Raut wajah Ardhan berubah, matanya berkilau, emosinya memuncak. Ia bersiap untuk memukul pria di depannya yang tak kalah garang. Si Kakek terus menahannya tetapi Ardhan sudah gelap mata, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.Mudah bagi lelaki itu untuk melumpuhkan lawannya, dalam beberapa kali pukulan Ardhan bisa membuat Prama bertekut lutut. Prama terduduk di lantai usai mendapatkan pukulan di wajah dan perutnya. Ardhan tampak begitu puas menyalurkan kekesalannya yang selama ini terpendam.Begitu pula dengan para penonton dadakan yang menikmati pertengkaran tersebut, tak ada dari mereka yang melerai kedua petarung tersebut. Sepertinya mereka juga ingin atasannya menerima balasan atas perbuatan jahatnya selama ini.“Kau puas?” sindir si Kakek. Ardhan yang sibuk mengatur napasnya diam seribu bahasa. “Ada hal besar yang akan terjadi, kau akan me—““Persetan dengan yang lain, pria berengsek itu harus menerima ganjarannya,” ujar Ardhan memotong perkataan si Kakek. Ia sudah masa bodo dengan
“Apa untungnya aku memukulmu?” tanya Ardhan.“Tentu saja hal itu membuatku senang, kami tak perlu melihatmu lagi di kantor ini. Selamanya,” kata Moritz.Ardhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalian masih saja seperti ini, pergilah!”“Pak Ardhan sungguh memukul klien kita?” tanya Jonas, sepertinya ia tidak percaya jika Ardhan mampu melakukan hal tersebut.“Masih tanya lagi, lihatlah wajahnya!” sela Moritz, ia menunjuk ke arah Ardhan. “Dia ini kriminal.”“Hati-hati kalau bicaranya ya. Turunkan tanganmu!” titah Ardhan, ia mulai meninggikan suaranya. Hal tersebut membuat Moritz dan Jonas terkejut.“Jaga sikapmu, Ardhan! Mereka mencari kesalahanmu,” kata si Kakek mengingatkannya.“Minggir, aku mau ke kamar mandi,” ucap Ardhan, ia hendak menerobos kedua orang tersebut.“Tunggu dulu, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” larang Moritz, lelaki itu mendorong Ardhan agar masuk ke dalam ruangannya lagi. Namun Ardhan tak menghiraukannya, ia tetap pergi menuju kamar mandi yang terletak di uj
Ardhan seketika bangun dari posisi tidurnya begitu mendengar suara Prama. Ia terkejut bukan main melihat kehadiran sepasang kekasih itu di tempat tersebut. “Apa yang kalian lakukan di sini?”“Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kalian berdua di sini?” tanya Prama balik. “Anda tidak ada kapok-kapoknya ya bikin masalah dengan saya. Kinanthi itu pacar saya!”“Siapa yang janjian di sini!” teriak Ardhan, ia tak terima dituduh janjian dengan pacar Prama. “Hei Kinanthi, kenapa kamu di sini?”Perempuan yang kini menjadi menjadi pusat perhatian hanya diam, ia tampak bingung menjelaskan alasannya. Dan hal itu membuat Ardhan semakin geram.“Hei cepat jelaskan pada pacarmu itu!”“Kenapa kamu mau diajak ke tempat ini, sayang?” tanya Prama.Kinanthi lagi-lagi tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya saja.“Kalian berdua sama saja, bisanya membuat hidupku susah,” gerutu Ardhan, ia lantas mendekat ke arah Prama dan berkata “Harus anda tahu Pak Prama yang terhormat, saya tidak pernah mengajak
Kinanthi menganggukkan kepalanya seolah menegaskan jawabannya.“Bagaimana dia bisa tahu alamat rumahmu?” selidik Prama.Ardhan mengusap wajahnya kasar, akan ada masalah baru ucapnya dalam hati.“Masa kamu lupa, aku pernah bilang kalau ternyata ruma Mas Ardhan itu dekat dengan rumahku,” sahut Kinanthi.“Kamu tidak pernah bilang padaku tentang hal itu,” bantah Prama.“Kamu saja yang lupa, Mas. Aku pernah bilang sewaktu kita di mobil tempo hari.”“Sudah berapa kali dia main ke rumahmu?”Kinanthi tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Belum pernah sama sekali, kita memang tetangga kampung tetapi belum pernah mengunjungi satu sama lain,” ujar Kinanthi. Ardhan tahu jika Kinanthi sedang berbohong pada kekasihnya.Kakek juga merasakan hal yang sama. “Dia menyelamatkanmu,” bisiknya.“Jadi bagaimana ini? Aku sudah boleh pulang?” tanya Ardhan, ia mengaihkan topik pembicaraan.“Silakan pulang, mobil Kinanthi biar diurus anak buahku,” jawab Prama. Ardhan langsung menghidupkan mesin motornya dan
“Mau bagaimana lagi, hadapi mereka,” uajr si Kakek. Ardhan seketika menoleh ke arah lelaki itu, matanya membulat. Bukannya tak sanggup melawan preman-preman itu tetapi ia tidak mau berkelahi dengan mereka.“Tidak ada saran lain, Kek?” tanya laki-laki itu.“Tidak ada cara lain, mereka sudah dekat.”Ardhan memasang kuda-kuda, tangannya terkepal erat. Tetapi yang terjadi selanjutnya sungguh membuatnya tak bisa berkata-kata.“Minggir!! Jalan halangi jalanku!!” usir preman tersebut seraya mendorong Ardhan ke samping. Tentu saja badannya terhuyung ke samping, untung saja tangannya berpegangan pada dahan pohon.“Mereka tidak menyerangku, Kek?” cicitnya.“Hussh, jangan berkata begitu. Kalau sampe mereka dengar bagaimana?” timpal si Kakek.Mereka fokus melihat ke mana para preman itu berjalan, setelah diamati beberapa saat. Lelaki bertubuh besar dan berwajah garang itu berhenti di salah satu tempat makan. Ardhan bisa bernapas lega sekarang.“Ternyata mereka tidak menyerangku, Kek.”“Aku sudeh
“Siapa yang memotretku dan mengirimkannya pada Prama?” batin Ardhan. Ia memandang segala penjuru, menatap satu persatu orang untuk mencari penguntit mereka. Namun ia tak menemukan satupun orang yang dicurigainya sebagai anak buah Prama.“Kamu kenapa, Mas?” tanya Kinanthi dari kaca jendela mobilnya.“Kamu ke sini dengan siapa?”“Sendirian, kenapa?” tanya Kinanthi.“Tidak ada anak buah Pak Prama yang mengikutimu?” selidik Ardhan.“Tidak ada, aku berangkat sendiri,” ucap Kinanthi, suara dan raut wajahnya tampak meyakinkan. “Memangnya kenapa? Kamu ditelepon Mas Prama?”Ardhan tak langsung menjawab, ia tampak berpikir terlebih dahulu. “Sudah katakan saja yang sebenarnya, dia juga berhak tahu,” usul si Kakek. Ardhan lantas menunjukkan foto yang dikirim Prama tadi. Terlihat jelas mereka berdua bergandengan tangan baik dari arah depan maupun belakang.“Siapa yang melakukan hal seperti ini, tega sekali,” ucap Kinanthi. “Orang itu sengaja membuat hubunganku dan Mas Prama kembali renggang. Pasti
“Iya, sesekali kamu lepas kacamata itu,” lanjut sang ayah. “Memangnya kenapa? Tidak bisa?”Ardhan baru akan membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar suara Pak Romli. Sesuai prediksi ayahnya tadi, pria itu akan datang ke rumahnya dan ternyata benar. “Malam Pak,” sapanya ramah.“Malam juga Pak,” sahut ayah Ardhan sembari menjabat tangan pria itu, Ardhan juga melakukan hal yang ama. Pak Romli menatap kacamata Ardhan cukup lama hingga membuat pemilik kacamata itu menjadi salah tingkah.“Ada apa kemari, Pak?” tanya ayahnya.“Aku ke dalam dulu, Yah,” sela Ardhan, ia lantas meninggalkan ayahnya dengan Pak Romli di teras rumahnya.“Begini Pak, saya ingin bertanya tentang aquarium. Saya lihat bapakpunya akuarium kecil, itu beli di mana ya,” tanya lelaki tersebut. Ayah Ardhan tertawa kecil mendengar kalimat Pak Romli, ternyata kali ini beliau tidak bertanya tentang kacamata anaknya. Lelaki paruh baya itu menduga jika Pak Romli mengubah pertanyaannya karena tahu jika Ardhan menghindarinya.Ayah Ard
“Membantu kalian?” kata Ardhan. “Mmm ... begini ... lain kali saja ya,” tolaknya.“Apa katamu,” ujar Moritz, ia berjalan mendekati Ardhan dengan emosi namun bisa ditahan oleh Jonas.“Sabar Pak, ini masih pagi,” kata Jonas sembari memegangi tangan seniornya itu.“Kalian itu tidak ada otaknya ya. Pagi-pagi sekali datang ke ruangan orang langsung memaksa untuk dibantu,” ujar Ardhan, ia meninggikan suaranya. “Kalau itu tahu etika tidak?”“Jadi kami yang salah?”“Benar-benar tidak punya sopan santun,” kata Ardhan, ia menggelengkan kepalanya pelan.“Makanya bantu kami, Pak,” pinta Jonas. Wajah anak muda itu memelas, ia berharap akan membantunya.Karena tak tega, Ardhan kemudian bertanya “Memangnya apa masalah kalian?”“Pak Moritz akan ditugaskan untuk bekerja diluar, Pak. Sedangkan aku akan dipindah ke divisi lain,” jelas Jonas. Ardhan tampak berpikir setelah mendengarkan hal itu.“Tidak usah tanya apa penyebabnya,” larang Moritz. “Terpenting sekarang bantu aku bicara dengan Pak Bobby.”“Ka