Malam yang begitu indah. Bulan hanya nampak menunjukkan dirinya separuh. Aku rindu malam bersama Daniel diteras rumahnya. Lagi apa Daniel sekarang? Aku membuka galeri foto diponselku. Melihat foto-foto saat wisudaku kemarin. Daniel Nampak begitu manis dengan setalan jas warna hitamnya. “Andai kamu tahu bagaimana hebatnya aku mencintaimu, Mas..” Aku bergumam.Kring kring..Suara ponselku berdering.Kukira nama Daniel yang akan tampil dilayar ponselku. Ternyata Salman."Hallo, Bang.""Hallo, Sofi. Lagi apa kamu?""Nggak ada, lagi duduk-duduk aja dikostan. Kenapa, Bang?""Nggak apa-apa. Aku suruh nelpon kamu sama Ayah. Suruh nanya, gimana sama tawaran Ayah waktu itu? Kamu terima?""Maaf, Bang. Saya nggak bisa terima tawaran Ayah Bang Salman." Jelasku dengan sungkan."Kenapa?""Hemm.. Saya udah kerja di tempat lain, Bang.""Dimana? Kantor mantan Bos kamu itu?""Iya, Bang.""Kenapa sih, Sof? Padahal perusahaan Ayahku lebih besar dari perusahaan dia. Aku juga bisa bayar kamu lebih besar
Hari ini, hari kedua aku masuk kantor. Aku membawa bekal dari kostan untuk makan siangku. Aku baru saja masuk kerja setelah berhenti bekerja dirumah Daniel.Aku harus menghemat pengeluaranku. Karena tanggal gajian masih lama, sedangkan keuanganku sudah menipis. “Makan siang, yuk..” Daniel berdiri didepanku mengagetkanku.“Saya bawa bekal dari kostan, Pak.” Aku menunjuk kotak makan dimeja kerjaku.“Oke, masuk ruangan saya, dan bawa itu!” Aku melihat Daniel dengan bingung. Daniel masuk keruangannya, meninggalkan aku begitu saja. 'Ishh.. Kenapa aku harus membawa makananku keruangannya?' Aku menggerutu. Aku berjalan menuju ruangan Daniel dengan kesal.“Ada apa, Pak?” Aku berdiri disamping sofa tempat Daniel duduk.“Silahkan duduk.” Aku duduk disofa berhadapan dengan Daniel. “Buka kotak makannya!" "Kenapa, Pak?"Udah buka cepetan!" Aku membuka kotak makanku sesuai intruksi Daniel. "Masak apa kamu hari ini?” Tanya Daniel sambil melihat isi kotak makanku.Aku hanya membawa nasi g
Aku menunggu taxi depan kantor, cuaca mulai mendung. Sepertinya tidak lama lagi akan turun hujan, tapi aku belum menemukan taxi. Aku melihat Daniel sedang menaiki mobil dari kejauhan. Aku pura-pura tidak melihatnya. Meskipun, aku berharap Daniel menghampiriku dan mengajakku untuk pulang bersamanya. Benar saja, mobil Daniel mendekatiku.“Belum dapet taxi?” Tanya Daniel dengan senyumnya.“Belum, Pak.” Jawabku sembari membalas senyum Daniel.“Ya udah, naik. Biar aku anter.” Aku mengangguk. Ini yang aku suka dari sosok Daniel. Dia tidak pernah bertanya untuk menawarkan kebaikannya. Dia langsung to the point agar orang mau menerima kebaikannya.Mungkin beda cerita kalau dia orang lain, dia akan menanyakan terlebih dulu, apa aku mau ikut bersamanya?Daniel beda, dia langsung menyuruhku untuk menaiki mobilnya untuk mengantarku. Aku semakin yakin Daniel juga punya perasaan yang sama denganku. Tapi kenapa dia tidak mengungkapkannya? Ah, entahlah!“Mas tahu alamat kostanku?” Aku meli
“Ehemm.. Seneng banget kayaknya.” Aku menggoda Daniel. Kami makan siang di restoran seusai meeting. Ada raut bahagia diwajah Daniel. Mungkin karena proyeknya yang berhasil hari ini. “Iya, lah. Gimana nggak bahagia. Kerja sama lancar, kerjaan kantor semua lancar, ngedate juga lancar.""Hah? Ngedate? Sama siapa?" Tanyaku terkejut dengan pernyataan Daniel."Ngedate sama Assistant pribadi yang pintar dan cantik.""Uhuk". Aku tersedak. Aku mengambil gelas dan segera meneguk air didalamnya. "Kenapa, Sofi?""Nggak apa-apa, Pak." Aku menghela nafas menenangkan diri."Kayaknya kamu bawa keberuntungan deh, buat aku, Sof.” Ujar Daniel sambil menyantap makanannya.“Biasa aja, Pak. Jangan terlalu berlebihan. Takut saya terbang.” Daniel tertawa. Aku tersipu malu. “Habis ini kita kemana, Pak?” Tanyaku pada Daniel.“Sofi, Please.." Aku menyipitkan mataku tidak mengerti maksud Daniel. "Ini bukan dikantor, Sof. Jangan manggil Pak, dong.” Daniel berbisik persis didekat telingaku. Dadaku berdeg
Seperti biasa, aku masih membawa kotak makan kekantor berisi masakan yang kubuat untukku dan Daniel. Aku mengetuk pintu ruangan Daniel.“Masuk.” Suara Daniel dari dalam ruangan. Aku memasuki ruangan tersebut dan menaruh kotak makan yang kubawa diatas meja dekat sofa, tempat Daniel biasa makan. Daniel masih duduk dimeja kerjanya. “Kamu bawa makanan buatku, Salman nggak marah?” Aku memutar badan menatap Daniel.“Kenapa dia harus marah? Apa hubungan dia dengan saya masak buat bapak?”“Dia kan, pacar kamu.” Tangan Daniel menunjuk kearahku.“Pak, berapa kali Bapak harus nuduh saya? Setelah menuduh, Bapak percaya, setelah itu balik nuduh, dan percaya lagi, dan sekarang nuduh lagi? Bapak nggak capek? Saya aja capek lo, dengernya, Pak! Saya nggak ada hubungan apa-apa sama Salman.Bahkan nggak akan pernah ada hubungan!”“Tapi dia jelas-jelas ngomong begitu didepanku dan kamu. Sofi.”“Dia yang ngomong, Pak. Bukan saya! Please, percaya sama saya. Saya capek Pak dituduh-tuduh terus.”
Aku masih duduk menatap layer computer untuk menyelesaikan beberapa document untuk meeting esok hari. Aku melirik jam dilenganku. Sudah jam 06.00 sore hari. Aku melihat sekeliling kantor, semua staff kantor sudah pulang. Kecuali Daniel yang masih berada dalam ruangannya, dan OB yang masih menyelesaikan tugasnya.“Sofi.” Daniel baru saja keluar dan memanggilku. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum tipis. “kamu belum pulang?”“Belum, Pak. Kerjaan saya belum selesai. tapi ini sedikit lagi, kok.” Aku kembali menatap layer computer.“Besok meeting kita jam 10.00 siang. Kamu masih bisa menyelesaikannya besok pagi. Sekarang kita pulang. Hari udah mulai gelap. Ayo pulang.” Daniel mengulurkan tangannya.“Enggak apa-apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Bapak pulang duluan aja, beneran ini dikit lagi, kok. Biar besok saya bisa nyantai.”“Oke, kalo gitu, aku temenin kamu.” Daniel menggeser kursi dan duduk disampingku. Aku hanya mengangguk dan focus lagi mengetik document yang hampir sele
Beberapa hari ini aku dan Daniel semakin dekat. Setiap hari kami hampir tidak pernah merenggang. Dimana ada Daniel disitu ada aku. Tapi mungkin juga karena aku adalah PA Daniel.“Kamu cantik banget hari ini.” Aku tersipu malu mendengar pujian Daniel ditengah-tengah sarapan kami dalam ruangan Daniel. Sudah menjadi rutinitas untukku menyiapkan sarapan paginya.“Terima kasih. Mungkin karena baju yang aku pakai dibelikan oleh laki-laki yang tulus. Jadi dia yang membuatku terlihat cantik.”“O, ya?” Daniel tertawa kecil. Daniel bergegas menyelesaikan sarapannya. Karena dia harus pergi meeting. Akhir-akhir ini usaha Daniel memang sedang berada dipuncak. Aku Bahagia Daniel bisa sesukses ini. Apalagi, Daniel selalu bilang bahwa aku adalah keberuntungannya.Aku memang mengharapkan kepastian dari Daniel. Aku ingin Daniel mengatakan bahwa dia menyayangi aku tidak hanya sekedar bagian dari keluarganya, melainkan lebih dari itu. Tapi, aku tidak mau berharap lebih. Aku sudah cukup Bahagia
Malam yang begitu indah. Seperti biasa bulan selalu menemani kesendirianku diteras kostan. Mendengarkan bisikanku tentang Daniel. Tentang perasaan yang masih menunggu kepastian darinya. Apa aku yang harus lebih dulu mengungkapakan isi hatiku?Pantaskah seorang perempuan mengungkapkan perasaannya terlebih dulu? Ah, apa tidak terlalu murahan aku sebagai Perempuan?Biarlah, aku sepertinya harus menunggu sedikit lagi waktu untuk tahu bagaimana perasaan Daniel sebenarnya padaku.“Sofi, buka gerbangnya.” Suara dari balik gerbang memanggilku. Aku mendekati gerbang tersebut. Ternyata Rena yang berada dibalik gerbang itu. Aku segera membuka gerbang.“Tumben malem-malem kesini, ada apa?” Tanyaku pada Rena.“Enggak disuruh masuk dulu nih, aku?” Rena menjawab dengan Kembali bertanya.“Oh, iya. Aku lupa.” Aku menggaruk-garuk kepalaku. “ya udah masuk, yuk.” Aku menarik tangan Rena dan membawanya masuk kedalam kamar kostku. Aku menyuruh Rena duduk diatas Kasur. “Ada apa?” Tanyaku penasaran.