Di sinilah aku sekarang. Datang dengan pakaian panjang bahkan menggunakan selendang hitam bersama Kimmi. Kami menghadiri pemakaman Awan yang tewas karena kecelakaan mobil tunggal. Aku bagaimana? Baik-baik saja karena secara mendadak pindah di kursi belakang. Aku hanya lecet sedikit di bagian kepala. Terlihat kedua orang tua Awan menangis ketika liang kubur mulai ditutupi tanah. “Mana masih muda,” ujar Kimmi yang tak tahan panas. Kami menggunakan payung dan kaca mata demi menghalau sinar matahari yang menyengat. “Sama seperti Bang Angga. Mati nggak kenal usia,” sahutku mengingat dia yang sudah tiada juga. Kami menunggu sampai prosesi pemakaman selesai. Terlihat bunga ditaburi di atas gundukan tanah setelah batu nisan dipasangkan. Awan meninggal memasuki usianya di angka tiga puluh tahun lebih.Kami berangsur pulang. Aku dan Kimmi jalan kaki bersama dan menunggu grab datang menjemput. Tak ada rasa sedihku sama sekali. Justru aku seperti ketagihan ingin mencari tumbal lagi. “Dipikir
“Cantik, nggak, kalung baru aku?” Sengaja aku pamer sama Kimmi di kantor. Dia harus tahu kalau Om Andi masih perhatian samaku. “Hmm, biasa aja, sih, samaku. Beli tunai apa kredit?” “Enak aja, ini dikasih Om Andi.” Aku menyimpan kembali kalung di balik syal. Takut orang lain lihat dan merasa aku kaya lalu pinjam uang. “Uiih, serius kayaknya ini. Jadi Awan cuman selingan aja daripada kamu gabut. Sedangkan Angga jalan pembuka biar kamu bisa kenalan sama ayahnya yang tajir melintir itu.” Agak pedes apa kata Kimmi tapi yang dia bilang benar adanya kalau dipikir-pikir lagi. Misalnya nggak meninggal, aku sudah pasti menikah dengan Bang Angga. Bahkan sampai sekarang aku nggak tahu apa penyebab pacarku dulu meninggal. Jam makan siang masuk, aku order pizza karena bosan sekali dengan makan nasi. Saat menerima pesanan ternyata dia juga yang mengantar. Lelaki itu memiliki lesung di bagian pipi. Kalau dia tersenyum sangat manis sekali. Aku membayar sengaja dilebihkan. Biar saja, nggak apa-ap
Kami berdua duduk di pedestrian dengan sinar lampu yang remang-remang. Ilham membawakanku potongan buah segar yang dibuat salad. Hmm, dingin-dingin disuruh makan buah. Yah, daripada tidak ada sama sekali, kan. Kami masih sama-sama diam dan menikmati pemandangan yang disekeliling penginapannya amat sangat dipenuhi cahaya kunang-kunang.“Katanya kunang-kunang asalnya dari kuku mayat, ya, Mbak.” Sepertinya Ilham tak tahu cara berbicara dengan perempuan. Kukut mayat dibicarakan. “Nggak masuk akal. Binatang ya binatang. Mana ada dari kuku mayat. Emang dari mana keluarnya? Kuku, kan, ikutan dikubur,” bantahku sesegera mungkin. Malas banget ngomongin hantu jam segini. Sudahlah hidupku benar-benar dihantui para hantu. “Nggak semua hal di dunia ini kadang bisa dinalar pakai akal, Mbak. Seperti pertemuan kita beberapa kali. Nggak masuk akal, kan?” Oh dia sudah mulai berbicara serius. Baik, aku ladeni saja. “Masuk akal. Mbak beberapa kali pesan pizza dan kamu jadi pekerja katering. Jadi ngga
Liburan tipis-tipis telah selesai. Aku sudah bersiap kerja menggunakan jasa grab seperti biasa. Ilham tak menghubungiku tadi malam. Padahal kami rencana nonton malam ini. Awas saja kalau dia mangkir, akan aku kejar sampai dia menjadi milikku. Bukan, tepatnya menjadi milik si selendang merah. Sampai di kantor aku melanjutkan pekerjaan seperti biasa. Tapi … tunggu dulu, ada pemandangan aneh yang aku lihat. Bagian HRD yang terkenal killer salah satunya sedang ngobrol santai sama Kimmi. Hah, yang bener aja? Bukannya bapak itu sudah nikah, ya. Apa Kimmi berencana jadi pelakor? Atau aku saja yang nggak bisa berpikir baik-baik. Tapi dari kemarin, loh, mereka akrabnya. Istrinya juga santai banget. “Kimmi, kok, makin lengket kayak perangko,” tegurku padanya ketika Kimmi baru duduk. “Apa, sih, biasa aja, sih. Lagian emang kenapa? Selingan, kan, biasa. Kayak kamu sama Oom tua itu siapa namanya,” cibir Kimmi. “Om Andi. Hubungan kami bukan selingan. Dia udah ajak aku nikah tapi aku yang belum
Sejenak aku sudah bisa tenang setelah meminta Om Andi bersabar akan keputusanku untuk ke sana atau tidak. Beliau menyanggupi dan memberi waktu kurang lebih sebulan. Ah, 30 hari itu jalannya cepat sekali dan tak terasa sudah di depan mata saja. Oke, aku skip dulu masalah Om Andi. Nanti aku bisa menenangkan dengan cara lain. Sekarang yang harus aku lakukan yaitu dandan cantik dan terlihat menawan di hadapan Ilham. Anak kos kere yang akan menjadi targetku. Jujur aku sudah malas. Tapi kalau aku tak bergerak, bisa-bisa aku yang diterkam si selendang merah. Ya, sudah setelah yang ini aku tak mau lagi ikut campur. Aku ingin hidup tenang seperti Indah yang dulu. Aku menggunakan celana jeans dan kemeja warna merah maroon. Tak lupa selendang aku kenakan di leher sebagai scraff. Parfum hampir sebotol aku gunakan. Pikiranku sedang tak baik-baik saja pasca ancaman dari Om Andi. Aku jadi seperti ani-ani kurang kasih sayang dan takut dilabrak istri sah. Masih mending Kimmi yang berani main api t
“Mbak tahu apa yang ada di dalam kepala kamu, Ham. Namanya juga lelaki,” ucapku meledeknya. Ilham hanya diam. Adegan romantis cenderung dewasa telah selesai diputar di film. “Tapi, Mbak nggak mau di sini,” ujarku lagi. “Tapi saya nggak punya uang, Mbak.” “Mbak nggak perlu bayaran. Kita cuman perlu satu malam bersama saja. Tapi bukannya khodam kamu nanti pergi atau mengganggu kamu, Ham.” “Bisa diatur, Mbak. Habis gimana, saya penasaran dengan rasanya.” Jujur sekali anak muda ini. Tebakanku dia masih perjakan karena sibuk bekerja sana sini. Aku jadi ingat dulu waktu menodai Bang Angga. Ya, aku yang memulainya duluan, karena dia terlalu sombong untuk meminta padaku. Usai film diputar, aku memesan grab lagi, kali ini aku membawa Ilham ke sebuah hotel yang dijamin aman dari penggerebekan. Kami masuk ke kamar dan aku sudah tahu dia mau apa. Hanya saja ketika Ilham mulai membuka bajunya ketika aku duduk santai menunggu dia memulai terlebih dahulu. Tiba-tiba saja anak ingusan ini memega
Memohon Aku jalan kaki dengan rasa lemas dan mual luar biasa setelah mendengar kabar kematian Ilham. Aku yakin pihak hotel mencoba meneleponku, tapi mungkin … ah tak tahulah, bukan urusanku lagi. Aku berhenti di warung sarapan dan meminta mereka menyediakan semangkuk bubur kacang hijau yang hangat. Ya, aku butuh makanan itu untuk menguatkan tubuh. Sambil menyesap sarapan sambil aku berpikir siapa lagi yang akan menjadi korban. Tak bosan aku ulang mengirim pesan pada Om Andi agar dia tak lagi memanfaatkank. Beliau masih berpura-pura tak tahu dan aku harus terus mencoba. [Tolong, Om, Indah mohon.] pintaku benar-benar memelas. Lalu kami diam sejenak. Aku tak berniat kembali ke kantor. Rasanya aku ingin resign dan kabur sangat jauh entah ke mana. [Baik, akan Om kabulkan.] Pesan dari Om Andi membuatku terdiam. Ini beneran atau cuman main-main? Oke kita lihat saja nanti. Janji barusan membuatku sedikit bersemangat. Dengan langkah pasti aku kembali ke kantor walau sudah sangat telat d
Sejak mimpi itu aku tak bisa tak memikirkan Om Andi. Luka-luka di sekujur tubuhnya nampak serius. Dan sudah tiga hari beliau tidak bisa dihubungi. Aku bahkan tak bisa tidur tenang karena tiada kabar darinya. Pun di kantor. Aku sampai kena tegur dengan atasan kami karena pekerjaanku tidak fokus. Aku bahkan tak peduli dengan ancaman pemecatan. Ya, bagus kalau dipecat, aku bisa pulang ke kampung Om Andi. Nyatanya tak mudah, karena bos menekanku untuk resign saja. Alasannya apa? Agar aku membayar uang denda hampir 30 juta. Aku cek saldoku di rekening. Sisa uang 50 juta pemberina Om Andi masih banyak ternyata. Hanya saja apakah ini keputusan yang benar. “Ngelamun aja?” Kimmi menyapaku. Tiga hari ini aku tak peduli padanya. “Hmm, pengen resign.” Aku terus terang. “Terus, pergi ke kampung Kakek Andi?” “Ya, itu lebih baik daripada kamu jadi selingkuhan suami orang.” “Oke, itu terserah kamu aja. Nyesel jangan nangis, ya.” Lebih baik Kimmi mengurus dirinya sendiri yang juga tidak beres.