Ternyata klinik tak jauh dari ruangan Mw. Jansen-Willems. Kami hanya perlu dua menit. Dan kami disambut perempuan muda yang berjaga di klinik. “Oh, ada apa di sini?” “Juff Greta, temanku kakinya terkilir.” “Sini, bantu dia duduk.” Dia membantu Zoey—bukan, membantuku duduk di kasur. Lalu berjalan cepat menuju lemari kaca tak jauh di bagian kanan ruangan. Persis bersebelahan dengan kursi pijat. Aku menyadari kasur yang sedang kududuki ini bukanlah kasur biasa. Aku tak bisa membedakan apa ini sebuah klinik atau rumah spa. “Juff Greta, ini buku yang kupinjam kemarin.” Sabine dan Zoey duduk di kasur sebelah. Sementara Sabine yang mengetuk-ngetuk buku di tangannya, Zoey hanya mengamati Juff Greta tanpa ekspresi. Juff Greta yang dipanggil Sabine masih sibuk membongkar lemari kaca saat menjawab. “Oke, tunggu sebentar.” Tak memedulikan hal lainnya, Juff Greta sibuk sana-sini untuk menemukan obat untukku. Yang sebenarnya tak perlu, aku hanya sedikit terkilir. Reaksinya sangat heboh
Saat aku berhasil keluar dari ruang putih laknat itu, ada Caspar yang berdiri di samping kasur tempatku berbaring. Dengan telapak tangannya di atas dahiku. Aku ingat namanya karena dia nyaris menjadi teman sebangkuku. Apalagi tampang menjijikkannya itu. Aku tak mungkin bisa lupa. “Apa yang kau lakukan?” Caspar melihatku membuka mata tapi dia tak bergeming. Seolah yang dia lakukan saat ini sangatlah wajar. Kecuali fakta aku dan dia pertama kali bertemu beberapa jam yang lalu, bukan setahun yang lalu. Entah aku yang terlalu sensitif atau dia yang terlalu tak tahu malu. “Hmm…” Kali ini dia menggeser telapaknya dan menutup mataku. Menghalangi pandanganku agar bisa melihatnya. “Gerbangnya terbuka secara acak.” Aku meraih tangannya dan berusaha menyingkirkannya dari wajahku tapi nihil. “Singkirkan tanganmu dari wajahku.” Dia jauh lebih kuat dariku, tangannya sama sekali tak bergeming. “Kau pura-pura tuli?” “Aku tak bisa mengaturnya karena dia masih belum membaur dengan teras
Aku sekarang ingat. Apa yang terjadi empat tahun lalu. Bisa dibilang, kenakalan anak muda—bukan berarti aku sekarang tidak lagi muda. Terutama aku dan Brian, kami berdua itu sangat nakal. Sedangkan, Archer itu seperti kakek-kakek. Dia suka duduk tak jauh dari kami, memerhatikan kami yang sedang berbuat onar sambil menggelengkan kepalanya dengan ekspresi maklum. Kami sudah berulang kali memaksanya untuk ikut bergabung tapi dia itu keras kepala. Pertama kalinya Archer berjanji bermain dengan kami, itu sesaat sebelum upacara kebangkitan. Tapi karena upacara itu, janji yang telah susah payah aku dan Brian dapatkan dari mulut Archer, hangus begitu saja. Hanya karena aku dan Brian punya bakat menjadi penjelajah dimensi, sedangkan Archer tidak. Dan yah… Aku dan Brian tak terima. Karena jika kami benar menjadi penjelajah dimensi, kami tak bisa lagi bermain dengan Archer. Bayangkan saja perasaanmu jika semua orang mengatakan temanmu akan mati jika dia berdekatan denganmu. J
Aku tak tinggal lama-lama di klinik sekolah. Ketika kudengar pemberitahuan berkumpul di auditorium, aku langsung berdiri dan keluar dari klinik. Tak lupa untuk berterima kasih terlebih dahulu pada Juff Gretta. Dia melambai padaku. “Lain kali jalannya hati-hati, ya.” Ucapannya hanya kubalas dengan senyuman dan bergegas ke auditorium. Saat memasuki auditorium, aku bertemu dengan Anika. Dia hanya melihatku sekilas sebelum melangkah ke wilayah penonton. Benar, reaksi seperti itulah yang wajar. Bukan seperti Zoey atau Sabine yang ramah padaku. Membuatku terasa canggung. 'Hari ini kita ada pengumuman penting jadi harap segera duduk di tempat yang kosong.' Aku akhirnya kembali melangkah mengikuti jejak Anika sambil mendengarkan suara seorang guru tak kukenal yang berdiri di panggung. Asal saja aku duduk di bangku kosong. Menemukan bahwa guru yang sedang berbicara di panggung itu masih terbilang muda. Dia juga terlihat tegas seperti Mw. Jansen-Willems, tapi suaranya terd
Aku mengabaikan Aaliya dan kembali fokus ke panggung. Tapi dunia ini sepertinya tak ingin melihatku hidup tenang. “Oh, kau tak istirahat di klinik?” Aku menoleh dan menemukan Sabine berdiri tak jauh dari bangku kami. Benar, tak mungkin dunia ini membiarkanku duduk di pojokkan untuk menonton drama. Sabine terkejut melihat Aaliya yang duduk di sebelahku tapi aku tak merasakan ada niat buruk darinya. Hanya rasa penasaran. “Apa kau sakit, Cath? Kau tadi tiba-tiba pingsan.” Dia duduk di bangku belakang kami, yang ternyata masih kosong. Yang terjadi sekarang ini terlihat sangat normal, jika saja aku tak mendengar suara dua orang yang sedang menggeram pada satu sama lain di kepalaku. - Yang kau lakukan ini menciptakan terlalu banyak variabel, Uriel. - Diam kau, pelacur Asgard. - Kau mengacaukan visi dimensi ini. Kau tahu itu berbahaya. - Kau pikir aku akan percaya visi bodohmu itu? Bukannya kalian duluan yang memulai variabel, ah, Olimpik juga. Intervensiku ini cuma seperti kep
“Nona Solovyova,” panggilku saat melihat Anastasia berjalan keluar gedung. Aku berjalan agak cepat supaya tak ketinggalan. Dia kelihatan santai tapi aku kesulitan mengejar langkahnya. Dan dia menoleh, berkedip beberapa kali sebelum berujar. “Kau yang dari tadi menatapku di dalam sana.” “Apa kau bisa meluangkan waktu, sebentar saja.” Dia menatapku lama. Tapi dia tak kelihatan kaget atau bertanya-tanya karena permintaanku, malahan dia kelihatan seperti menerima sesuatu yang sudah dinantinya sejak lama. Entah dari mana aku yakin dia tak akan menolak berbincang denganku, orang asing. Perasaan yang aneh. “Kalau begitu… Apa kau tahu tempat yang nyaman untuk berbincang?” Anastasia Solovyova. Fisikawan muda yang nyaris memenangkan piala Nobel untuk penemuannya ‘Partikel Penyusun Materi Gelap’ dua tahun lalu. Menemukan asal mula dan sumber energi gelap. Ilmuwan yang tergabung dalam organisasi riset nuklir terbesar di dunia, CERN. Dan baru-baru ini memulai ulang proyek lama yang d
Aku melihat perempuan di hadapanku ini tanpa berkedip. Aura di sekitarku terasa serius. “Nona Solovyova.” “Ya, nona…” “Ah, maafkan ketidaksopananku. Aku Catherine Brunner, baru hari ini aku pindah ke sekolah ini. Aku berasal dari London.” Anastasia mengangguk dan mengakuiku. “Nona Brunner.” “Apa kau yang meminta kakek Rouge membantu temanku? Kita semua tahu kakek cerewet itu tak suka ikut campur dalam takdir, dia hanya akan mengingatkan ketika suatu alam terancam punah. Satu-satunya yang punya otoritas lebih tinggi untuk memerintah kakek tua itu hanya seorang darling.” “Kau menyadarinya dengan cepat.” Dia bahkan tak mencoba untuk membantah. Seolah itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan, tapi aku tak paham. “Kenapa?” Kenapa seorang darling sepertinya melakukan semua ini? “Kenapa tak ada yang tahu kau itu darling?” Kenapa dia melakukan semua ini diam-diam? “Kenapa identitasmu terdaftar sebagai penjelajah dunia?” Tak. Tak. Tak. Tak. Suara ketukan yang sama. Mungki
Perbincangan dengan Anastasia itu seperti syok disambar petir. Walau aku tak mendapatkan informasi yang kumau, informasi lain yang kudengar darinya sudah seperti balon panas yang siap meledak kapan pun juga.“Bahaya…” Aku menghela napas. “Sangat berbahaya…”Di sekitarku, anak-anak kelas mulai bubar keluar kelas satu-persatu. Aku yang hari ini memutuskan mengikuti jadwal kelas Zoey yang semuanya berhubungan dengan ekonomi, memutuskan besok aku harus menghindari cewek itu.Dari lima kelas yang dia ambil hari ini, tiga darinya adalah kelas privat. Dan