Share

Chef Galak, (tapi) Kucinta
Chef Galak, (tapi) Kucinta
Penulis: L Liana

1. Chef Otoriter

Hari Senin bisa dikatakan sebagai hari yang menyebalkan untuk sebagian orang. Pasalnya di hari Senin adalah awal mulai bekerja setelah weekend. Namun, beda dengan Elya. Gadis berusia dua puluh tahun itu paling membenci hari Sabtu dan Minggu, tetapi mendambakan hari Senin. Karena di hari Sabtu dan Minggu, pekerjaannya sangat padat.

Elya, salah satu gadis beruntung di antara pekerja lainnya di hotel Crown Sunflower, Bumiaji, Batu. Elya hanya lulusan sekolah menengah atas di salah satu sekolah kejuruan di Tulungagung. Hanya bermodalkan nekat, Elya melamar kerja dan menduduki posisi sebagai tukang potong sayur. Tidak lama kemudian Elya diangkat menjadi Asisten Executive Chef. Ternyata pangkat yang dia kira tinggi bisa membuatnya bahagia lahir batin, ternyata yang ada ngenes. Elya selalu menjadi tempat bosnya meluapkan kekesalannya.

“Kon iku ngene ae ora iso. Otak buat mikir, tangan buat kerja.” Satu kalimat yang biasa bosnya ucapkan pun selalu terlintas di otak Elya. (Kamu itu begini saja tidak bisa, otak dibuat mikir, tangan dibuat bekerja)

Terkadang Elya ingin menjambak, menghantam, bahkan menendang executive chef yang selalu semena-mena kepadanya. Dia bernama Bariqi Galanga. Pria lajang berusia dua puluh tujuh tahun yang terkadang sifatnya seperti anak TK. Tidak jarang Bariqi memukul pundaknya berkali-kali tanpa sebab seraya mengatakan membencinya. Namun, kalau membenci kenapa Bariqi tidak kunjung memecatnya, kadang Elya juga bingung.

Sebejad-bejadnya seorang laki-laki, baru Bariqilah yang paling bejad menurut Elya, tidak jarang juga Bariqi menyuruhnya membeli pengaman. Pernah sekali Elya ke minimarket, dan kebetulan sekali kalau kasirnya teman sendiri. Semula bibirnya ingin mangap beli pengaman, tetapi pada akhirnya dia membeli cokelat karena malu. Sungguh pengalaman yang memalukan.

Elya tidak tahu betul apakah bosnya itu suka main wanita, tetapi yang dia tahu bosnya sering menyuruhnya membeli alat pengaman. Kalau tidak dituruti, jelas dia tidak akan mendapat uang bonus.

Di hari Minggu Elya sibuk berkutat dengan mashed potatoes yang dimasak. Perempuan itu tampak tidak terlalu semangat mencampurkan kentang yang sudah halus dengan susu. Semalam Elya bergadang membuat komik, tetapi di jam dua pagi dia sudah harus bangun untuk bekerja.

Bekerja di bidang food and beverage harus siap dengan segala konsekuensinya termasuk kerja lembur bagai kuda. Apalagi Elya adalah asisten chef executive. Saat bos mengatakan, “Ada Orderan” Mau tidak mau harus siap sedia.

Elya tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan terjebak di lingkaran para koki tampan. Di dapur, ada tiga belas orang koki, semua laki-laki kecuali Elya. Para chef laki-laki itu kisaran berumur dua puluh dua tahun sampai empat puluh lima tahun. Sedangkan Elya sendiri yang paling kecil dan sering dizolimi oleh Bariqi. Elya merantau dari Tulungagung ke Batu demi mendapatkan uang yang lebih banyak.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, Elya selesai mengerjakan tugasnya. Gadis itu duduk di bawah meja stainless steel dan mengurut lehernya yang terasa sakit.

“Ahhh akhirnya selesai juga,” ucap Elya melepas apron yang digunakan. Perut Elya sangat keroncongan, sejak pagi dia tidak sempat sarapan karena banyaknya makanan yang harus dia masak. Di hari Minggu ada orderan paket pernikahan dengan seribu tamu, alhasil tim dapurlah yang kerepotan untuk menyiapkan segala masakan yang diminta.

“Elya, ngapain kamu di situ?” tanya Bariqi membuat Elya mengepalkan tangannya. Elya mendongak, melihat wajah Chef Bariqi yang sangat garang bediri tidak jauh darinya.

Chef Bariqi yang otoriter, semaunya sendiri, kepala batu dan posesif. Elya bisa mengatakan Bariqi posesif karena pria itu selalu mengaturnya, mengekangnya, dan marah bila dia dekat dengan koki lain. Alasannya bukan karena Bariqi suka dengan Elya, melainkan karena pria itu tidak mau Elya meninggalkannya sebagai asisten. Meski Bariqi kesal dengan tingkah Elya yang cuek, tetapi tanpa Elya dia juga kesusahan.

“Semua sudah beres, Chef. Aku capek, mau istirahat sebentar sebelum pulang,” jawab Elya.

“Siapa yang menyuruh kamu pulang?” tanya Bariqi dengan tajam.

“Aku sendiri,” jawab Elya.

“Tidak ada pulang. Kamu harus ikut aku, kerjaan kamu belum selesai!” tegas Bariqi.

Kalau Bariqi sudah bilang demikian, sudah pasti kesengsaraan akan menghampiri Elya. Pasalnya Bariqi selalu semena-mena saat di luar jam kerja. Menyuruhnya menemani karaoke, memancing, main golf, futsal dan lain-lain. Elya benar-benar merasa menjadi asisten pribadi. Elya menutup wajahnya tanda dia kesal. Bariqi hanya menatap asistennya yang tingginya tidak lebih dari seratus lima puluh tiga itu.

Membuat Elya marah dan kesal adalah tujuannya. Sejak Elya datang ke dapur itu, Bariqi sudah menandai perempuan itu kalau perempuan itu tidak boleh lepas dari matanya. Elya gadis lugu dan cueknya melebihi tujuh orang. Bahkan kopi panas kalau didekatkan ke Elya, langsung dingin seketika. Itulah yang membuat Bariqi sangat penasaran dengan sosok Elya. Biasanya cewek kalau melihatnya memakai baju koki langsung terpesona kepadanya. Namun Elya tidak, bahkan gadis itu seolah tidak sudi melirik Bariqi.

“Elya, sini!” titah Bariqi menyuruh Elya berdiri.

“Chef, aku lapar. Belum sarapan sejak pagi dan ini sudah masuk di jam makan siang,” keluh Elya.

“Makanya kamu ke sini!” tegas Bariqi lagi. Elya berdiri, tetapi perempuan itu tidak menghampiri Bariqi, Elya malah pergi meninggalkan pria itu. Elya ingin segera ke tempat loker, mengambil tasnya, memasukkan kartu untuk cek-clock dan segera pulang. Namun belum sempat menuju ke tempat cek-clock, Bariqi sudah menarik tangannya dan menyeretnya paksa.

“Ahhh … aku mau dibawa ke mana?” tanya Elya dengan berteriak kencang.

“Diam!” desis Bariqi membawa Elya keluar dari pintu belakang untuk menuju ke parkiran khusus karyawan.

“Aku mau pulang, Chef!” pekik Elya lagi.

“Tidak boleh pulang sebelum aku senang,” jawab Bariqi dengan enteng.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status