Aku menghirup udara segar di belakang rumah Radit, hamparan bunga yang luas dan indah, wewangian alami yang ditimbulkannya, mengundang banyak kupu-kupu yang hinggap. Nyaman, tenang, membahagiakan dan memanjakan mata."Kemarilah, Hal." Tangan Radit melambai jarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku menuruni tangga yang bersisian dengan kolam bunga teratai yang subur dan indah.Radit menghampiri dan memintaku untuk menutup mata.Aku menggeleng, "Nggak ah, nanti kamu ngerjain aku," tolakku bertahan.Namun, telapak tangan Radit malah menutup kedua mataku, sedang tangan yang lainnya menuntun kaki ini untuk melangkah."Aku nggak mau dikerjain," ujarku masih ngeyel. Kebiasaan, saat kuliah dulu dia sangat suka membuatku cemberut karena ulahnya. Meski begitu, perhatiannya tak pernah berubah sampai kini.Tangan Radit perlahan bergeser, cahaya mulai menyelusup tertangkap mata saat pelan kubuka kelopaknya.Hamparan bunga Edelwies bermekaran indah di hadapanku saat ini. Mataku terbelalak den
Hampir seminggu, berita di televisi hanya berkutat tentang gedung ambruk yang dibangun Mas Rian. Banyak opsi bermunculan, banyak pendapat ahli yang memperkirakan penyebab kejadian, bahkan demo keluarga korban tak henti menjadi sorotan. Tercatat sampai hari ini, 5 korban jiwa telah melayang, 15 orang kritis, 30 orang mendapat luka ringan dan sudah bisa dipulangkan dari Rumah Sakit.Bian menunduk lesu saat berita itu kerap terdengar olehnya, beberapa hari ini nafsu makannya pun ikut berkurang."Sayang, Bian kenapa?" Aku memeluk tubuhnya dari belakang."Mah ...," lirihnya melirik wajahku."Apa sayang, bicaralah.""Boleh nggak kalau Bian ingin ketemu Papah Rian?" tanyanya ragu.Bola mataku menatap lekat, melihat kejernihan matanya yang tulus.Apakah Bian lupa sakitnya diabaikan Papahnya?Apakah dia lupa saat laki-laki itu lebih memilih Zain daripada dirinya?"Bian yakin?" tanyaku memastikan.Bian mengangguk pasti."Baiklah, mari kita berangkat sekarang," ajakku.Wajah Bian terlihat baha
"Dakwaan terhadap Rian berat, Hal. Dia dituduh telah memanipulasi dana hingga menggunakan bahan-bahan yang berkualitas buruk, menyebabkan bangunan tinggi itu tak kuat menyanggah," papar Radit.Kami sedang sarapan pagi ini, pemberitaan tentang Mas Rian semakin santer dibicarakan, ia benar-benar tersudut."Aku tidak yakin. Bukan satu kali Mas Rian mengerjakan proyek, ia adalah salah pekerja yang berdedikasi tinggi. Dia tidak bodoh, hal ini pasti terhitungkan kalaupun ia benar-benar melakukan itu," sanggahku."Benar, aku sudah mengenalnya dalam dunia kerja, Rian bukan orang yang seperti itu, terlepas dari masalah pribadinya.""Aku khawatir sama Bian, Dit. Dia sangat murung tiap kali menyaksikan Papahnya di televisi.Apa televisi aku cabut dari belakang ya, biar dia kira rusak?"Aku masih berpikir untuk menenangkan anak itu, hatinya benar-benar lembut. Pagi ini pun ia bahkan tidak mau ikut sarapan."Mamah ...."Aku mendengar Bian menangis di ruangan tv. Aku dan Radit menoleh."Mamah ....
Tepakan kaki kembali terdengar, pria itu berjalan mendekat, tumbuhku semakin beringsut, kaki melipat kebalakang, aku benar-benar ketakutan. Dia duduk di depan cermin rias, perlahan menuangkan alat kecantikan pada kapas, menggosokannya pada wajah.Setiap wajah yang terusap berubah warna, dia masih diam menatap lekat wajahnya di cermin. Hatiku berdegup lebih kencang. Meski jarang bertemu dan hanya terlihat dari pinggir, aku bisa memastikan siapa pemilik wajah itu."Hai ...," sapanya ramah. Namun, bagiku itu seperti sapaan kematian."Heum ... heum ....." Aku berontak untuk membuka ikatan."Sssstt!" Bastian meletakkan telujuk dibibirnya. Menatap, lalu tertawa.Ia meninggalkanku begitu saja yang masih mencoba berontak.Bastian mengambil sebuah remot tv, ia menyalakan sebuah dvd, lalu duduk di ranjang, tepatnya di bawah kakiku."Papah selamat ulang tahun ...." Teriak riang seorang anak, seorang anak laki-laki seusia Bian. Berlari-lari menghampirinya."Makasih sayang."Bastian menggendong
Riana masih bergeming, matanya seperti buta dan tak mampu melihat, tubuhnya nampak kaku, sekilas ia bahkan terlihat tidak bernapas. Hanya diam seperti patung, mati rasa dalam keadaan berdiri."Aw!"Zain membungkuk, memegangi perutnya."Ibu, perut Zain sakit," rintihnya memelas.Brank! makanan kaleng yang dipegangnya terjatuh, tubuhnya terus membungkuk menahan sakit.Aku gamang, kaki bergetar, lemas dan tak mampu lagi berdiri, terduduk menyaksikan kesakitannya."Mana yang sakit Zain?"Radit yang kulihat sudah melihat semuanya dari arah lain segera menghampiri Zain."Aw!" Zain memekik, tubuhnya lemas dan terjatuh ke tanah.Aku beringsut pada Bian.Radit memeriksa keadaan Zain, perutnya mengeras seperti kram."Apa yang terjadi pada Zain, Bu?" tanya Bian dengan suata bergetar. Aku tak mampu berkata hanya mampu memeluknya dalam rasa iba."Aku akan membawa Zain ke rumah sakit," ucap Radit cepat. Membopong tubuh Zain yang terus mengeliat kesakitan."Mari ikut saya, Bu."Petugas polisi membo
Ponsel Radit tidak aktif, sebelum dia pergi ke kantor, aku ingin meminta bantuannya. Jadi harus berangkat pagi-pagi."Mamah mau kemana?" Bian yang baru mengucek matanya setelah bangun tidur, menatap heran karena aku sudah rapi pagi sekali."Mamah mau ke kantor polisi sayang, tapi mau minta bantuan Om Radit. Tunggu sebentar ya," jawabku bergegas pergi menuju apartemen sebelah.Berkali-kali menekan bel, Radit masih tidak kunjung keluar, coba-coba kudorong pintunya ternyata tidak terkunci."Dit ...," panggilku perlahan. Sebenarnya ini pertama kalinya aku masuk apartemen Radit.Aku celingukan, isi apartemennya lengang, hanya ada beberapa forniture di dalamnya. Sedikit aneh jika dia sudah tinggal lama di apartemen ini, kecuali baru pindahan."Dit ...," panggilku lagi.Masih belum ada sahutan dari pria itu. Kemana dia?Aku masih mencarinya ke beberapa tempat, termasuk ke dapur tempatnya membuat makanan yang enak setiap pagi. Benar saja, di bagian apartemen ini hanya peralatan masaknya yang
Dear diary ...Kututup kisahku di masa laluJangan ingatkan ia jika tak perluAku akan menapaki hidupku yang baruMembuka lembaran baru kertasmu.Aku tahu tak bisa hidup di kerajaan Cinderalla yang bahagia selamanya.Ini hidup bukan hanya dongeng.Di kertasmu yang baru akan ada banyak coretan warna warni perjalanan hidupku.Tapi aku mohon, jangan jadikan aku wanita yang terbuang, tersisihkan menjadi serpihan.Tuliskan aku sebagai wanita yang layak dicintai, menjadi pendamping yang berharga hingga maut memisahkan kami.Tuliskan aku sebagai ibu yang bisa menjadi panutan untuk anak-anakku.Menyayangi mereka dengan cara benar, bukan hanya menjadikan mereka sebagai alasan keegoisan._________"Mamah ...."Anak lelaki itu duduk diantara cahaya pagi yang menerobos masuk membawa kehangatan dalam keluarga kecil kami."Iya sayang, kemarilah."Kututup diary, menyimpannya sementara hingga mendapatkan kembali kisah yang layak dibagi.Wajah sendu itu sepertinya sedang mengkhawatirkan sesuatu."Ada
Lelaki berbola mata coklat dan alis rapi itu sudah duduk manis menghadap layar komputer saat dokter mulai memeriksa."Usainya sudah 20 minggu ya, bu?" ucap dokter saat dinginnya jel mulai meresap dalam kulit perut."Iya dokter, hitungan saya pun sama 20 minggu.""Ok, saya lihat lagi."Alat yang disebut transduser itu bergerak perlahan menekan bagian perut."Aw!" Aku sedikit memekik."Ngilu ya?" tanya dokternya datar."Iya dokter.""Belah ya ...," ujarnya lagi, sibuk mengetik di keyboard."Maksudnya dok?" tanya Radit."Ya belah, berarti sama dengan ibunya," jelas dokter tanpa menoleh pada Radit yang aku yakin dia masih bingung dengan istilah itu."Apanya yang belah dok?" tanya Radit lagi. Aku tertawa kecil, sudah kuduga dia bingung dengan istilah itu."Nah, itu yang suka Bapak tengok tiap malam kan belah?" ujar dokter, menoleh sedikit pada Radit dan kembali fokus ke layar. Kulirik Radit, bayangnya memperlihatkan ia sedang menggaruk bagian kepala, nampak sekali ia ingin bertanya lagi