Ben sengaja meletakkan pisau dapur yang tengah dipegangnya saat Ann datang menyusul. Gadis ini bahkan tidak mengenakan dress-nya lagi, hanya menutupi rapat tubuhnya dengan jas kepunyaan Ben. Ia duduk di kursi meja makan, enggan menatap lelaki yang kini tengah menyorotnya tajam. "Kenapa?" gumam Ann pura-pura sibuk menata sendok di tempatnya. "Kenapa nggak pake baju?" tanya Ben lantas sibuk meracik masakannya lagi. "Nanti kamu nggak puas liatnya. Makanya sengaja nggak aku pake dulu. Biar kamu makan pake lauknya ngeliat aku," sindir Ann menohok. "Terserahmu," balas Ben sekenanya, tak ingin terlibat perdebatan yang bisa menyulut emosinya lagi. "Ada apa sama Patra? Kenapa kamu marah banget pas tau aku berurusan sama dia?" tanya Ann selalu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Dia musuh bisnis," balas Ben. "Musuh bisnis? Semua orang yang jadi member bukannya musuh bisnis juga? Kenapa kamu galak banget sama dia? Kalian ada masalah serius dan bukan cuma soal kontrakku kan
Ann mendesah lemah mendengar jawaban Ben yang mengecewakan itu. Sebenarnya, ia tahu, Ben menyembunyikan banyak hal darinya. Lelaki ini sangat misterius, dingin, tapi hangat di dalam, perhatian dan mudah iba pada perempuan. Ben membungkus dirinya dalam sikap seperti kutub utara agar tak ada yang mendekat dan terlalu ikut campur dalam urusannya. "Minggu depan boleh aku pulang ke Semarang tiga hari? Kebetulan ada libur di show dan aku nggak ada jadwal laen. Aku pengin jenguk seseorang," kata Ann mengganti topik. "Tiga hari terlalu lama," balas Ben. "Tiga hari buat setahun kemudian aku udah nggak akan pulang ke Semarang lagi, Mas," desak Ann setengah memohon. Sesekali ia suap mie hangat buatan Ben yang rasanya sangat nikmat. "Dua hari, nggak lebih," kata Ben tak terbantahkan. "Oke," jawab Ann lemah. "Mas, kamu kursus masak ya? Bisaan banget masak yang seger-seger gini," pujinya. "Buat bisa bertahan di duniaku, kamu harus bisa apa aja, kamu kudu bisa ngandalin diri kamu sendiri,
Ben segera mengantar Ann ke Semarang menggunakan helikopter malam itu juga. Mengingat Ann yang sudah linglung dan tak bisa diajak bicara fokus dan rasional, Ben memutuskan untuk tetap mendampinginya. Mereka dikawal oleh dua orang bodyguard dan juga Arino yang bertugas untuk mengurus semua keperluan mendadak mereka selama di Semarang. Ketika rombongan tiba di kediaman sederhana yang ditinggali Ann sejak masa kanak-kanak, tetangga dan beberapa saudara jauh sudah berkumpul. Ann jelas langsung menjadi pusat perhatian, apalagi ia datang dikawal oleh beberapa lelaki tak dikenal yang penampilannya cukup mewah dan mencengangkan. "Aku baru mau pulang minggu depan Mbah, kenapa Mbah nggak nunggu aku," isak Ann memeluk tubuh kaku neneknya yang sudah dimandikan dan dikafani. Ben dan pengawalnya beserta Arino tampak duduk di antara para tetangga yang masih berkumpul. Meski merasa asing dengan sekitarnya, Ben berusaha menyesuaikan diri. Ia mengambil rokoknya, menawari beberapa bapak-bapak di
"Sejak aku mutusin buat berangkat ke Jakarta dulu, aku udah dicap kayak gitu karena aku kerja paruh waktu dan pulang selalu tengah malam. Ironis ya? Padahal aku jadi pelayan di rumah makan," cerita Ann. "Aku nggak mau Mbah terlalu lama denger gosip kayak gitu, makanya aku mutusin buat pergi jauh ke Jakarta. Dua hari lalu, aku dikabarin kalau Mbah masuk rumah sakit, darah tingginya kambuh. Kata Budhe, semua uang yang kukirim buat Mbah belakangan ini nggak dipake apa-apa sama Mbah, padahal aku minta dipake buat kesehatan dan buat menuhin semua keperluannya Mbah di sini. Aku ngerasa bersalah banget, Mbah yang ngerawat aku dari kecil, nyukupin semua kebutuhanku dengan jualan bunga buat ziarah ke makam," ujarnya terisak lagi, semakin keras. Melihat kondisi Ann, Ben mematikan bara rokoknya. Tidak banyak yang bisa ia katakan untuk menghibur Ann karena ia memang tidak pandai berkata-kata. Love language seorang Big Ben adalah act of service, jadi, ia memilih untuk membawa Ann ke dalam cer
Selepas pemakaman, Ben sengaja memilih untuk meninggalkan Ann dan pergi ke hotel lebih dulu. Ann masih harus mengurus masalah uang santunan dan lain-lain bersama keluarga besar, jadi Ben tidak ingin terlalu ikut campur dengan hal-hal semacam itu. Ia meminta Sony, salah satu bodyguard untuk menunggu dan menjaga Ann. "Mas Ben nggak bilang apa-apa lagi Bang?" tanya Ann saat ia mengantar makan malam untuk Sony. "Nggak ada Mbak, cuma disuruh nunggu dan nemenin sampe keperluan Mbak selesai," ucap Sony apa adanya. Ben memang hanya memberinya perintah untuk menjaga dan mengawal Ann, menyiapkan keperluan sang nona jika membutuhkan sesuatu. "Ya udah, nanti kalau acara ngaji sama urusan yang lain-lain udah selesai, anter gue ke hotelnya ya Bang," ujar Ann tersenyum simpul. "Siap Mbak," ujar Sony sigap. Ann kembali masuk ke dalam rumah, menemui Budhe Narti, kakak tertua ibundanya. Mereka sedang memberesi sisa-sisa snack untuk pengajian, termasuk menanyakan langkah Ann selanjutnya akan
"Kenapa?" tembak Ann langsung begitu Ben membukakan pintu kamar hotel untuknya. "Ngapain?" tanya Ben balik, seperti biasa, penampilannya saat santai adalah selalu shirtless seksi menggoda. Sadar bahwa Ben menemuinya dengan tampilan sedikit hot, Ann tertegun. Sejenak ia kehilangan suara, hatinya tiba-tiba nyeri. Akankah ada perempuan lain di dalam kamar saat ini dan kedatangan Ann membuat permainan mereka terganggu? "Kamu bilang kalau aku butuh sesuatu, kamu nyuruh aku ngomong," ucap Ann tersendat, matanya berkaca-kaca, tak tahu apa penyebabnya. "Sony nggak bisa bantu? Arino ke mana? Nggak standby di rumah kamu, dia?" tanya Ben celingak-celinguk. "Kamu lagi ada tamu?" tanya Ann tak nyambung. Gatal juga lidahnya karena rasa penasaran yang tertahan. "Enggak." "Kayaknya kamu lagi ada kegiatan di dalem," ujar Ann tak langsung percaya. Paham arti tatapan redup dari gadis di hadapannya, Ben membuka akses. Ia persilakan Ann masuk ke dalam kamar, membiarkannya meneliti seisi ruang
"Justru karena kamu Joanna dan bukan Eriska, kupake kamu seumur hidup," ucap Ben menahan jemari Ann yang sudah berdiri. "Eriska bakalan cari tau siapa kamu," tambahnya. "Kenapa aku? Kenapa harus aku yang kamu libatin dalam urusanmu? Apa karena kamu udah ngebayar aku?" tanya Ann menegarkan hati. Ben mengangguk, ia hentak genggamannya di pergelangan tangan Ann hingga Ann terhuyung dan jatuh ke pangkuan Ben tanpa perlawanan. Sesaat mereka saling berpandangan, kali ini Ann tidak melihat ada dusta yang Ben sembunyikan di matanya. Kenapa sesakit ini mengetahui ternyata si kejam Ben memiliki nama perempuan lain yang tersimpan rapi di hatinya? "Siapa si Eriska ini?" gumam Ann berani. "Kamu nggak akan mau tau," balas Ben berpaling. "Salah satu perempuan yang nolak buat kamu tidurin? Perawan? Cinta pertama?" "Aku nggak mau bahas soal dia sama kamu," desis Ben. "Jelas harus dibahas karena kamu make aku yang kata kamu buat balas dendam dan pelampiasan atas dia. Kamu marahnya sa
"Udah selesai kerjanya?" tanya Risa langsung menghakimi. "Hah? Aku nggak lagi kerja, Sa," ucap Ann langsung mengelak. "Terus ngapain di hotel? Di kamar khusus lagi," kata Risa curiga. Risa adalah teman sekelas Ann saat SMA. Sejak lulus SMP, Ann memang sudah sering bekerja paruh waktu. Penampilan Ann yang asal-asalan dan seringnya ia melanggar peraturan sekolah membuat Ann dinilai buruk oleh teman-temannya. Rumor bahwa ia memiliki sambilan sebagai wanita panggilan juga merebak semenjak ia lulus dari SMA. "Sayang," Ben datang mengejutkan Risa, ia kecup pundak Ann mesra. "Selamat hari ulang tahun pernikahan," ujarnya tersenyum simpul. "Ulang tahun pernikahan?" Ann mengedip-ngedipkan matanya bingung. "Iya, makanya jangan salah paham dulu. Aku ngajak kamu ke hotel karena Mbah meninggal di hari ulang tahun pernikahan kita, nggak mungkin juga kita rayain di rumah. Nih, aku pesenin makan malam buat kita," ucap Ben melirik ekspresi wajah Risa yang melongo. "Suami?" gumam Ris