Masih dengan napas yang terengah Akram menghampiri. "Jangan dekati dia!" desis Akram sembari menahan lengan seorang pria. Pria yang dicegahnya tersenyum sinis, begitu juga rekannya. Tatapan menuntut yang dilayangkan Akram tidak surut. Namun kedua pria yang berpenampilan mirip preman pasar itu justru balik mendorong bahunya. "Urusi urusanmu, Bung! Jangan ganggu kami!" desis pria yang bertubuh gempal. "Harusnya saya yang bilang seperti itu. Kalian berdua berniat buruk sama istri saya. Apa kalian berniat ingin menyopet karena dia duduk sendirian di sini?" tebak Akram melirik Arum untuk menutupi kebohongannya. "Istri? Hahaha... jangan sok jadi pahlawan!" sentak pria yang satunya lagi sembari masih terkekeh memperhatikan penampilan Akram. Pria yang terlihat hampir setengah abad itu memindai pakaian dan barang-barang yang dikenakan Akram dan tahu jika semua itu barang bermerek. "Saya ke sini mau jemput dia," balas Akram tak gentar. Jangan harap dirinya takut dengan ancaman basi keduanya
Akram Hazami Ardanuansyah membuat kesalahan dengan memporak-porandakan hidupnya. Menawarkan pernikahan yang tak diawali cinta tapi kesalahan. Pria dengan mata setajam tatapan elang itu meminta kesempatan padanya. Bukan dengan bujuk rayu melainkan permintaan yang terdengar begitu realistis. Arum nyaris saja goyah dan hampir mengangguk kala mendengar permohonan maaf yang entah mengapa begitu tulus di rungunya. Penyesalan Akram begitu nyata di mata dan telinga menyapa indranya. Haruskah ia menerima tawaran itu demi menutup aibnya? Bisakah ia hidup dengan pria yang selalu mengingatkannya pada dosa, sakit dan malu? Terlebih memikirkan penolakan keluarga Akram terhadap dirinya membuat nyalinya ciut. Baru membayangkannya saja sudah menyedihkan. Bagaimana jika sampai dirinya dihina habis-habisan? Ingin rasanya berteriak bahwa hatinya sudah lelah untuk disakiti. Enggan baginya mengundang masalah dan menambah beban hidupnya. Cobaan hidupnya seakan tidak ada habisnya sejak ayahnya tiada. Warn
Tok tok tok!! Akram mengangkat paper bag hingga menutupi wajahnya. Bukan karena dirinya berniat usil, tapi ragu Arum akan membukakan pintu jika langsung melihat wajahnya dari celah pintu. Terdengar suara Arum yang bertanya 'siapa?' namun tentu saja tidak ia jawab. Sesuai saran dari Riswan, ia sudah membeli beberapa menu dari resto ONE-YAN. Sebenarnya Akram juga penasaran bagaimana cara sepupunya tahu jika Arum sedang mengidam coto makassar dari resto tersebut? Tapi ia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaga hanya untuk memikirkan hal itu. Pada dasarnya, dirinyalah yang sudah diuntungkan jika benar Arum sedang ngidam menu yang satu ini. Semangatnya menggebu, bahagia seperti menang undian. Kira-kira seperti itulah gambaran yang dirasakannya karena bisa mengabulkan keinginan dari wanitanya dan juga anaknya. Mungkin kebahagiaan seperti ini yang dirasakan oleh para calon ayah lain di luar sana. Cukup jelas suara grendel pintu dan suara kunci yang diputar beberapa kali membuat detak ja
Harus Akram akui jika Arum adalah spesies wanita paling langka yang pernah ditemuinya. Keras kepala Arum melebihi dugaannya. Jawaban wanita itu membuatnya bungkam. Tuhan benar-benar menghukumnya dengan begitu berat. Meski wanita itu mengatakan 'ya atau tidak' diakhir perdebatan mereka tadi, tetap saja Akram tidak diberi pilihan selain menyetujui pilihan Arum. Disaat wanita lain akan mengemis dan memohon agar diberi pertanggungjawaban, bahkan ada yang rela menjadi rendahan dengan berbagai trik kebohongannya. Tapi Arum justru memilih untuk menghindarinya. Sepertinya Arum benar-benar jijik padanya. Suara debur ombak menyapa pembatas pantai, seolah jadi penghibur disaat Akram hanya bisa bergeming. Memikirkan hidupnya selama 28 tahun ia bernapas tidak ada bedanya selembar kertas yang di atasnya hanya ada coretan. Penuh dengan kata dan kalimat tanpa makna yang berarti. Saat seperti ini ia benar-benar merindukan almarhum adiknya, Firman. Benar yang dikatakan adiknya, hanya dari luar saja d
Ardan mencoba berpegang pada sandaran sofa. Ucapan keponakannya barusan membuat hampir semua sendinya tidak bekerja. Kedua kakinya seakan tidak bisa digerakkan. Kepalanya mendadak pusing dan matanya berembun. Haslan memegangi adik iparnya dan membantunya duduk kembali di sampingnya. Sementara Latief kembali menghampiri putranya untuk memastikan ucapannya tadi. "Kamu yakin?" tanya Latief dan Riswan mengangguk sembari mengulurkan ponselnya. Matanya yang dibingkai kacamata itu membelalak melihat foto-foto di ponsel putranya. Menoleh pada adiknya yang mendongak minta penjelasan, ia beranjak dan ikut duduk di sofa. Sekarang Ardan duduk diapit oleh Latief dan Haslan. "Ya Allah!" seru Ardan tapi Haslan langsung membekap mulut adik iparnya itu sembari melirik pintu ruang kerja tempat mereka berdiskusi. Jangan sampai para wanita tahu dan histeris. "Kamu sudah lapor polisi, Wan?" tanya Haslan. "Belum Om. Akram sendiri yang minta agar masalah itu tidak diperpanjang. Menurutnya itu hanya bega
Suara khas pintu apartemen yang terbuka mengalihkan fokus Akram yang buru-buru menutup percakapan groupnya. Tubuhnya lekas dibaringkan di sofa. Kini fokusnya beralih pada langkah kaki yang diyakini pemilik apartemen tempatnya menumpang menginap malam ini. "Assalamualaikum. Tidak perlu pura-pura Akram, saya tahu kamu belum tidur," sapa pemilik suara yang terdengar bersahaja. Akram terkekeh, menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke meja makan. "Bang Rian juga mau tidur di sini? Diusir sama istri?" tanya Akram yang kembali menoleh ke arah pintu. Seolah tahu yang sedang dipikirkan oleh sepupu sahabatnya itu, Rian berujar, "Riswan masih di jalan. Saya ke sini mau bahas masalah kamu." "Ma-masalah aku?" Akram mengernyit lalu beranjak menghampiri Rian. Akram sangat tahu kepribadian polisi yang satu ini tidak suka bercanda. "Masalah mobil kamu yang dirusak pihak tidak bertanggung jawab. Saya sudah mendapatkan pelakunya, tapi belum mendapatkan motif terkait kamu secara pribadi. Dugaan saya, mere
Dua hari berlalu, Riswan kembali pusing. Semalam ia berniat membahas sesuatu dengan Akram, tapi sepupunya itu malah tidak ada di kontrakannya. Kemarin sore Akram masih di kantor dan malamnya tidak bisa dihubungi. Jika saja stok sabarnya menipis, mungkin Riswan sudah membakar kontrakan itu agar Akram sendiri yang datang padanya. Suara motor yang berhenti di depan rumah mengalihkan pikiran Riswan sehingga ia bergegas keluar. "Kau dari mana?!" Pertanyaan itu membuat telinga Akram sakit mendengar suara teriakan sepupunya ketika helm di kepalanya baru saja lepas. "Kenapa kau suka sekali berteriak seperti orang tua saja." Bukannya menjawab pertanyaan Riswan, Akram justru mencibirnya kemudian berlalu begitu saja. Riswan memicing mata dan mengikuti langkah Akram ke dalam rumah. Sebelum melewati pintu rumah, ia menoyor bahu Akram cukup kuat sampai hampir terjatuh. Riswan mengulum senyum kemenangan ketika mendengar suara kekesalan adik sepupunya itu. "Kau mau ke mana?" Pertanyaan kedua Riswa
Ardito termenung memperhatikan dedaunan yang beterbangan. Terkadang karena hembusan angin, kadang pula karena laju kendaraan yang melintas. Lembaran-lembaran kuning kecoklatan itu terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Pemandangan di depan gerbang sekolahnya ini mengingatkannya pada Arum yang dulu akan menjemputnya sepulang sekolah TK. Begitu juga saat ia duduk di bangku SD, Randi atau mantan istri kakak sepupunya akan menjemputnya. Sedangkan dua anak pamannya yang lain tidak pernah sekalipun melakukannya karena mereka tinggal di Kalimantan. Berkumpul hanya saat mereka merayakan lebaran saja. Jadwal pulang hari ini memang lebih awal dari biasanya. Ujian semester baru saja berakhir dan Ardito merasa lega. Satu beban pikirannya belakangan ini kini sudah lepas dan menunggu hasilnya saja. Kini tersisa sedikit di antara ratusan siswa yang tadinya bergerombol di depan pagar. Satu persatu mereka sudah pulang ke rumah. Rumah, satu kata yang terdengar nyaman tapi tidak untuk Ardito. Setia