Fajar menyingsing bersamaan harapanku yang kembali terbit. Waktu tunggu sudah berujung dengan senyuman kami, aku dan ibu. Tidak rela kami beranjak dari samping Raya yang masih mendapat pemeriksaan team medis. “Ingat ini siapa, kan?” tanya Dokter. “Ibu,” jawabnya dengan suara lemah, sesuai yang ditunjuk. Ibu langsung menghapus wajah kawatirnya dengan senyuman, sambil berucap, “Alhamdulillah. Syukurlah, Nduk. Kamu kembali pulih.” Aku mengerti kekawatiran ini. Katanya pernah ada kasus semacam ini, si pasien sadar tetapi ingatannya hilang. Hal ini karena sakitnya menyerang sistem syaraf. Tidak sabar, aku menunjukkan diri dengan menggeser perawat yang sudah memeriksa tekanan darah. “Aku ini siapa?” Sesaat sorot mata yang terlihat belum bertenaga itu menatapku. Pandangan kami di satu garis lurus. Akan tetapi kenapa dia tidak segera menjawab seperti pertanyaan sebelumnya? Bahkan sekarang dia mengernyit. “Bu Raya. Kalau ingat, tolong sebutkan namanya,” seru Pak Dokter seperti kekawatir
“Aku tidak mau pindah! Bagaimana pun bentuknya, itu rumahku dan aku nyaman di sana,” seru Raya membantah permintaanku.Memang apa yang salah kalau aku sebagai kekasihnya menyiapkan hunian yang lebih layak. Bukan berarti mewah, tapi cukup.Yah, minimal cukup menampung tiga pembantu, satu sopir, dan dua penjaga. Garase yang cukup untuk minimal tiga mobil. Bukan seperti sekarang, kalau aku ke rumahnya harus parkir di pinggir jalan. Itu pun harus mepet ke saluran air supaya cukup kalau ada kendaraan lain lewat.Untuk menyiapkan rumah yang menurutku ideal itu, bukan masalah besar untukku yang hanya sendiri dengan posisi sebagai CEO perusahaan global.Keinginanku tidak berlebihan, kan?“Raya, Sayang. Aku ingin kamu di tempat yang aman,” ucapku memberi alasan selain ‘cukup’ yang aku maksud. Kalau aku berterus terang, bisa jadi menyinggung perasaannya, dan malah bikin masalah jadi runyam.Dia justru mengembuskan napas panjang. Bukan tersenyum dan melonjak kegirangan, kemudian memelukku sambil
“Iya. Memang ini sementara,” ucap Alexander mengiyakan ucapanku yang tidak mau lama tinggal di tempat megah ini.Dia membuka pintu yang terhubung dengan taman, dan dia pun pergi menuju gasebo kecil di sana. Sedangkan aku, berkeliling kamar yang luaskan kali sekian dari kamarku yang lama.Ranjang kayu rustic dipadukan apik dengan kelambu putih transparan yang sesekali berkibar. Rak buku tinggi sampai langit-langit, menjadi pembatas dengan area kerja.Sebenarnya ini penataan yang aku suka. Meja tulis lebar lengkap dengan peralatan ‘tempur’ untuk menulis, menghadap tepat ke arah kolam ikan dimana Alex duduk di sana. Benar kata kekasihku, di tempat ini aku bisa mengumpulkan inspirasi.Jujur, aku merasa tidak nyaman berada di tempat yang berlebihan. Justru aku merasa ‘gerah’ dengan sesuatu yang kelewat mewah. Apapun itu. Mulai dari pakaian, perhiasan, dan hunian. Karenanya, tidak ada perhiasan gemerlap di tubuhku.Terserah orang lain menilaiku bukan orang berpunya dan tidak mau dekat, bahk
“Kamu bisa mengambil cuti panjang, Yak. Surat permohonan sudah disetujui pimpinan,” ucap Mbak Leni.Teman kerjaku ini datang saat jam istirahat siang. Dia menjenguk dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Katanya, walaupun aku di rumah ini kecukupan, yang membawa sahabat itu rasanya lebih nikmat.“Apa lagi dikupasin,” celetukku tadi sembari menyodorkan pisau.Sesekali memperkerjakan senior boleh, kan? Mumpung ada kesempatan. Makanya, kami ngobrol di gasebo kecil sambil makan buah apel bawaannya tadi.Aku yang tak henti mengunyah, menghentikan diri. Menatap dirinya dengan heran.“Memang siapa yang mengajukan cuti?”“Em …. Dari pimpinan mempunyai inisiatif setelah mengetahui tentang kasusmu.”“Kasusku?” tanyaku semakin tidak mengerti. “Memang aku punya kasus apa? Aku hanya sakit sedikit. Ini saja aku sudah sehat. Kamu lihat sendiri aku sekarang, kan?”Mbak Leni menaruh pisau buah. Keningnya berkerut seakan memikirkan sesuatu. Dia tidak kunjung menjawab, malah meneguk habis satu gelas es
“Yakin kamu menemani aku begadang?” tanyaku dengan memberi tatapan tidak percaya.Sudah dari beberapa hari yang lalu, kekasih brondongku ini mencecar pertanyaan tentang pengumuman hasil lomba menulis itu kapan. Pagi, siang, sore, pertanyaannya senada, dan jawabannya pun sama. “Menunggu balasan pesan dari Editor yang menunggu keputusan dari pusat.”Itu pun masih belum dipercayai dengan berbagai argumen dari sudut pandang CEO.Huft! Susah ngomong sama lelaki satu ini. Untungnya aku mendapat pesan dari Editor tepat saat makan siang dan orang yang menyebalkan ini datang untuk makan.[Pengumuman lomba menulis novel akan ditayangkan tepat jam 23.00] Pesan di layar ponsel.Tentu saja aku sambut dengan gembira. Lega karena apa yang aku lakukan berujung pada nanti malam, sekaligus terbebas dari tagihan si mas satu ini. Imbasnya, dia ngotot tidak mau pulang sampai pengumuman dilihat dengan mata kepalanya sendiri.“Yakin lah. Daripada aku pulang dan tidak bisa tidur karena kepikiran. Iya, kan?”
POV AlexanderLaporan yang disodorkan Tomo seketika membuat kepala ini pening. Grafik pada bulan-bulan sebelumnya memantik senyum, sekarang bertahan menunjukkan penurunan. Kalau aku biarkan, bisa jadi aku terpaksa menelantarkan para karyawanku.Ini yang aku tidak mau.“Kenapa bisa begini?” gumanku sambil memeras otak.Pertanyaan berawalan kenapa dan kenapa berjubal. Semua berakhir tidak ada masalah dengan kinerja perusahaan. Justru sekarang giat-giatnya memperluas jaringan. Ini pasti ada faktor ‘X’ yang memicu percepatan berkurang bertahap.“Bukankah investor asing sudah mulai masuk?”Aku menutup map berwarna merah itu, dan menatap satu persatu team inti. Mulai dari bagian keuangan, pemasaran, produksi, sampai bagian pengembangan usaha. Keadaan ini bukan posisi ‘merah’, tapi sudah nyaris.“Bagian yang kosong kemarin memang sudah terisi. Akan tetapi belum membantu secara berarti,” ucap bagian keuangan.“Memang harus ditambah berapa supaya ini menjadi stabil.” Aku bertanya mencari kepas
POV Nayaka Raya Bohong kalau aku tidak merasa gagal. Memang ini sudah biasa aku alami. Di kehidupan nyata yang begitu memaksaku untuk menyerah. Aku merasa di titik dimana berbuat baik dan benar tidak berujung seperti yang diceritakan orang-orang. Kehidupan yang terjadi di sekelilingku yang mengajarkan kalau hidup tidak seperti harapan. Buktinya, bapak yang hidup dalam cinta, ketulusan, dan kebenaran, justru berakhir sengsara karena tipuan orang yang dianggap sahabat. Aku yang selalu menurut kepada orang tua, justru nyaris terjerumus pada laki-laki brengsek seperti Arman. Dan … sampai sekarang menyandang julukan wanita telat menikah. Sering kali aku iri dengan teman-teman yang menurutku ‘nakal’, justru sekarang memiliki kehidupan yang sempurna. Mempunya keluarga yang dilengkapi buah hati yang menyebutku ‘Tante’. Sedangkan aku? Hanya title sarjana S1 saja yang bisa aku banggakan. Sedangkan karir, hanya sebagai pegawai biasa. Tidak ada yang menjadi kebanggaan yang menuliskan namaku.
Setiap kesempatan, tidak bosan aku memandang jari manis yang terlihat semakin manis. Cincin yang melingkar menerbitkan senyuman selalu.Seperti sekarang, setiap jari-jari ini bermain di atas keyboard selalu saja mata ini menangkap kilauannya. Dia seperti benda ajaib yang menjadikan aku lebih hidup, dan kepala ini menjadi cemerlang.Di setiap aku kehilangan ide untuk menentukan alur cerita, pasti ada jalan keluarnya ketika aku memeras otak sambil memainkannya. Ide meluncur tanpa hambatan untuk menuntaskan cerita yang sudah meraih penghargaan kemarin.Ucapan selamat dari teman-teman penulis lainnya tidak henti-hentinya masuk di kolom pembaca. Ya, mereka teman di dunia online. Sedangkan di dunia nyata, hanya Alex kekasihku yang tahu, dan terakhir Ibu aku beritahu saat lomba kemarin.“Kamu tidak ingin membuka identitasmu sebenarnya?” tanya Alex.“Tidak.”“Kenapa?”“Aku lebih nyaman dengan keadaanku sekarang ini. Mungkin lebih tepatnya belum.”Seakan tidak mengerti jalan pikiranku, dahi ke