Akram Hazami ini suka bikin cemas.... Tapi kalian jangan cemas, aku update 2x sehari
Ardan mencoba berpegang pada sandaran sofa. Ucapan keponakannya barusan membuat hampir semua sendinya tidak bekerja. Kedua kakinya seakan tidak bisa digerakkan. Kepalanya mendadak pusing dan matanya berembun. Haslan memegangi adik iparnya dan membantunya duduk kembali di sampingnya. Sementara Latief kembali menghampiri putranya untuk memastikan ucapannya tadi. "Kamu yakin?" tanya Latief dan Riswan mengangguk sembari mengulurkan ponselnya. Matanya yang dibingkai kacamata itu membelalak melihat foto-foto di ponsel putranya. Menoleh pada adiknya yang mendongak minta penjelasan, ia beranjak dan ikut duduk di sofa. Sekarang Ardan duduk diapit oleh Latief dan Haslan. "Ya Allah!" seru Ardan tapi Haslan langsung membekap mulut adik iparnya itu sembari melirik pintu ruang kerja tempat mereka berdiskusi. Jangan sampai para wanita tahu dan histeris. "Kamu sudah lapor polisi, Wan?" tanya Haslan. "Belum Om. Akram sendiri yang minta agar masalah itu tidak diperpanjang. Menurutnya itu hanya bega
Suara khas pintu apartemen yang terbuka mengalihkan fokus Akram yang buru-buru menutup percakapan groupnya. Tubuhnya lekas dibaringkan di sofa. Kini fokusnya beralih pada langkah kaki yang diyakini pemilik apartemen tempatnya menumpang menginap malam ini. "Assalamualaikum. Tidak perlu pura-pura Akram, saya tahu kamu belum tidur," sapa pemilik suara yang terdengar bersahaja. Akram terkekeh, menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke meja makan. "Bang Rian juga mau tidur di sini? Diusir sama istri?" tanya Akram yang kembali menoleh ke arah pintu. Seolah tahu yang sedang dipikirkan oleh sepupu sahabatnya itu, Rian berujar, "Riswan masih di jalan. Saya ke sini mau bahas masalah kamu." "Ma-masalah aku?" Akram mengernyit lalu beranjak menghampiri Rian. Akram sangat tahu kepribadian polisi yang satu ini tidak suka bercanda. "Masalah mobil kamu yang dirusak pihak tidak bertanggung jawab. Saya sudah mendapatkan pelakunya, tapi belum mendapatkan motif terkait kamu secara pribadi. Dugaan saya, mere
Dua hari berlalu, Riswan kembali pusing. Semalam ia berniat membahas sesuatu dengan Akram, tapi sepupunya itu malah tidak ada di kontrakannya. Kemarin sore Akram masih di kantor dan malamnya tidak bisa dihubungi. Jika saja stok sabarnya menipis, mungkin Riswan sudah membakar kontrakan itu agar Akram sendiri yang datang padanya. Suara motor yang berhenti di depan rumah mengalihkan pikiran Riswan sehingga ia bergegas keluar. "Kau dari mana?!" Pertanyaan itu membuat telinga Akram sakit mendengar suara teriakan sepupunya ketika helm di kepalanya baru saja lepas. "Kenapa kau suka sekali berteriak seperti orang tua saja." Bukannya menjawab pertanyaan Riswan, Akram justru mencibirnya kemudian berlalu begitu saja. Riswan memicing mata dan mengikuti langkah Akram ke dalam rumah. Sebelum melewati pintu rumah, ia menoyor bahu Akram cukup kuat sampai hampir terjatuh. Riswan mengulum senyum kemenangan ketika mendengar suara kekesalan adik sepupunya itu. "Kau mau ke mana?" Pertanyaan kedua Riswa
Ardito termenung memperhatikan dedaunan yang beterbangan. Terkadang karena hembusan angin, kadang pula karena laju kendaraan yang melintas. Lembaran-lembaran kuning kecoklatan itu terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Pemandangan di depan gerbang sekolahnya ini mengingatkannya pada Arum yang dulu akan menjemputnya sepulang sekolah TK. Begitu juga saat ia duduk di bangku SD, Randi atau mantan istri kakak sepupunya akan menjemputnya. Sedangkan dua anak pamannya yang lain tidak pernah sekalipun melakukannya karena mereka tinggal di Kalimantan. Berkumpul hanya saat mereka merayakan lebaran saja. Jadwal pulang hari ini memang lebih awal dari biasanya. Ujian semester baru saja berakhir dan Ardito merasa lega. Satu beban pikirannya belakangan ini kini sudah lepas dan menunggu hasilnya saja. Kini tersisa sedikit di antara ratusan siswa yang tadinya bergerombol di depan pagar. Satu persatu mereka sudah pulang ke rumah. Rumah, satu kata yang terdengar nyaman tapi tidak untuk Ardito. Setia
Akram masih terdiam setelah mendengarkan percakapan Arum dan Safwan dari speaker ponsel pria itu. Semua curhatan Arum turut didengarnya sampai berkali-kali ia mengusap air mata. Gadis yang sudah ia nodai itu masih saja memikirkan orang lain selain dirinya sendiri dan janinnya. Kini Akram benar-benar memahami maksud Arum yang mengatakan jangan sampai ada yang terluka. Arum menghawatirkan kedua orang tuanya dan juga keluarga besarnya yang pasti akan malu. Terlebih saat ini papanya adalah salah satu calon walikota dalam pilkada kali ini. Wanita itu tidak ingin egois meski itu untuk anaknya sendiri. Safwan kembali menatap pria yang duduk di hadapannya setelah mengirimkan pesan pada seseorang. "Ini alasanku minta kamu datang ke ruanganku karena di sini kita bisa bicara dengan bebas tanpa takut didengar yang lain. Aku melakukan semua ini demi bundaku juga Akram. Arum adalah karyawan kesayangannya, asisten yang sudah lama bekerja dengan bundaku dan sudah dianggap seperti putri sendiri. Kes
"Sampai saat ini, dia punya nilai plus di mata aku, Pa. Aku yakin Kak Akram sama Kak Riswan juga akan bisa melihat itu dan membolehkan dia jadi pacar aku. Saat aku kasih tahu dia kalau mama niat jodohin aku sama anak temannya, dia langsung jawab kalau dia siap bersaing," kata Adina sembari menoleh ke belakang. Takut tiba-tiba mamanya muncul, gadis itu kemudian kembali menoleh pada papanya dengan berbisik, "Makanya dia mau penuhi tantangan Kak Akram, Kak Riswan sama Alyana dulu. Katanya, dapetin Adina itu kayak ikut pilkada. Dia butuh dukungan tim sukses dari partai utama." Tak ayal ucapan putrinya membuat Ardan tertawa lepas. Adina yang bersandar memeluknya juga ikut bergetar karena tubuh papanya sedikit terguncang. Terlebih ketika Adina kembali berbisik jika gebetannya itu punya postur tubuh tinggi atletis seperti model yang lebih tinggi dari kedua kakaknya. Sangat memenuhi kriterianya yang ingin punya pasangan dengan tubuh tinggi. "Papa tahu? Dia juga orangnya humoris, dan aku yak
Acara pernikahan Akram dan Arum berlangsung khidmat dengan wali hakim sebagai wali Arum. Dari pihak keluarganya tidak ada yang bisa jadi wali karena Ardito belum cukup usia sebagai wali nikah. Safwan sebagai saksi pernikahan dari pihak Arum dan Riswan sebagai saksi dari pihak Akram. Awalnya sempat ada sanggahan Arum diawal ijab qabul kala penghulu menyebutkan mahar untuknya. Safwan dan Tania hanya terkikik geli melihat perdebatan calon pengantin itu. Sementara Riswan geleng-geleng kepala membayangkan akan seperti apa rumah tangga adik sepupunya itu jika saat ingin ijab qabul saja mereka berdebat seperti ini. Arum kesal karena Akram bukannya membeli cincin sederhana pilihannya sebagai mahar. Akan tetapi pria itu malah memberikan satu set perhiasan mahal seberat 35 gr dan sebidang tanah. Setelah mendengar ucapan Delia yang membujuknya dengan penuh kelembutan, akhirnya Arum mengalah dan pasrah. Arum hanya tidak ingin jika dianggap meminta mahar mahal pada Akram. Ia sama sekali tidak me
"Aku harus mulai dari mana? Daftarnya cukup banyak. Ah, tanya Adina saja," ujar Akram merogoh sakunya dan menekan tombol nomor 2 dan panggilan terhubung pada adiknya namun sayang tidak dijawab. Panggilan diulangi kembali oleh Akram, tapi kali ini panggilan di tombol nomor 3 dan kali ini panggilan dijawab Alyana. "Halo!" sapa Alyana ketus yang terlihat sibuk dalam panggilan videonya. Dari sudut pandang yang dilihat Akram, ponsel itu diletakkan di atas meja makan rumahnya. Gadis itu sedang sibuk menata belanjaan ke dalam kulkas. "Halo juga Nona," balas Akram menahan senyum. Adiknya itu masih kesal karena tidak mengizinkan mereka berdua turut hadir dalam acara pernikahannya. Akram tidak ingin mengambil resiko. Biarlah mereka berdua marah, toh keduanya tidak bisa marah lama padanya. "Assalamualaikum Dek, kok manyun?" "Wa alaikum salam, situ pikun atau bloon? Kenapa masih tanya? Pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa?" Lagi-lagi Alyana ketus dengan sindirannya. "Mungkin amnesia retrog