Suara berisik jangkrik yang saling bersahutan seakan menjadi alunan harmoni nan sedap didengar dalam kesunyian malam. Pucuk-pucuk cemara meliuk-liuk karena terkena hempasan angin. Hawa dingin mulai membersamai. Jaket tebal yang melekat pada tubuh seakan tak ada artinya sama sekali, sebab angin malam masih bisa menembusnya. "Gila dingin banget. Nggak kuat gue lama-lama di luar tenda" keluh Sasa. Tangan polos tanpa sarung tangan itu seakan membeku."Buat api unggun aja yuk biar nggak terlalu dingin. Sekalian bakar jagung manis" usul Bima. "Kita lupa nggak bawa jagung, Bim. Kayu bakar aja juga lupa nggak kebeli" sahut Sasa. "Beli di sini aja kalau gitu. Di bawah bukit ini ada yang jual. Sekalian beli kayu bakar. Setuju nggak?" tanya Bima meminta pendapat teman-temannya. Mereka semua mengangguk setuju. Bima kembali ke tenda mengambil senter. Dia akan berjalan ke bawah bukit membeli jagung manis dan kayu bakar. Arfan menyusul langkah kaki Bima yang hendak berlalu. "Gue temenin, Bim."
Hawa dingin membuat dua insan meringkuk di dalam sleeping bag. Tangan Sena terjulur keluar. Direngkuhnya tubuh mungil yang berada di dalam kantong itu. "Masih dingin?" tanyanya."Hmm. Lumayan.""Sini aku peluk!"Adinda merapatkan tubuhnya. Menempelkan wajahnya pada dada bidang suaminya. Kini tidak ada lagi sekat diantara mereka berdua untuk saling berbagi kehangatan. "Sayang..." Panggilan itu mengisyaratkan pada Adinda untuk memperhatikan si pemilik suara. Adinda mendongak. Menatap wajah tampan suaminya. Jemarinya terulur mengusap rahang Sena yang kini ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. "Hmm?"Digengamnya tangan Adinda. Dikecupnya punggung tangan itu secara dalam. "Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum.Adinda mengerutkan keningnya. "Untuk?" tanyanya. "Selalu ada di sisiku.""Sudah kewajibanku untuk selalu menemanimu dalam suka dan duka."Pandangannya menerawang jauh. Akhir-akhir ini pikirannya memang sedang ruwet. Banyak sekali perso
Akhir pekan telah berlalu. Kini waktunya kembali ke aktivitas semula. Tugas kuliah dan pekerjaan sudah menanti untuk dikerjakannya. Sena mulai membiasakan diri bekerja secara teratur. Bukankah segala sesuatu harus ditata sedemikian rupa agar tetap berjalan seimbang? Termasuk dalam hal pekerjaan.Ada banyak hal yang harus dibenahi. Menurut Sena sistem kerja dari Manajer sebelumnya tidak sesuai dengan SOP perusahaan.Sena menghembuskan napasnya berat. Agak sedikit dongkol rupanya. Hal sekecil ini saja tidak diperhatikan.Lihatlah! Dokumen-dokumen lama yang sudah tidak terpakai teronggok begitu saja. Memenuhi seisi rak. Parahnya dibiarkan sampai berdebu dan menjadi sarang laba-laba. Dipisahkannya dokumen-dokumen lama. Dia letakkan di atas lantai agar nanti segera dipindahkan ke dalam gudang. Belum selesai pekerjaan bersih-bersihnya, ketukan pada pintu menarik atensinya. "Masuk!""Permisi, Pak. Saya mau mengantarkan minuman." Office boy membawa nampan berisi teh hangat dan air putih.
"Mau direvisi sepuluh kali pun gue rasa nggak bakalan sempurna di mata itu dosen," keluh Adinda pada Sasa. "Elo minta jadwal bimbingan tambahan aja coba, Din. Biar bisa diskusi gitu sewaktu bimbingan. Nggak cuma main corat-coret revisian lo aja," usul Sasa. "Duh, mana berani gue ngajuin bimbingan tambahan. Belum apa-apa udah dimaki-maki duluan kali."Drrrttt Drrrttt"Ya, hallo... Siapa ini?""........""Baik, saya akan segera ke sana."Netranya memerah, hidungnya sudah kembang kempis sedari menerima kabar itu, apalagi kini pikirannya jauh melayang.Sasa menepuk pundaknya. "Din...""Sa..." Adinda memeluk Sasa. Meluapkan segala yang bergejolak di hatinya. "Tenang dulu, Din. Sebenarnya ada apa?" Sasa mengusap lembut punggung temannya.Adinda menggigit bibirnya. "Sena, Sa... Sena...""Iya, Sena kenapa? Coba jelasin sama gue pelan-pelan."Adinda menggelengkan kepalanya. Tak terasa netra yang sedari tadi sudah memerah kini menjatuhkan bulir bening hingga ke pipi. "Jangan banyak tanya, S
"Sa, istri gue kenapa?" tanya Sena begitu masuk ke dalam rumahnya. "Duduk dulu, Sen!" Sasa menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya. Sena menjatuhkan tubuhnya di sebelah Sasa. Sasa menceritakan apa yang telah terjadi. "Tadi Dinda dapat telepon dari seseorang kalau elo selingkuh di taman kota. Kita berdua akhirnya ke sana buat buktiin..." Cerita Sasa masih berlanjut sebenarnya, tapi Sena sudah memotong ucapannya. "Ya ampun, Sa. Gue nggak selingkuh. Dari tadi di kantor," jelas Sena. "Iya, Sen. Gue percaya sama elo kok. Dengerin gue dulu ya," pinta Sasa. Sena mengangguk. Mendengarkan penuturan Sasa dengan seksama. "Gue rasa Dinda udah dijebak. Pak Gandhi yang rencanain ini semua biar Dinda ada di taman kota itu. Sewaktu kita mau pergi dari taman, tiba-tiba Pak Gandhi samperin kita. Dia lamar Dinda. Dia minta Dinda buat jadi istri keduanya.""Gila!" Amarahnya serasa berada di ubun-ubun. Sena mengepalkan kedua tangannya. Buku-buku jarinya sampai memutih akibat terlalu kuatnya kep
Seperti yang mereka janjikan tadi, sehabis pulang dari kampus Sena menemui teman-temannya di basecamp. "Arfan mana?" tanya Sena. Dia baru saja sampai basecamp. "Belum datang" jawab Bima. Rizal dan Bima sedang bermain catur. Sedangkan Aldo tengah memainkan game di ponselnya. Sena sendiri lebih memilih tiduran di sofa. Pikirannya sedang ruwet. Masalah pekerjaan, belum lagi rumah tangganya yang selalu ada saja penganggunya. Aldo, Bima, dan Rizal belum menyadari jika temannya yang satu ini sedang ruwet. Mereka hanya mengira jika Sena hanya kelelahan saja. Jadi dibiarkan begitu saja. Arfan baru saja datang. Dia menyadari temannya yang satu itu tidak tertidur, melainkan hanya berbaring di sofa sembari menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Arfan menepuk pundaknya. "Ada masalah apa, Sen?" Lamunan Sena buyar karenanya. "Oh, lo udah datang, Fan?" Sena balik bertanya pada Arfan."Heh, lo belum jawab pertanyaan gue, kampret." Arfan memukul lengan Sena. Sena yang semula berbaring
Seperti yang telah mereka rencanakan sebelumnya bahwa hari ini akan memberikan sedikit pelajaran untuk Gandhi. Entah akan diberikan pelajaran seperti apa nanti, kita lihat saja! Pukul sembilan kurang mereka sudah menunggu Gandhi di jalan yang akan dia lewati. Kepulan asap rokok menemani penantian mereka. Kecuali Sena, dia memang tidak merokok. "Kalau bukan karena persahabatan ini, gue ogah nungguin manusia laknat satu itu," ujar Aldo sembari mengepulkan asap rokoknya di udara. "Aduh, kaki gue digigitin nyamuk," keluh Rizal sembari menaboki kakinya sendiri. "Suruh siapa nggak pakai celana panjang," sahut Bima menimpali. "Celana panjang gue belum dicuci. Maklum lah anak kos banyak malasnya.""Makannya nikah biar ada yang cuciin baju sama celana lo," celetuk ArfanSena memberikan tabokan pada bahu Arfan. "Heh, lo pikir istri lo cuma buat dijadiin tukang cuci, hah? Kampret emang."Kurang lebih setengah jam mereka menunggu. Mangsa yang ditunggu-tunggu pun sudah terlihat dari kejauhan
Sebelumnya Sena telah memikirkan matang-matang masalah ini. Dia telah mengetahui jika di tempat ini tidak ada satupun sinyal, dikarenakan tempat ini jauh dari pemukiman penduduk dan sepanjang jalan hanya ada pohon-pohon pisang dan ladang milik warga. Mungkin itu sebabnya tidak ada sinyal di tempat ini. Sena juga memilih tempat ini untuk mengepung Gandhi karena tidak ada satu orangpun yang akan melintasi jalanan ini jika sudah di atas pukul sembilan malam. TapTapTapPerlahan langkahnya terus maju ke depan, mendekati Gandhi. Netranya menatap dengan tajam. Bagaikan singa yang akan menerkam mangsanya. Jantungnya bertalu-talu. Sekujur tubuhnya merasakan getaran yang hebat. Gandhi ketakutan luar biasa. Ah, jangan sampai pipis di celana deh. Akan sangat memalukan bukan? Cengkeraman Sena pada kerah baju Gandhi kali ini lebih kuat daripada sebelumnya. Leher Gandhi serasa dicekik secara tidak langsung. Sena mati-matian menahan emosinya agar tidak meledak. Dia mengatur napasnya yang membur