Seakan menikam mental dalam sekali entakan. Ini pertanyaan penuh darurat.Rupa Abbas yang senantiasa menjadi sirene maupun rambu-rambu, selalu diperhatikan dengan hati-hati.Napasku mendadak tertahan sesaat. Lalu mengembusnya secara perlahan sambil menjawab, “A-Apa yang kau tanyakan, Bang? Bukankah kau yang sendiri bilang kalau kedua orang tuaku bangkrut.”Abbas memiringkan kepalanya, berdengus napas kecewa. Kemudian dia kembali melenggak tegas sambil memainkan tangan.“Aduh, bangkrut sih bangkrut, Haira.” Sedikit berpikir, “Tapi kan siapa tahu dia punya simpanan lain.”“Nggak mungkin kan orang bangkrut kehilangan segala hartanya secara nihil.”Abbas menahan posisi tangan ditegakkan ke hadapanku.Dia berharap agar aku meneruskan kalimatnya, yang sehingga mendorongku untuk mencegah atau mengungkap rahasia besar.“Ah, kau ini mengada-ngada!”Tanganku melambai ringan, sebaiknya aku melangkah untuk keluar dari ruang kamar.Ditinggalkan sang suami duduk termenung. Akhirnya aku benar-benar
“Oh, ini ya orang tuanya Fathan!” Suara nyaring menggusur suasana tenang di balik pintu masuk ruang para guru. Setibanya seorang wanita berpostur tubuh gendut mulai memberi aba-aba sambil membawa kemarahan. Di lengannya ada tas tangan bergelantungan. Wanita yang memakai setelan celana standar panjang dengan kemeja seperempat lengan menghampiri kami berdua. Alisnya memuncak tegang, tanpa memberi salam bahwa dirinya mencari wali murid bersangkutan. Tak hanya diriku yang terperanjak, tetapi semua guru ikut terlongong-longong. “Mohon tenang dulu, Bu Meli, di sini ada banyak pendidik murid, tidak baik bersuara tidak sopan di sini.” Ibu yang sesekali menatapku ketus lantas mencoba mengatur napas. Emosi yang terlihat jelas bahwa dia tidak baik. “Duduk dulu, Bu.” Guru kelas Fathan menyodorkan kursi untuk si wali murid. Tubuhnya tak berhenti menggeliat karena tiba celetuknya cukup kasar. “Khusus wali orang tua murid, mohon dipersilakan memasuki ruang kepala sekolah.” Terdengar suara
Meli, wali teman pertengkaran anakku—Fathan. Matanya menyorot singkat, lalu mengempaskan tanganku sehingga dia tak lagi terjerat kesalahan.“Oke!” kataku tegas.Meli berhenti bergerak, baru saja tangannya menempelkan telapak tangannya ke tangan buah hatinya tersebut.“Saya akan mengaku sebagai orang tua yang salah, tapi tidak kepada anakku—Fathan. Untuk anakmu yang tidak bersalah itu bisa dipindahkan ke kelas lain.”“Bagus! Saya terima kalau keputusannya begini. Saya jadi lega.”Garis kerut kening Meli bergerak-gerak naik turun. Alangkah puasnya ketika dia mendapatkan keinginan tanpa manusiawi.Sungguh terlena karena ketamakannya selama dia inginkan. Dia sengaja mendidik anak menjadi salah besar.Bukan karena diriku terlihat baik, tetapi rasanya tidak merasa puas ketika terhina di tempat kerja sendiri—sebagai guru.Meli kembali ke posisi awal. Di atas meja, bapak kepala sekolah sudah memberikan lembaran kertas untuk ditandatangani.Dua anak saksi dan dua anak pelaku pertengkaran. Mere
Biaya hidup pertama tuntas. Usaha baru saja dikerahkan secara diam-diam oleh sang paman.Aku membaca setiap detail laporan tertulis, bahkan ada beberapa foto mengenai lokasi—tempat usaha.Pikiran dan kekhawatiran tadi sempat terungkap. Namun akhirnya, aku yakin bahwa inilah langkah pertama.“Om, lain kali, Haira pengen turun lapangan langsung.”Bidang dada paman yang membungkuk mulai menegak, sebelah tangan terjatuh ke atas meja, jari-jemari mengetuk papan membunyikan ketukan.“Bagus sekali! Jadi, kamu bisa percaya sama om karna ini.”“Maaf, Om, Haira udah ngerasa curiga sama om sendiri.”“Itu lumrah, Haira, om paham maksud kamu.”Aku mulai melirik ke dinding ruang kedai dimana atapnya tak terlalu tinggi. Sebuah jam dinding klasik menunjukkan jarum jam sudah berada di nomor dua. Sudah sangat siang, orang-orang di rumah pasti curiga ketika aku pulang terlambat.“Om, kayaknya Haira harus balik.”Tangan paman Gani mulai memuncak tinggi, mencegah kepergianku. Baru hendak mengangkat seten
“Kamu ini, udah diklakson berkali-kali nggak keluar!”Nada paling tak heran dari mulut sang suami. Aku memang mendengar klakson sepeda motor dari luar.Namun, pikiranku sedang dirundung oleh ocehan tak penting tadi.Barang yang suamiku bawa ternyata cukup banyak. Bahkan dirinya mulai menahan motornya untuk menaruh beberapa bungkusan besar berisi bawang merah dan bawang putih.“Ayo cepetan, bantu!”“Iya, Bang, tunggu sebentar.”Kakiku harus terburu-buru untuk membantu sang suami.Dengan tangan sigapku menaruh setiap bungkusan ke lantai teras rumah. Dua karung besar berisi bawang putih yang masih belum dibersihkan.Abbas berkacak pinggang setelah tugasnya dibantu dengan tuntas. Napasnya sedikit resah sambil menatap karung-karung di hadapannya.“Tolong aku kupas bawangnya!”Permintaan bantuan terhadapku. Baru saja kakiku hendak melangkah masuk, namun dicegat oleh suaranya yang santai.“Tapi aku belum masak, Bang.”“Alah! Urusan makan nanti aja, yang penting bantu aku kupas kulitnya dulu.
Uang pertama dari penghasilan rahasia. Perjanjianku dengan sang paman telah berjalan beberapa bulan lalu. Hanya saja, baru sekarang saya setuju dengan keputusan paman Gani. Perasaan yang tadinya sempat senang, tapi sekarang malah bimbang serta ragu. Akan tetapi, ketika pikiranku penuh niat dalam, yakni perkembangan pendidikan anak dinomorsatukan. “Om Gani, kalo gitu Haira balik dulu ke Pangkal,” pamitku setelah menerima dari penangkapan. Paman Gani meranggul santai. Kantornya menjulang di kota Koba. Dengan sepeda motor, benda yang tak pernah terpisahkan dengan jarak kutempuh penuh harapan. Menjelang sore, aku tiba di penghujung warna jingga hampir terbenam. Baru saja tiba, Abbas membuka pintu dengan raut wajah tegang sesekali mengerang. “Kenapa pulangnya udah segini, hah?!” Ah, seperti biasa, nadanya tak pernah kendur. Sepeda motor yang sudah dimasukkan ke sisi teras rumah, malah diterima oleh tangan jahil sang suami. Buk! Tangan Abbas lagi-lagi memasang bahuku dengan kera
Mendengar ocehan dari orang tua terkadang lebih banyak unfaedah, ada juga bermanfaat.Tapi seringkali menyakiti si pendengar.Mulai hari ini, aku tak lagi ingin mendengar kata-kata kurang bermanfaat itu.Semenjak beberapa hari ibu mertua sering marah-marah. Adakalanya dia lelah, dan meminta pertolongan orang terdekat.“Ra, mama kumat lagi.”Nada Abbas akhirnya melentur.Antara penasaran atau tidaknya, tetapi kakiku berhenti lalu berbalik badan.Tepat di tengah ruangan menuju posisi dapur.“Kumat gimana maksud kamu?”“Sakit.”Sesingkat itu dari mulut Abbas. Rautnya malah meluluhlantakkan pikiranku.“Pasti lambung dia lagi.”Aku menebak.“Ya, itulah penyakit biasanya.”Abbas sedikit menundukkan pandangan kepalanya. Di jam segini, semua orang sudah tertidur lelap. Tapi di rumah ibu, masih ada adik ipar yang menjaganya.“Kamu bisa jaga dia untuk sementara waktu?” pinta Abbas sambil bertanya-tanya lelah.“Kau ini, di rumah kan ada Rafasya, masa saya harus berdua sama dia jagain mama?”“Kal
Apalah daya, jika ucapan orang lain termasuk umpan. Umpan yang akan membuatku membuka mulut.Bagaimana cara aku mengelola pendapatku tentang perilaku sikap mertua?Tentu, jika berlama-lama atau tidak kode etik berbicara, semua menjadi senjata maut.Tapi, dalam Islam mengajarkan umatnya untuk tidak mengumbar permasalahan rumah tangga kepada siapapun, termasuk orang terdekat.Akan tetapi, boleh bercerita dengan orang terpercaya, atau yang ahli menanggapi masalah rumah tangga, seperti psikolog dan pak ustad.Setelah mendengar kalimat itu, wajahku berpindah ke lain arah.“Jadi, suaminya lagi sibuk nih kayaknya.”“Sebentar aku coba panggil dia dulu, ya, Ra.”Ibu Maida begitu sigap untuk mencari keberadaan suaminya. Suara yang memanggil suaminya, ibu Maida sudah tak terlihat lagi di luar rumah.Hanya aku yang ditinggalkan. Tak beberapa lama kemudian, ibu Maida dengan sang suami muncul.“Emang ibunya lagi sakit ya, Haira?”Suara lebih ramah dibandingkan si istri—ibu Maida. Wajah penuh berser