, jika putranya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Daren masih bergeming di tempatnya. Masih dengan tatapan datar yang ia lakukan pada mamanya tersebut. “Daren sudah bilang pada anak-anak untuk membawa mommy-nya kembali. Maka Daren akan mewujudkan kata-kata yang sudah Daren ucapkan itu untuk mereka,” jawab pria tersebut dengan nada datarnya. “Apa kau yakin akan bisa?” Keraguan itu terlihat sangat jelas dalam diri Riana pada Sang putra. Faktanya, sudah bertahun- tahun
“Nanti Claudia akan menginap lagi di sini boleh tidak, Ayah?” Siang hari tepat pukul sebelas siang, ketika Restu istirahat sari pekerjaannya itu menyempatkan untuk menjemput putri tercintanya untuk kembali ke rumah. Restu sedang berjongkok, mensejajarkan tinggi dengan Claudia, anak perempuannya itu kemudian membawa sang putri tercinta ke dalam pelukannya. “Sayang, kalau kamu sering menginap di sini, apa tidak kasihan sama ayah yang selalu sendiri di tinggal di rumah, hm?” Tanya Restu. Pria yang sedang memeluk anaknya itu tidak ingin langsung melarang Putri kesayangannya untuk kembali pulang ke rumah. Dia lebih suka berbicara dari hati-hati dengan Putri kesayangannya agar tidak melukai perasaan Putri kecilnya sebagai belahan hidupnya saat ini. Kalau mendengar dengan baik pertanyaan dari ayahnya tersebut. Dia tidak langsung menolak ataupun menjawab kalimat yang diberikan oleh ayahnya itu. Gadis kecil itu terlihat sedang termenung, memikirkan jawaban tepat yang akan dia berikan kepad
Danisa tidak mengerti ke mana arah pembicaraan yang Restu maksud itu mengulas sebuah senyum lega dan hangatnya. Kedua matanya pun berbinar, saat tahu jika Claudia yang selama dia kenal seperti anak yang merindukan kasih sayang seorang ibu itu akan segera merasakannya. Tentu saja, dia ikut bahagia dengan kabar yang didengarnya itu. “Wah, Syukurlah kalau memang seperti itu. Saya senang mendengarnya,” ujar Danisa dengan senyum sumringahnya. Pancarana rasa senang yang dilakukannya itu tidak menutup kebohongan. Dan itu membuat Restu tersenyum ke arah Danisa. “Ayah, No! Claudia tidak mau punya mama tiri!” tolak anak kecil yang sejak tadi menjadi pendengar pembicaraan antara dua orang dewasa di hadapannya tersebut. Claudia tidak terima, saat sang ayah bilang jika akan memberikan sosok Ibu pengganti untuknya. Ya, dia memang iri dengan teman-temannya yang diantar jemput oleh ibu yang Bahkan kedua orang tuanya. Sedangkan dirinya akan lebih sering disebut oleh sopir atau susternya. Ya
Puding Marissa“Selamat pagi, Tante,” sapa seorang wanita yang baru masuk ke dalam rumah besar dengan membawa sesuatu di tangannya dan senyum lebar itu menghias wajah cantiknya dengan sangat jelas. Riana yang baru saja hendak mengecek sarapan untuk kedua cucunya apa sudah disiapkan di meja makan itu menghentikan langkah. Menoleh ke sumber suara, dia membalas senyum ramah yang Marisa beri untuknya. Sepagi ini, wanita yang juga sibuk dengan butik megahnya itu tetap menyempatkan diri untuk mengunjungi rumahnya. Tidak cukup hanya itu, berkah Marissa tidak datang ke rumahnya itu hanya dengan tangan kosong. “Hai, selamat pagi, Sayang. Kenapa kamu menyibukkan diri banget buat datang ke sini. Padahal Tante yakin jika kamu pun sedang sibuk dengan butikmu itu,” sahut Riana. Dia mengurungkan langkah yang sebelumnya akan menuju ke ruang makan. Riana menghampiri Marisa yang sedang melangkah ke arahnya itu. Marisa terkekeh, kedua wanita itu pun saling memeluk dan berciuman pipi. Kemudian dia
“Baik, Tuan Muda,” jawab suster saat bantuan yang dia lakukan untuk Aiden itu mendapat penolakan. Suster yang biasa membantu Ara itu memundurkan diri, mengurungkan niat yang sebelumnya hendak membantu Aiden dan berakhir mendapat penolakan. Beralih menuju ke meja Ara, dia pun memilih untuk menunggu Arra yang masih terlihat sedang berbincang dengan Marissa. “Tante, aku sangat senang memasak. Nanti jika Mommy datang, Ara akan bilang sama sama Mommy jika Ara sangat pandai memasak. Ara juga akan buatkan puding khusus untuk Mommy.”Ara mengucapkan semua keinginannya itu kepada Marissa. Mengabaikan, sikap canggung yang langsung yang membuat wanita yang semula terlihat jelas binar bahagianya itu menjadi pias. “Tentu dong. Ara bisa buatkan masakan apapun nanti untuk Mommy. Tapi, mommy kembali kan belum tahu. Jadi lebih baik untuk saat ini kamu belajar memasaknya buat Omah saja,” sela Riana yang tersadar akan situasi yang terjadi di meja makan itu. Aiden, si anak pendiam yang sejak tadi
“Daddy yang akan antar kau ke sekolah.”Daren yang mendapati rencana Marissa yang hendak mengantar anak-anaknya ke sekolah itu pun menyela. Karena memang hari ini dia sudah berencana untuk mengantarkan kedua buah hatinya itu berangkat ke sekolah sebagai penebus kesalahan beberapa hari dia yang terlalu sibuk, hingga kehilangan waktu untuk bersama dengan kedua buah hatinya tersebut.Aiden masih dengan sikap tenaganya, sama sekali tidak peduli siapa pun yang akan mengantarkannya ke sekolah. Baginya, tiba di sekolah tepat waktu adalah hal yang jauh lebih penting bagi hidupnya. “Yah, Dad. Ara ingin tante Marissa yang antar Ara ke sekolah. Ara akan tunjukkan pada semua teman-teman Ara, jika Ara memiliki tante cantik yang bisa Ara banggakan pada mereka selain Mommy yang tak kunjung kembali,” sergah Ara yang bersikukuh agar Marissa tetap mengantarkannya ke sekolah. Ara telah memiliki rencana yang tiba-tiba muncul dalam benaknya saat dia mendengar rencana Marisa yang hendak mengantarkannya
Ara sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil Marisa, sedangkan wanita yang diajaknya untuk berangkat bersama masih berjalan menuju ke mobilnya. Dalam hati, Marissa tentu sangat bahagia sekali ketika harus mendapatkan dukungan dari Ara yang mampu membuat Daren tidak mampu berkutik sama sekali, selain menuruti apa yang diminta oleh gadis kecil tersebut. Riana yang mendapati situasi di depan matanya itu pun memiliki sedikit harapan agar Daren mulai berpikir untuk membuka pintu hatinya demo kedua buah hatinya itu. Bukan dia tidak mendukung jika Danisa akan kembali nantinya dalam kehidupan anak dan kedua cucunya. Melainkan Riana yang sudah tidak berharap jika Danisa akan kembali lagi dalam kehidupan mereka. Fakta yang terjadi jika sudah empat tahun lebih wanita yang pernah ia sayang sebagai seorang menantu itu pergi begitu saja tanpa meninggalkan kabar apa pun sejak kepergiannya. Jadi, bukan hal yang salah jika Riana memiliki harapan untuk orang-orang tersayangnya saat ini. Sebagai