Anjani yang selesai mengunci kamar, tiba tiba di kejutkan dengan dua orang laki-laki memakai pakaian hitam-hitam berdiri di belakang Anjani. "Mau kemana Nona?" Anjani tersentak memandang tajam ke dua laki-laki itu. "Mati aku, ini anak buah Antony," batin Anjani. Anjani bingung alasan apa yang hendak Anjani katakan pada ke dua laki-laki itu. Kedua laki-laki itu mengajak Anjani kembali ke kantor, untuk menemui Antony, namun Anjani bersikeras tak mau. "Saya sudah menemui tuan Anton barusan justru tuan Anton yang menyuruh saya untuk keluar menemui tante Bety."Kedua laki-laki itu tanpa menjawab sepatah kata, langsung meraih tangan Anjani dan maksa Anjani untuk mengikuti laki-laki itu."Maaf Nona, semua ini atas perintah Tian Antony." "Lepaskan ...! Aku bisa berjalan sendiri tanpa bantuanmu." Mata Anjani melotot mengarah pada kedua laki-laki itu. Terpaksa ke dua laki-laki itu melepas tangan Anjani. Menggiring Anjani ke ruangan Antony. Antony tersenyum melihat Anjani yang diam de
"Aku harus ke kamar Leona, dia pasti yang mengambil cosmetikku."Anjani melangkah keluar, dengan buru-buru sebab jam sudah menunjukkan angka tiga sore, sedangkan tamu akan datang jam empat, sedangkan Anjani belum siap-siao sama sekali. Tentunya Antony marah jika ia berpenampilan jelek di mata tamunya. "Ihh ... Kenapa tadi tas ku nggak aku masukkan terlebih dahulu? Ah bodohnya aku." Anjani menepuk- nepuk jidad nya sendiri, tangannya meraih gagang pintu kamar. Mata Anjani membulat sempurna, kala melihat wanita berdiri di depan pintu tersenyum ramah. "Panggil saja aku Bella. aku penghuni kamar paling ujung." Bella mengacungkan tangannya ke arah Anjani. Anjani terkesima sesaat, dengan cepat ia menggenggam tangan Bella. "Aku Anjani, ada yang perlu di bicarakan?" balas Anjani. Semenjak Anjani, banyak di bully teman-temannya. Ia selalu curiga jika berpapasan dengan penghuni Motel. Ia merasa semua penghuni di Motel ini tidaklah bersahabat. Bella hanya menggelengkan kepalanya. "Aku han
"Ya, tunggu sayang sebentar, ini kan belum jam sepuluh masih kurang tiga puluh menit kan?" Baskara menutup pembicaraanya, ia berdiri dan menyimpan ponselnya dalam saku. "Siap-siaplah Anjani sopir akan menjemputmu."Anjani hanya menganggukan kapala, dan berdiri masuk kamar. Langkah Anjani pelan menuju pintu kamar untuk membuka pintu, di depan sudah berdiri sopir yang kemarin mengantar dirinya. "Pagi Nona, apakah Nona sudah siap?""Ya, kita bisa pergi sekarang, tapi tolong antar saya ke kantor Bank.""Siap, Nona."Anjani berpikir, dengan sedikit uang ia bisa mengirim uang untuk adiknya dan ibunya di kampung, sedang sisanya ditabung untuk menebus Ain. Entah tiba-tiba terbersit rasa kangen ingin bertemu Ain, anak semata wayangnya. Kalau di pikir belum ada satu bulan Anjani tinggal di Motel, tapi Anjani merasakan seperti bertahun-tahun tak bertemu Ain. Bagaimana keadaan Ain, apakah dia baik- baik saja?" batin Anjani.Ia terpaku, matanya nanar memandang kesamping lewat kaca jendela m
Anjani tersenrak menatap Bella dengan sungguh-sungguh. "Benarkah Bella?" Bella mengangguk, mengusap air matanya dengan telapak tangannya, menunduk memainkan jari jemarinya. Dan sesekali kembali mengusap sisa air matanya. Tangan Anjani mengelus-elus pundak Bella, rasanya ingin segera bela membuka mulutnya untuk menceritakannya. Namun hingga lima menit Bella tak kunjung cerita, hanya terdengar isak tangis Bella membuat Anjani ikut dalam suasana haru. Anjani membiarkan kesedihan Bella meledak. Ia hanya menenangkan. "Di usiaku yang sudah dua puluh enam aku belum berani menikah Anjani," lirih Bella. Anjani meraih tissue yang berada di meja rias. Menyodorkannya ke arah Bella. "Bersihkan dulu air matamu. Dan tenangkan dulu, barulah kau cerita." Bella hanya mengangguk. Dengan menahan rasa sedih ia menceritakan dengan sedikit mengingat. Waktu Bella duduk di Sekolah Menengah Atas, Bella berpacaran dengan laki-laki bernama Alfian, yang mana orang tua Alfian adalah mempun
Teman- teman Leona yang ada disitu menjerit, dengan cepat mendekati Leona. "Kamu nggak kenapa- kenapa kan Leona?" tanya salah salah satu temannya yang bernama Titin. Leona mendelik, memandang ke arah Titin. "Kamu lihat aku gimana ha?!" teriak Leona. Ke dua teman Leona yang semula masih duduk langsung berdiri, mendekati Leona, membantu Leona berdiri serta mengibaskan pakaian Leona yang kotor. Seraya mengamati kursi yang masih terjungkir di dekatnya. "Ini kursi ringan amat, harusnya kantin sebesar ini kasih kursi yang bagus dong," ucap salah satu teman Leona sambil memanggil anak dari ibu kantin dan memperlihatkan kursinya. Anak ibu kantin hanya mengangguk pelan, "ya Mbak, nanti aku kasih tau sama tuan Antony," Anjani dan Bella yang masih berdiri bengong melihat Leona jatuh, ia menahan tawa, seperti melihat hal yang lucu. Masa yang sembrono yang jatuh tapi yang disalahkan kursinya. "Hai ... Wanita kampung, gara gara kamu aku jatuh. Akan aku laporkan ke tuan Antony kalau kau sudah
Titin berlari menghampiri Leona. "Ada apa, ada hal penting kah? tanya Leona, mengajak Titin duduk di kursi dekat Leona berdiri. Titin mengikuti arahan Leona ia langsung duduk di dekat Leona. Dan mengatur nafasnya hendak bicara. "Di club semua membicarakan Anjani, ternyata Anjani itu bawaan Tante Bety."Leona mengernyit kan dahinya. "Benarkah?" Titin mengangguk. Dan memandang ekspresi Leona yang tampak sedih. "Ya, aku percaya hal itu, tante Bety menempatkan Anjani ke sini, untuk memata matai tuan Tony, kemungkinan tante Bety tau afair ku dengan tuan Tony. Tapi ternyata Anjani menikungnya." Leona menunduk, tampak raut sedihnya menyeringai wajahnya. "Maksudmu Leona?" Leona menceritakan apa yang barusan terjadi di ruangan Antony. Leona yakin kalau yang ada di kamar Antony adalah Anjani. "Aku mendengar dengan jelas suara desahan dan rintihan Anjani di dalam kamar ruang tuan Tony, mereka sedang melakukan percintaan." Mendengar hal itu Titin terdiam, matanya terus memandang L
Anjani melangkah masuk ke kamar Leona yang sudah terbuka, setelah membersihkan wajahnya. Anjani berdiri di Ambang pintu, melihat ruangan Leona yang sangat beda jauh di banding kamarnya sendiri. Anjani menepis prasangka buruk dalam pikirannya, ia hanya berpikir mungkin Leona anak buah yang profesional dengan bayaran mahal. "Masuklah Anjani," ucap Leona dengan tangan membawa sebuah botol kecil. Anjani tau kalau itu obat luka, kemungkinan Leona hendak menyuruh Anjani mengobati lukanya, biar Anjani tau kalau Leona terluka. "Duduklah, aku ingin bicara padamu." Anjani menuruti apa yang dikatakan Leona, ia duduk di sofa. Tanpa mengucap sepatah kata. Tanpa disadari Anjani tiba-tiba Leona berdiri dekat Anjani duduk. "Maafkan aku Anjani. Aku kilaf, aku ingin mengobati lukamu." Anjani masih diam dan pasrah ketika Leona mengobati luka Anjani. Anjani meringis menahan perih kala obat itu di oleskan di kepala. "Untung lukanya sedikit Anjani, kalaupun parah nanti aku bawa ke rumah sakit, a
Leona yang berada di dekat Anjani kaget, saat Anjani menyebut nama seseorang. "Siapa yang kau sebut Anjani?" tanya Leona. Anjani bingung dan tampak blingsatan, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan menggeser kursi yang ia duduki, membelakangi duduk Barata bersama wanita. Leona semakin bingung melihat tingkah Anjani, ia semakin curiga hingga menanyakan berkali-kali ada apa sebenarnya. Anjani menutupinya dengan tetap tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Namun Anjani merasa tak jenak, rasanya ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Beruntung Leona tak mencerca dengan pertanyaan- pertanyaan yang menyudutkan dirinya. Ia asyik menikmati makanan nya. Sambil bercerita tentang baju- baju mahal dan tas mahal yang di belikan oleh pelanggan. Namun tiba-tiba Leona berhenti bercerita, sepertinya Leona memandang seseorang yang Leona kenal. "Hei, itu orang kaya juga makan disini." Leona menunjuk dengan dagunya, dan menyuruh Anjani menoleh, namun Anjani acuh saja, pura -pura asyik menik