Share

3. Kehancuran Selanjutnya

Happy Reading

*****

Melajukan motornya meninggalkan kediaman Fathin, Ayumi mencoba menghubungi lelaki kedua yang sangat dia hormati setelah sang ayah. Namun, berkali-kali melakukan panggilan, tak ada satu yang dijawab oleh lelaki pemilik nama Muhammad Gaza.

Sepanjang perjalanan menuju rumah saudara tertuanya, Ayumi memikirkan keadaan Fathin. Kehidupannya sangat berbanding terbalik dengan cerita yang didengar oleh Ayumi. Saudara perempuannya itu selalu menceritakan kebahagian dalam rumah tangganya. Namun, apa yang dilihat sangat jauh dari bayangan kebahagiaan. Fathin ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang oleh suami dan mertuanya.

Entah berapa banyak rahasia lagi yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarganya. Ayumi mengembuskan napas kasar. Sepanjang perjalanan, sang gadis memikirkan banyak hal. Dadanya begitu sesak dengan segala permasalahan keluarga yang tidak pernah diketahuinya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Ayumi sampai di pelataran rumah Gaza. Rumah tidak berpagar memudahkan sang gadis mencapai pintu dengan mudah setelah memarkir kendaraannya.

Perlahan, Ayumi mengetuk pintu berwarna cokelat tua. Tangannya sedikit gemetar karena menahan rasa dingin dan gelisah serta khawatir. Beberapa kali ketukan belum ada jawaban dari sang empunya.

Ayumi membuka gawai dan makukan panggilan sekali lagi pada Gaza. Namun, hasilnya nihil. Mencoba mengetuk sekali lagi, dia pun mendengar suara kenop pintu yang diputar.

Seorang perempuan berjilbab dengan daster batik tampak membulatkan mata ketika tatapannya beretmu dengan manik Ayumi.   

"Ngapain malam-malam ke sini? Jangan mengganggu masmu. Dia baru keluar rumah sakit dan butuh istirahat. Kehadiranmu pasti membuatnya repot," tanya sang kakak ipar.

Tatapan matanya sudah menunjukkan rasa tidak suka atas kehadiran si bungsu. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Ayumi terdiam dengan sorot kosong. Apa yang dia pikirkan selama perjalanan benar-benar terjadi.

Merasa tak ada tanggapan dari lawan bicaranya, sang kakak ipar kembali berkata, "Pulang sana! Jangan mengganggu istirahat Mas Gaza. Lagian, cewek kok malam-malam keluyuran. Seperti cewek tidak baik saja." Bersiap menutup pintu.

Reflek, tangan Ayumi berusaha menahannya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, terutama tetang sakitnya si sulung.

"Tunggu, Mbak," ucap Ayumi, "Kami sekeluarga tidak pernah tahu tentang hal ini. Mas Gaza sakit apa? Kenapa tidak pernah cerita jika beliau sakit?"

Sang kakak ipar memutar boa mata malas. Berasumsi perkataan Ayumi hanyalah sebuah pembelaan atas ketidakpedulian keluarganya.

"Alasan, bilang saja tidak mau merawatnya. Padahal, Mas Gaza ikut andil membantu biaya kuliahmu. Sekarang, setelah dia sakit, tidak ada satupun keluarganya yang menengok."

"Mbak," peringat si gadis berjilbab, "jika salah satu dari kami ada yang diberi tahu. Pastilah kami dengan senang hati menengok atau bahkan merawat beliau. Mas Gaza adalah kebanggaan keluarga, tidak mungkin kami membiarkannya sendirian dalam sakit. Kami semua menyayanginya, terutama aku dan Mbak Fathin."

Mencebik, ibu muda di hadapan Ayumi berkata, "Benarkah seperti yang kamu katakan. Nyatanya, seminggu berada di rumah sakit, tidak ada seorang pun dari keluargamu yang menengok Mas Gaza. Apa ini yang disebut peduli dan sangat menyayangi?" Suaranya meninggi.

Ayumi terpaksa mundur satu langkah karena terkejut dengan kalimat yang dilontarkan sang kakak ipar. Apa yang dikatakan sang gadis memang benar. Tidak ada yang tahu tentang sakitnya si sulung.

"Kami memang tidak tahu, Mbak. Andai Ayah atau Bunda tahu, pastilah mereka bercerita. Tapi ...."

Tangan kanan sang ipar terangkat, menghentikan kamt yang akn diucapkan Ayumi selanjutnya.

"Jangan lagi beralasan. Sebaiknya kamu pang sekarang. Jangan samppai Mas Gaza mendengar obrolan kita sehingga istirahatnya terganggu. Pergi sana," usir istri saudara tertua Ayumi.

"Mbak biarkan aku bertemu dengan Mas Gaza. Aku ingin melihat keadaanya," ucap ayumi sedikit memaksa sang kakak ipar agar dia dipekenankan masuk dan melihat keadaan si sulung.

"Tidak! Sana pergi." Sedikit mendorong gadis berjilbab di hadapannya.

"Mbak, tolong," pinta Ayumi. Kedua tangannya sudah menangkup di depan dada, memohon.

"Sekali tidak, ya, tidak."

Dua perempuan beda umur itu masih bersikeras dengan keinginan masing-masing bahkan sang kakak ipar mulai berani mendoong tubuh Ayumi. Walau pelan, tetapi tindakan tersebut mampu menggeser tubuh sang gadis.

"Mbak, jangan keras kepala. Sebagai adik, aku perlu tahu keadaan saudara kandungku." Suara Ayumi mulai meninggi.

"Tidak. Sana pergi. Kamu membuat keributan saja di rumahku."

"Ma, kamu lagi ngobrol sama siapa?" Terdengar suara seorang lelaki dari dalam. Ayumi yakin, suara itu milak Gaza.

"Mas, ini aku. Gimana keadaanmu?"

Sang kakak ipar segera membanting pintu dengan keras dihadapan Ayumi tanpa peduli bagaimana perasaannya yang ingin mengatahui keadaan Gaza.

"Astagfirullah. Mengapa Mbak Kanaya bisa sejahat ini padaku?" gumam Ayumi ketika pintu rumah saudara sulungnya tertutup sempurna dan tak ada celah baginya masuk. Jika tidak ingin ada keributan, tentu dia harus segera pergi dari sana.

Melangkah menuju motor, sang gadis mendapat chat dari seorang.

"Sepertinya, kita sudah tidak bisa bersama lagi. Maaf, jika selama ini sering membuatmu kecewa."

Mata Ayumi membulat sempurna. "Apa maksudnya ini?"

Cepat, gadis itu melakukan panggilan pada seseorang yang mengirimkan chat. Namun, berkali-kali bahkan sampai puluhan kali, tidak terangkat.

"Apa lagi ini Ya Allah? Berapa banyak kejutan lagi yang akan menghampiriku?" tanya Ayumi sambil melajukan motor meninggalkan kediaman Gaza. Tak tahu harus berbuat apalagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status