Kali ini ganti Arvin yang menyemburkan tawa lepas. Saking puasnya, sebelah tangan Arvin sampai harus membebaskan kacamatanya singkat karena kedua netranya telah mengembun akibat gelakan kerasnya. Sementara lengan Arvin yang lain masih fokus memutar setir mobil. Aldo sontak menoleh dan melempar tatapan tajam untuk sebuah peringatan.“Aku bilang konsentrasi ke jalan saja, Vin,” tekan Aldo tanpa basa-basi.Arvin langsung menyusutkan tawa, lantas menutup mulut dengan ekspresi sungkan. “Ah, maaf, Pak,” ujarnya sambil cengengesan. “Habisnya Pak Aldo juga lucu.”“Tidak ada kelucuan di dalam perjodohan.” Aldo mendesah berat. Sekarang ia memilih membuang muka ke jendela yang menampilkan kesibukan pusat kota pagi itu.Arvin segera memasang kacamatanya kembali. Pandangannya tak aman jika dibiarkan tanpa terhalang lensa pembantu. Ia pun akhirnya mengangguk setuju dengan jakun yang naik-turun gelisah.“Iya, Pak, saya setuju. Kita bukan di zaman Siti Nurbaya yang memerlukan acara perjodohan dari or
“Bu, tolong bantu Nayra, Bu!” Dalam kesesakan tangisnya, Nayra berteriak kepada Ida agar segera membantunya memapah Budi.Masih menggenggam ponsel di tangan kanan, Ida keluar dengan ekspresi kesal karena waktunya diganggu oleh pekikan suara Nayra. Dengan menggerutu, ia akhirnya terpaksa menyudahi telepon yang ternyata masih dalam sambungan.“Nanti aku hubungi lagi,” ucapnya berat hati, lantas menyimpan benda persegi panjang itu. Sekarang ia memutar bola mata malas, enggan menolong Nayra yang telah sesenggukan saking cemasnya.“Ini bapakmu kenapa lagi, sih? Perasaan kemarin-kemarin sudah sembuh!” rutuknya berkacak pinggang.“Bu, ayo, cepat bawa Ayah ke rumah sakit!” erang Nayra sekali lagi. Agak kesal sebab tangannya sudah cukup pegal menahan tubuh Budi sendiri.Ida membungkukkan badan. Mulutnya terus mengomel dan tak terima jika Budi lemah dan sakit-sakitan. “Hah, merepotkan!”Malam itu, mereka akhirnya membawa Budi ke rumah sakit. Setelah salah satu dokter memeriksa kondisi Budi seca
Sekarang Nayra mengerjapkan mata sembari mengamati wajah Aldo dengan penasaran. Setengahnya, ia tak yakin dan tidak bisa menebak apa yang akan ditawarkan Aldo kepada dirinya. Di saat yang bersamaan, Aldo justru menaikkan kedua alis tebalnya. Menunggu respon yang akan dilayangkan Nayra.“Apa itu, Pak?” tanya Nayra akhirnya.“Jadilah mentor di hubungan percintaanku. Kamu harus bisa membebaskanku dari semua perjodohan yang ibuku minta. Apa kamu sanggup?” Aldo tersenyum tipis. Ia melempar tatapan remeh pada Nayra yang beberapa kali meneguk ludah dan memandangnya ragu.Nayra tampak berpikir. Ini salah satu tawaran pekerjaan tergila yang pernah ia dapatkan. Apa tadi? Jadi mentor cinta Aldo, seorang pimpinannya sendiri yang ia tahu berhati dingin kepada wanita-wanita di sekitarnya? Ia bahkan bisa menebak bahwa hati pria itu sudah membatu saking tak pernah disentuh oleh apa yang namanya “cinta”.Tidak. Tidak mungkin ia sanggup. Apalagi ia juga tak bisa mengatasi pernikahannya yang kandas. Ini
Dari balik lensanya, Arvin menyipitkan mata sehingga membuat Aldo menahan napas dan menggerakkan bola matanya cepat.“Jangan berpikir aneh-aneh, Vin. Aku cuma ingin menolong ayahnya. Kasihan, stroknya lumayan parah.”Arvin nyengir sambil ber-ooh ria. Beberapa kali ia mengangguk demi menyenangkan pimpinannya tersebut. “Baik, Pak, saya akan menghandle perusahaan sebaik mungkin,” sahutnya kemudian.Aldo akhirnya dapat bernapas lega. Ia menegakkan dagunya kembali sembari berdeham pelan. Bagi Aldo, image adalah nomor satu.“Ya sudah, Vin. Aku berangkat sekarang.” Setelah memeriksa arloji di lengannya, Aldo langsung menuntun langkahnya menjauh dan memasuki lift di ujung koridor.Sementara itu, Arvin cekikikan. Ia bahkan dapat menangkap muka Aldo memerah tadi. Ini kejadian langka, Arvin harus segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada bosnya itu.Aldo telah mencapai mobilnya dan lekas menekan gas hingga membawa kendaraan beroda empat itu meluncur deras di aspal yang mulai terik. Ia s
Mengguntur dari langit, Marsella membelalak lebar usai mendengar ucapan Guna di seberang teleponnya. Dahinya berkerut jelas, setengah tak percaya dan kesal atas jawaban Guna yang terlontar secara gampang.“Apa?! Kamu serius minta putus?” pekiknya geram."Ya, kita putus aja. Aku muak kalau kamu rewel terus!”Marsella sama sekali tidak terima. Ia lekas membuka mulutnya untuk protes ketika sambungan teleponnya diputus oleh Guna tanpa rasa bersalah.“A-apa! Sialan! Bisa-bisanya kamu ngomong gitu!” Marsella menghempaskan tangannya.Dengan muka amat kesal, ia segera menghentakkan kaki dan segera pergi dari rumah itu. Perasaannya masih campur aduk. Dadanya dongkol, mula-mula di atas motor ojek yang ia pesan, ia menangis tersedu-sedu.Marsella benci keputusan Guna yang telah berkata demikian. Apa Guna tidak ingat bahwa pria itu baru saja memohon untuk mendapatkan maaf darinya?Marsella dongkol, kebanyakan pria memang tidak tahu diri. Bagaimana tidak, mereka berusaha mati-matian untuk mendapat
Marsella juga tak kalah melebarkan kedua matanya memandang pria yang pernah ia temui sebelumnya. Masih tercengang, Marsella menunjuk muka pria tersebut.“Hah, kamu! Ternyata kamu lelaki yang dimaksud Papiku!” Ia tersentak. Tak menyangka pria berkacamata ini yang akan dijodohkan dengannya.Rahang Arvin mengeras. Dari sekian banyak wanita di dunia ini, kenapa harus Marsella. Dari balik lensa, ia memandang jijik ke arah wanita itu. Ia masih teringat bagaimana berita viral tersebut mencuat, belum lagi ia juga mengenal Nayra yang jelas-jelas korban dari sikap keji wanita di hadapannya sekarang.“Kamu pikir kamu layak untuk melakukan perjodohan ini?” sinis Arvin mengatupkan bibirnya.Mendengar kalimat itu meluncur, Marsella jadi mengerutkan kening heran. “Apa maksudmu?”Arvin membuang napas kasar dan memutar bola matanya. Biasanya ia sabar dalam menghadapi sesuatu, tapi tidak kali ini. Pertama, ia benci dijodohkan. Kedua, Marsella bukan seleranya apalagi wanita tersebut sudah terkenal tak b
“A-ah iya, sekarang kamu udah ketemu aku, toh.” Ida memaksa bibirnya mengurai senyum.Nayra memperhatikan air muka Ida yang pias. Apakah dirinya tak salah lihat? Ibunya sekarang terlihat sedang gugup menghadapi salah satu teman SMA yang sekarang ini berada di depannya.“Ikut arisan bareng teman-teman, yuk, Da. Biar makin rame!” cetus temannya itu menepuk bahu Ida perlahan.Nayra kian memicingkan kedua matanya. Jelas-jelas Ida mengatakan bahwa dirinya ikut acara arisan akhir-akhir ini. Apa ibunya bohong?“Oh, pasti. Lain kali aku akan ikut arisan kalian, tapi sekarang aku ke kamar mandi dulu, ya. Kebelet.” Ida nyengir, lalu segera menarik tangan Nayra.“Ayo, cepet, Nay!” Dengan setengah berlari, Ida lekas membawa Nayra bersamanya. Baik Nayra maupun wanita berambut pendek tadi kebingungan. Padahal temannya ingin mencegah kepergiannya karena ingin meminta kontak Ida agar bisa menghubunginya lagi.Ida segera berhambur menuju salah satu bilik kamar mandi sewaktu tiba di toilet umum rumah s
“Halo, tolong belikan laptop baru sekarang juga.” Aldo bergerak kikuk dan langsung menghubungi salah satu pergawainya. Ia sengaja melakukannya demi mengabaikan celetukan Arvin yang menyebalkan.Arvin bersedekap dan menggerakkan matanya terus menerus mengikuti setiap tindakan Aldo secara detail. Sekarang di bibirnya bertengger senyuman miring mengejek sikap Aldo yang sengaja menghindarinya. Ia juga sempat mengalihkan tatapan kepada Nayra yang tengah bersikap canggung.“Ya, merk itu juga boleh.” Aldo melirik Arvin sepintas, lantas mendengus karena pria itu masih antusias menunggunya.Setelah itu, Aldo terpaksa mematikan sambungan ponselnya dan duduk di kursi singgasana seperti semula.“Kalian benar-benar… hmm─”“Cepat kerja dan berhenti mengada-ngada! Nanti kamu pinjamkan laptopmu untuk Nayra sebelum laptop barunya datang,” sambar Aldo secepat mungkin. Ia tak mau jika Nayra atau orang lain salah paham.Arvin menoleh ke arah Nayra singkat, lalu terkikik pelan. Ia menutup mulutnya dengan