Biaya hidup pertama tuntas. Usaha baru saja dikerahkan secara diam-diam oleh sang paman.Aku membaca setiap detail laporan tertulis, bahkan ada beberapa foto mengenai lokasi—tempat usaha.Pikiran dan kekhawatiran tadi sempat terungkap. Namun akhirnya, aku yakin bahwa inilah langkah pertama.“Om, lain kali, Haira pengen turun lapangan langsung.”Bidang dada paman yang membungkuk mulai menegak, sebelah tangan terjatuh ke atas meja, jari-jemari mengetuk papan membunyikan ketukan.“Bagus sekali! Jadi, kamu bisa percaya sama om karna ini.”“Maaf, Om, Haira udah ngerasa curiga sama om sendiri.”“Itu lumrah, Haira, om paham maksud kamu.”Aku mulai melirik ke dinding ruang kedai dimana atapnya tak terlalu tinggi. Sebuah jam dinding klasik menunjukkan jarum jam sudah berada di nomor dua. Sudah sangat siang, orang-orang di rumah pasti curiga ketika aku pulang terlambat.“Om, kayaknya Haira harus balik.”Tangan paman Gani mulai memuncak tinggi, mencegah kepergianku. Baru hendak mengangkat seten
“Kamu ini, udah diklakson berkali-kali nggak keluar!”Nada paling tak heran dari mulut sang suami. Aku memang mendengar klakson sepeda motor dari luar.Namun, pikiranku sedang dirundung oleh ocehan tak penting tadi.Barang yang suamiku bawa ternyata cukup banyak. Bahkan dirinya mulai menahan motornya untuk menaruh beberapa bungkusan besar berisi bawang merah dan bawang putih.“Ayo cepetan, bantu!”“Iya, Bang, tunggu sebentar.”Kakiku harus terburu-buru untuk membantu sang suami.Dengan tangan sigapku menaruh setiap bungkusan ke lantai teras rumah. Dua karung besar berisi bawang putih yang masih belum dibersihkan.Abbas berkacak pinggang setelah tugasnya dibantu dengan tuntas. Napasnya sedikit resah sambil menatap karung-karung di hadapannya.“Tolong aku kupas bawangnya!”Permintaan bantuan terhadapku. Baru saja kakiku hendak melangkah masuk, namun dicegat oleh suaranya yang santai.“Tapi aku belum masak, Bang.”“Alah! Urusan makan nanti aja, yang penting bantu aku kupas kulitnya dulu.
Uang pertama dari penghasilan rahasia. Perjanjianku dengan sang paman telah berjalan beberapa bulan lalu. Hanya saja, baru sekarang saya setuju dengan keputusan paman Gani. Perasaan yang tadinya sempat senang, tapi sekarang malah bimbang serta ragu. Akan tetapi, ketika pikiranku penuh niat dalam, yakni perkembangan pendidikan anak dinomorsatukan. “Om Gani, kalo gitu Haira balik dulu ke Pangkal,” pamitku setelah menerima dari penangkapan. Paman Gani meranggul santai. Kantornya menjulang di kota Koba. Dengan sepeda motor, benda yang tak pernah terpisahkan dengan jarak kutempuh penuh harapan. Menjelang sore, aku tiba di penghujung warna jingga hampir terbenam. Baru saja tiba, Abbas membuka pintu dengan raut wajah tegang sesekali mengerang. “Kenapa pulangnya udah segini, hah?!” Ah, seperti biasa, nadanya tak pernah kendur. Sepeda motor yang sudah dimasukkan ke sisi teras rumah, malah diterima oleh tangan jahil sang suami. Buk! Tangan Abbas lagi-lagi memasang bahuku dengan kera
Mendengar ocehan dari orang tua terkadang lebih banyak unfaedah, ada juga bermanfaat.Tapi seringkali menyakiti si pendengar.Mulai hari ini, aku tak lagi ingin mendengar kata-kata kurang bermanfaat itu.Semenjak beberapa hari ibu mertua sering marah-marah. Adakalanya dia lelah, dan meminta pertolongan orang terdekat.“Ra, mama kumat lagi.”Nada Abbas akhirnya melentur.Antara penasaran atau tidaknya, tetapi kakiku berhenti lalu berbalik badan.Tepat di tengah ruangan menuju posisi dapur.“Kumat gimana maksud kamu?”“Sakit.”Sesingkat itu dari mulut Abbas. Rautnya malah meluluhlantakkan pikiranku.“Pasti lambung dia lagi.”Aku menebak.“Ya, itulah penyakit biasanya.”Abbas sedikit menundukkan pandangan kepalanya. Di jam segini, semua orang sudah tertidur lelap. Tapi di rumah ibu, masih ada adik ipar yang menjaganya.“Kamu bisa jaga dia untuk sementara waktu?” pinta Abbas sambil bertanya-tanya lelah.“Kau ini, di rumah kan ada Rafasya, masa saya harus berdua sama dia jagain mama?”“Kal
Apalah daya, jika ucapan orang lain termasuk umpan. Umpan yang akan membuatku membuka mulut.Bagaimana cara aku mengelola pendapatku tentang perilaku sikap mertua?Tentu, jika berlama-lama atau tidak kode etik berbicara, semua menjadi senjata maut.Tapi, dalam Islam mengajarkan umatnya untuk tidak mengumbar permasalahan rumah tangga kepada siapapun, termasuk orang terdekat.Akan tetapi, boleh bercerita dengan orang terpercaya, atau yang ahli menanggapi masalah rumah tangga, seperti psikolog dan pak ustad.Setelah mendengar kalimat itu, wajahku berpindah ke lain arah.“Jadi, suaminya lagi sibuk nih kayaknya.”“Sebentar aku coba panggil dia dulu, ya, Ra.”Ibu Maida begitu sigap untuk mencari keberadaan suaminya. Suara yang memanggil suaminya, ibu Maida sudah tak terlihat lagi di luar rumah.Hanya aku yang ditinggalkan. Tak beberapa lama kemudian, ibu Maida dengan sang suami muncul.“Emang ibunya lagi sakit ya, Haira?”Suara lebih ramah dibandingkan si istri—ibu Maida. Wajah penuh berser
Benar apa yang dibilang oleh pak Jaya soal karakteristik suamiku, pria kasar dengan mulut, tak lupa juga dia suka bermain tangan. Apabila seseorang hendak memancing pembicaraan itu. Senantiasa aku alihkan ke lain pembicaraan, supaya tidak terjadi kesalahpahaman, maupun gosip berkepanjangan.Tibalah diriku yang harus mengurusi rumah tangga, setelah tadinya membawa ibu mertua ke rumah sakit.Meskipun begitu, dia tetap ibu yang telah melahirkan seorang ayah bagi anak-anakku. “Haira,” panggil dengan suara tak lagi asing bagiku.Kak Lena—si pengasuh yang tak banyak maunya datang sambil menggandeng Elvina. Gadis kecil itu berlari menghampiri diriku lalu memeluk erat tubuhku. “Mama!”&n
“Wah, saya nggak bawa uang lebih, Bu,” jawabku sambil mengecek dompet. Padahal, tidak perlu dicek lagi bukan? Karena sudah pasti aku tidak pernah mengisi uang lebih di dompet.Jatah per hari sudah ditetapkan sesuai dengan pendapatan. Potongan belanja di dapur sudah di tangan suami, sedangkan belanja lainnya hanya segelintir uang jajan bocah saja. “Nggak apa-apa, Ra, nanti aja bayarnya.” “Jangan.” Aku menolak dengan nada sedikit risau, “Bentar saya ambil uangnya dulu ya, Bu.” “Aduh, jadi ngerepotin kamu dong, Ra.” Si pemilik toko beralih keluar dari balik pembatas etalase barang.Tanganku memberi kode supaya Elvina berpindah aman ke tangan si pemilik toko. “Tolong titip Vivin sebentar, ya, Bu.” “Padahal nanti aja nggak apa-apa kali, Ra.” “Ah, udahlah sekalian!”Aku bergegas kembali ke rumah. Yang namanya hutang tak boleh diendapkan terlalu lama. Dengan terpaksa, tak lupa belajar ikhlas untuk segalanya.Beruntung, E
Karena rindu, menjadi cucunya akan melupakan kebiasaan neneknya berbuat apapun. Tapi, biarkan saja karena mereka terlalu kecil untuk memahami. Kelak, mereka bisa paham setelah menginjak dewasa atau tidak perlu memahami keadaan. Ibu mertuaku segera menyuguh roti yang baru dibeli oleh suamiku kepada Elvina, lalu menjulurkannya kepadanya. “Ini nenek kasih roti buat kamu, Vivin sayang!” Elvina langsung menyambut, namun Fathan menyerobot karena dia tak dapat bagiannya. “Bagi Fathan, Nek!” “Iya, iya, dibagi dua ya.” Nada nenek sudah sangat lelah, beliau segera merobohkan kepalanya ke bantal. “Eh, Fathan, jangan suka berisik ya. Rotinya dibagi sama adik.” “Iya, Fathan berbagi kok. Yuk, Dek kita makan di luar aja.” Ajakan Fathan kepada sang adik yang pada akhirnya, Elvina menjadi penurut hanya karena potongan roti. Kedua saudara kandung itu bergegas keluar dari ruang besuk. Menurutku, mereka bisa mengerti situasi di sini. Sekarang giliranku menuangkan