Bukannya menjawab Ardhan justru menoleh ke arah sosok Kakek yang berdiri tak jauh darinya. Ia tak mengerti kenapa Prama bertanya seperti itu. “Maklum saja, ada kesalahan dalam memanipulasi ingatannya.”“Pak Ardhan ... Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi,” tuntut Prama.“Bagaimana ini Kek,” gumam Prama. Sosok Kakek itu menggelengkan kepalanya, bukannya tidak jawabannya tetapi pria itu membiarkan Ardhan berpikir sendiri.“Karena ... Pak Prama ... kemarin ...”Ardhan mencari kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan lelaki itu. Mata bergerak ke sana ke mari, otaknya bekerja keras untuk berpikir.“Oh iya sangat ingat, kemarin saya –“Prama menghentikan ucapannya karena ponselnya berdering, ada sebuah panggilan masuk. Ia mengangkat telepon sembari menjauh dari Ardhan. Dan kesempatan baik itu digunakan Ardhan untuk melarikan diri, ia masuk ke dalam ruang kerjanya.Ia menyibukkan diri dengan membersihkan meja kerjanya, menghidupkan komputernya dan melakukan hal-hal yang tak biasa ia l
Ardhan memundurkan langkahnya ketika mengetahui hal tersebut, ia tak menduga jika ingatan Prama akan kembali. “Katanya Kakek sudah menghapus ingatannya,” ujar Ardhan, ia meninggikan suaranya.“Sstt, pelankan suaramu. Kamu mau dikira gila oleh atasanmu?”Ardhan segera menutup mulutnya kemudian berjalan mendekati si Kakek. “Katanya Kakek sudah menghapus ingatan Pak Prama, bagaimana bisa dia jadi ingat semuanya lagi.”“Aku hanya bercanda tadi,” goda si Kakek. “Tetapi tentang dirinya yang sudah sepenuhnya kembali menjadi seorang Prama itu sungguhan. Lihat besok, dia kembali membuatmu kesal bahkan bisa ...”“Bisa apa Kek? Bicara jangan sepotong-sepotong begitu.”“Bicara di jalan saja, ada banyak kuping yang mendengar dan mata yang melihat,” ujar si Kakek lalu menghilang. Ucapan pria tua itu membuat Ardhan seketika mengedarkan pandangannya ke segala sdut koridor kantornya. Tak ada siapapun di sana, hanya ia sendiri dan pak Bobby di ruangannya.“Jangan-jangan dia bicara masalah hantu lagi,”
“Bantu apa Pak?” tanya Ardhan, Prama mengajaknya menuju meja kerjanya. Perasaan Ardhan bercampur aduk, ia mencoba utuk tak takut tetapi waspada. Dari sikap dan aura yang terpacar Prama lebih kejam dan berkuasa dibandingkan sebelumnya.“Pak Ardhan bisa memperbaiki ini?” ujar anak konglomerat itu sembari menunjukkan bagian komputernya yang rusak. “Saya lihat kemarin Pak Ardhan memperbaiki komputer anda, mungkin sekarang bisa membantu saya.”“Coba saya periksa dulu ya Pak,” kata Ardhan mencoba melihat separah apa kerusakan komputernya. Meski tak bukan lulusan teknik komputer namun Ardhan bisa memperbaiki komputer yang eror.Entah gugup atau memang kerusakannya yang parah, Ardhan menyerah untuk memperbaiki komputer lelaki tersebut. Ardhan meminta maaf karena tidak bisa membantu rekan bisnisnya itu. “Maaf Pak, saya sudah berusaha tetapi komputer anda tetap tidak bisa menyala.”“Sayang sekali ya Pak, saya sudah buang-buang waktu selama setengah jam tetapi tidak ada hasilnya. Sia-sia, percum
Raut wajah Ardhan berubah, matanya berkilau, emosinya memuncak. Ia bersiap untuk memukul pria di depannya yang tak kalah garang. Si Kakek terus menahannya tetapi Ardhan sudah gelap mata, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.Mudah bagi lelaki itu untuk melumpuhkan lawannya, dalam beberapa kali pukulan Ardhan bisa membuat Prama bertekut lutut. Prama terduduk di lantai usai mendapatkan pukulan di wajah dan perutnya. Ardhan tampak begitu puas menyalurkan kekesalannya yang selama ini terpendam.Begitu pula dengan para penonton dadakan yang menikmati pertengkaran tersebut, tak ada dari mereka yang melerai kedua petarung tersebut. Sepertinya mereka juga ingin atasannya menerima balasan atas perbuatan jahatnya selama ini.“Kau puas?” sindir si Kakek. Ardhan yang sibuk mengatur napasnya diam seribu bahasa. “Ada hal besar yang akan terjadi, kau akan me—““Persetan dengan yang lain, pria berengsek itu harus menerima ganjarannya,” ujar Ardhan memotong perkataan si Kakek. Ia sudah masa bodo dengan
“Apa untungnya aku memukulmu?” tanya Ardhan.“Tentu saja hal itu membuatku senang, kami tak perlu melihatmu lagi di kantor ini. Selamanya,” kata Moritz.Ardhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalian masih saja seperti ini, pergilah!”“Pak Ardhan sungguh memukul klien kita?” tanya Jonas, sepertinya ia tidak percaya jika Ardhan mampu melakukan hal tersebut.“Masih tanya lagi, lihatlah wajahnya!” sela Moritz, ia menunjuk ke arah Ardhan. “Dia ini kriminal.”“Hati-hati kalau bicaranya ya. Turunkan tanganmu!” titah Ardhan, ia mulai meninggikan suaranya. Hal tersebut membuat Moritz dan Jonas terkejut.“Jaga sikapmu, Ardhan! Mereka mencari kesalahanmu,” kata si Kakek mengingatkannya.“Minggir, aku mau ke kamar mandi,” ucap Ardhan, ia hendak menerobos kedua orang tersebut.“Tunggu dulu, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” larang Moritz, lelaki itu mendorong Ardhan agar masuk ke dalam ruangannya lagi. Namun Ardhan tak menghiraukannya, ia tetap pergi menuju kamar mandi yang terletak di uj
Ardhan seketika bangun dari posisi tidurnya begitu mendengar suara Prama. Ia terkejut bukan main melihat kehadiran sepasang kekasih itu di tempat tersebut. “Apa yang kalian lakukan di sini?”“Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kalian berdua di sini?” tanya Prama balik. “Anda tidak ada kapok-kapoknya ya bikin masalah dengan saya. Kinanthi itu pacar saya!”“Siapa yang janjian di sini!” teriak Ardhan, ia tak terima dituduh janjian dengan pacar Prama. “Hei Kinanthi, kenapa kamu di sini?”Perempuan yang kini menjadi menjadi pusat perhatian hanya diam, ia tampak bingung menjelaskan alasannya. Dan hal itu membuat Ardhan semakin geram.“Hei cepat jelaskan pada pacarmu itu!”“Kenapa kamu mau diajak ke tempat ini, sayang?” tanya Prama.Kinanthi lagi-lagi tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya saja.“Kalian berdua sama saja, bisanya membuat hidupku susah,” gerutu Ardhan, ia lantas mendekat ke arah Prama dan berkata “Harus anda tahu Pak Prama yang terhormat, saya tidak pernah mengajak
Kinanthi menganggukkan kepalanya seolah menegaskan jawabannya.“Bagaimana dia bisa tahu alamat rumahmu?” selidik Prama.Ardhan mengusap wajahnya kasar, akan ada masalah baru ucapnya dalam hati.“Masa kamu lupa, aku pernah bilang kalau ternyata ruma Mas Ardhan itu dekat dengan rumahku,” sahut Kinanthi.“Kamu tidak pernah bilang padaku tentang hal itu,” bantah Prama.“Kamu saja yang lupa, Mas. Aku pernah bilang sewaktu kita di mobil tempo hari.”“Sudah berapa kali dia main ke rumahmu?”Kinanthi tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Belum pernah sama sekali, kita memang tetangga kampung tetapi belum pernah mengunjungi satu sama lain,” ujar Kinanthi. Ardhan tahu jika Kinanthi sedang berbohong pada kekasihnya.Kakek juga merasakan hal yang sama. “Dia menyelamatkanmu,” bisiknya.“Jadi bagaimana ini? Aku sudah boleh pulang?” tanya Ardhan, ia mengaihkan topik pembicaraan.“Silakan pulang, mobil Kinanthi biar diurus anak buahku,” jawab Prama. Ardhan langsung menghidupkan mesin motornya dan
“Mau bagaimana lagi, hadapi mereka,” uajr si Kakek. Ardhan seketika menoleh ke arah lelaki itu, matanya membulat. Bukannya tak sanggup melawan preman-preman itu tetapi ia tidak mau berkelahi dengan mereka.“Tidak ada saran lain, Kek?” tanya laki-laki itu.“Tidak ada cara lain, mereka sudah dekat.”Ardhan memasang kuda-kuda, tangannya terkepal erat. Tetapi yang terjadi selanjutnya sungguh membuatnya tak bisa berkata-kata.“Minggir!! Jalan halangi jalanku!!” usir preman tersebut seraya mendorong Ardhan ke samping. Tentu saja badannya terhuyung ke samping, untung saja tangannya berpegangan pada dahan pohon.“Mereka tidak menyerangku, Kek?” cicitnya.“Hussh, jangan berkata begitu. Kalau sampe mereka dengar bagaimana?” timpal si Kakek.Mereka fokus melihat ke mana para preman itu berjalan, setelah diamati beberapa saat. Lelaki bertubuh besar dan berwajah garang itu berhenti di salah satu tempat makan. Ardhan bisa bernapas lega sekarang.“Ternyata mereka tidak menyerangku, Kek.”“Aku sudeh