"Apapun usahamu, dia tak akan lepas dariku. Aku akan mempertahankannya. Apalagi sekarang Senja mengandung anakku."Wajah Arga seketika berubah pias. "Aku tak bisa setelah menikahinya terus meninggalkan begitu saja dengan alasan bahwa aku hanya kasihan. Aku tidak ingin menambah lukanya terlalu dalam lagi. Aku tak ingin menyakiti keluarganya. Andai saja kamu tahu bahwa mereka semua sangat baik. Aku tak bisa bersandiwara seperti yang tengah kamu rencanakan.""Tapi kenapa kamu harus benar-benar menikahinya, bahkan menyentuhnya!" desis Arga menahan murka."Apa aku juga harus pura-pura sepertimu? Aku sudah menceritakan situasinya saat itu. Tak perlu aku mengulanginya lagi. Andaikan kamu tidak menerima perjodohan dengan Citra, semua ini tak akan terjadi. Aku juga tak akan pernah dekat dengan Senja, bahkan menikahinya. Maaf, kuharap kamu memahami ini." "Aku yakin kamu menyentuhnya karena nafsu, hanya memanfaatkan sebab dia telah halal untukmu. Kamu nggak mencintainya, kan?""Apa yang kurasa
Jarak rumah sakit dan kantornya sekitar dua puluh menit. Di koridor ruang bersalin, tampak ada papa dan mamanya yang duduk di bangku panjang. Di sebelah mereka ada orang tua Tata.Bu Airin yang melihat kehadiran putranya hanya memandang sekilas. Meski hatinya senang karena bisa melihat putranya lagi. Lagi-lagi egonya yang dijunjung tinggi. Ketika di salami, wanita itu hanya diam saja tak mau memandang."Sudah lahir bayinya, Pa?" tanya Sabda setelah duduk di sebelah sang papa."Belum. Baru lima menitan masuk ruang operasi. Masmu yang dampingi.""Apa ada masalah, Pa? Sampe harus tindakan SC?""Nggak ada. Tata yang memang mau lahiran secara cesar."Mereka diam. Menunduk dengan harap-harap cemas. Ketegangan juga terasakan di bangku tunggu. Enam bulan lagi, dirinya juga akan mengalami hal begini."Kehamilan istrimu bagaimana?""Alhamdulillah, sehat, Pa. Dia juga masih kerja." Sabda sengaja bicara agak keras biar mamanya mendengar. Tapi ia yakin, papanya pasti sudah memberitahu sang mama me
"Sayang, ayo kita berangkat. Nanti keburu siang!" panggil Sabda dari luar. Membuat Senja terkejut, refleks diletakkannya kembali ponsel Sabda di nakas."Bawakan ponselku di nakas!" lanjut Sabda lagi. Ponsel kembali di ambil oleh Senja lalu mengambil hand bag-nya lantas keluar kamar.Mereka berangkat dan mampir di sebuah rumah makan untuk sarapan. Di hadapan sang suami, Senja tidak menampakkan kegalauannya karena pesan yang sempat terbaca tadi. Meski jujur saja ia kepikiran. Bagaimana tidak, kebersamaannya dengan Arga yang tidak sebentar membuatnya berpikir tentang kondisi laki-laki itu. Semua terjadi karena permasalahan yang mereka hadapi saat ini.Dua porsi nasi kuning dan dua teh hangat di pesan Senja. Sementara Sabda membalas pesan dari adiknya. Sabda menanyakan tentang keadaan Arga. Dia pun tidak tega dengan kondisi sepupunya. Sayangnya Bumi pun belum tahu bagaimana kabar Arga saat ini.Kemudian dia memperhatikan Senja yang menyimak ponselnya. Wanita yang telah membuat Arga nekat
Perjalanan pulang Sabda dan Senja kali ini agak lambat dari waktu normalnya. Sebab sering berhenti untuk istirahat. Sabda benar-benar menjaga agar tidak terjadi apa-apa pada kandungan istrinya. Ia dibayangi ketakutan yang terpikirkan ketika sarapan tadi. Padahal bagi Senja sendiri tak ada masalah apa-apa. Bahkan ia tak mengalami morning sickness parah seperti yang dialami oleh sebagian perempuan hamil. Terkadang saja rasa mual itu datang, tapi tidak sampai muntah.Pukul sebelas siang mereka baru sampai di rumah Bu Hanum. Kebetulan ada Pakdhe Harto dan istrinya ketika mereka sampai. Sabda di sambut dan duduk ngobrol di balai-balai samping rumah bersama Pakdhe dan istrinya. Sedangkan Senja langsung masuk ke dalam bersama ibunya. Bu Hanum membuatkan minum untuk sang menantu satu-satunya. Senja mengambil piring untuk menaruh brownis dan kue lapis legit."Barusan kami ngomongin soal kalian," kata Bu Hanum sambil mengaduk teh."Ngomongin soal apa, Bu.""Bulan depan sudah puasa. Rencananya
"Mas, pasti setelah ini keluargaku akan menanyakan lagi tentang acara silaturahmi," kata Senja setelah mereka berdua berbaring di kamar siang itu setelah Salat Zhuhur."Nanti malam aku akan bicara sama Ibu. Aku sudah memutuskan kalau lebih baik kita berterus terang saja. Kurasa ini jauh lebih baik. Ibu pasti bisa memahami, apalagi kita besok isbat nikah juga ke KUA. Jadi beliau tak akan ragu lagi."Senja mengangguk. Pendapat suaminya ada benarnya juga. Untuk apa ditutupi dan mau sampai kapan begini. Mereka juga nggak akan kembali mengulang membayar orang untuk pura-pura jadi kerabat. Ini akan lebih membuat keluarganya kecewa jika tahu. "Apa perlu membayar orang lagi, Mas?" tanya Senja tampak ragu. Sebab ini hal konyol yang tak mungkin dilakukan lagi.Sabda tersenyum. "Tentu semua tak sebercanda ini lagi, Sayang. Bisa saja kamu ini," jawab Sabda sambil meraih dagu istrinya, lantas mencium bibir itu."Sudah, kamu istirahat dulu. Nanti malam kita bicara dengan ibu."Senja memeluk lengan
Malam hening dan tenang. Suara kodok masih bersahutan. Mereka masih duduk di atas sajadah setelah selesai Salat berjamaah. Senja juga masih memakai mukenanya."Lusa aku akan menemui Papa di kantornya. Aku harus mengajak beliau bicara mengenai masalah tadi siang. Aku juga akan menemui mama jika ada kesempatan.""Kesempatan harus dicari, Mas. Jangan hanya menunggu saja. Kata ibu tadi, kalau bisa aku harus bertemu beliau juga. Harus tetap menjalin silaturahmi."Sabda memandang istrinya. "Ibu benar. Tapi kamu belum tahu Mama itu bagaimana. Kamu sedang hamil, aku tak ingin mama menyakitimu meski hanya dengan kata-katanya." Senja memperhatikan suaminya yang sedang bicara. Sepertinya Sabda tidak akan mengizinkannya bertemu dengan mama mertuanya. Senja akan nurut. Sebab Sabda yang lebih tahu bagaimana mamanya. Di raihnya Senja dalam dekapan. Sabda benar-benar tidak ingin mamanya mengamuk ketika Senja datang. Dengan dirinya saja Bu Airin bisa secuek itu, bagaimana sikapnya pada Senja? Bisa j
Perasaan Senja berkecamuk tidak menentu. Ada cemas, was-was, dan juga takut. Takut bakalan terjadi keributan antara Sabda dan Arga. Di dalam sana, ia yakin Arga tidak sendirian. Mungkin berdua dengan tunangannya.Genggaman tangan Arga makin erat saat mengucapkan salam dan melangkah memasuki pintu. Di ruang keluarga itu sepi. "Ndoro Putri sama Ndoro Kakung ada di ruang santai belakang, Den Sabda," seorang ART setengah baya muncul dari dalam dan memberitahu Sabda. Wanita itu juga mengangguk sopan pada Senja.Sabda mengajak istrinya ke belakang, tanpa melepaskan genggaman tangannya. Mereka melewati ruangan demi ruangan besar dengan desain interior yang di dominasi warna emas dan putih. Mewah dan elegan.Ketika Sabda dan Senja muncul di pintu yang menghubungkan antara ruang dalam dan ruang santai di bagian belakang, membuat keempat orang di sana sontak menoleh pada Sabda dan Senja.Tidak hanya Arga dan Citra saja yang kaget, Kakek dan Neneknya pun terkejut. Kedua orang yang telah berusia
Bagi Sabda sendiri sebenarnya tidak bermaksud memanas-manasi, dia melakukan itu secara natural karena Senja memang masih sungkan. Maklum baru pertama kali bertemu Kakek dan neneknya. Di samping ada beban yang dibawa, hubungan yang tidak tahu bisa diterima apa tidak oleh mereka."Kakek ingin kalian segera menikah. Mau nunggu apalagi. Kalian sudah sama-sama cukup umur. Kami juga masih ingin melihat kalian menggendong anak-anak kalian."Sabda memilih diam dulu. Jika ia memberitahu mereka sekarang, sudah pasti terjadi keributan antara dirinya dan Arga. Dan Arga pun diam, tidak membicarakan kenyataan yang sebenarnya. Kedua pria itu tidak ingin kakek dan nenek mereka melihat keributan yang bisa saja berakhibat fatal. Jika terjadi apa-apa, keduanya akan disalahkan oleh keluarga besar.Selesai makan, mereka tidak langsung pulang. Sabda menemani kakeknya yang kembali ke kandang burung. Citra bicara dengan Bu Tedjo, sedangkan Senja minta izin untuk Salat Zhuhur lebih dulu. Cukup lama ia berdiam