Beberapa hari ini aku dan Daniel semakin dekat. Setiap hari kami hampir tidak pernah merenggang. Dimana ada Daniel disitu ada aku. Tapi mungkin juga karena aku adalah PA Daniel.“Kamu cantik banget hari ini.” Aku tersipu malu mendengar pujian Daniel ditengah-tengah sarapan kami dalam ruangan Daniel. Sudah menjadi rutinitas untukku menyiapkan sarapan paginya.“Terima kasih. Mungkin karena baju yang aku pakai dibelikan oleh laki-laki yang tulus. Jadi dia yang membuatku terlihat cantik.”“O, ya?” Daniel tertawa kecil. Daniel bergegas menyelesaikan sarapannya. Karena dia harus pergi meeting. Akhir-akhir ini usaha Daniel memang sedang berada dipuncak. Aku Bahagia Daniel bisa sesukses ini. Apalagi, Daniel selalu bilang bahwa aku adalah keberuntungannya.Aku memang mengharapkan kepastian dari Daniel. Aku ingin Daniel mengatakan bahwa dia menyayangi aku tidak hanya sekedar bagian dari keluarganya, melainkan lebih dari itu. Tapi, aku tidak mau berharap lebih. Aku sudah cukup Bahagia
Malam yang begitu indah. Seperti biasa bulan selalu menemani kesendirianku diteras kostan. Mendengarkan bisikanku tentang Daniel. Tentang perasaan yang masih menunggu kepastian darinya. Apa aku yang harus lebih dulu mengungkapakan isi hatiku?Pantaskah seorang perempuan mengungkapkan perasaannya terlebih dulu? Ah, apa tidak terlalu murahan aku sebagai Perempuan?Biarlah, aku sepertinya harus menunggu sedikit lagi waktu untuk tahu bagaimana perasaan Daniel sebenarnya padaku.“Sofi, buka gerbangnya.” Suara dari balik gerbang memanggilku. Aku mendekati gerbang tersebut. Ternyata Rena yang berada dibalik gerbang itu. Aku segera membuka gerbang.“Tumben malem-malem kesini, ada apa?” Tanyaku pada Rena.“Enggak disuruh masuk dulu nih, aku?” Rena menjawab dengan Kembali bertanya.“Oh, iya. Aku lupa.” Aku menggaruk-garuk kepalaku. “ya udah masuk, yuk.” Aku menarik tangan Rena dan membawanya masuk kedalam kamar kostku. Aku menyuruh Rena duduk diatas Kasur. “Ada apa?” Tanyaku penasaran.
“Selamat pagi, pak.” Aku masuk keruangan Daniel.“Pagi, Sofi. Silahkan masuk.” Aku berjalan menuju sofa. Seperti biasa, setiap pagi aku menyiapkan makanan yang kubawa untuk Daniel. “Silahkan, pak. Sarapannya udah siap. Saya keluar dulu.” Aku melangkah ingin keluar ruangan. “Sofi. Kenapa keluar? Kamu nggak mau nemenin aku makan?” Daniel memanggiku. Aku menyetop langkahku. Daniel berjalan mendekatiku. Aku menunduk tidak ingin melihatnya.Aku masih terlalu sakit mendengar kenyataan, bahwa Daniel tidak memiliki perasaan yang sama untukku.“Ada kerjaan yang harus saya selesaikan, pak.” Daniel mengangkat daguku. Aku mendongak dan melihat wajah daniel dengan jelas didepan mataku.“Kamu kenapa? Kenapa mata kamu bengkak? Kamu habis nangis? Nangis kenapa?” Aku melepaskan tangan Daniel dari daguku.Aku menarik nafas panjang.“Banyak hal yang terkadang orang lain tidak perlu tahu tentang masalah dan perasaan kita, agar kita tidak menyakiti orang tersebut.Atau, kita tidak perlu memperlakukan s
Siang yang sangat panas. Panasnya menembus sampai kehatiku.Aku belum bisa melupakan apa yang Daniel lakukan didepan mataku. Akhir-akhir ini, mulai ada jarak antara aku dan Daniel. Kami hanya bebrbicara jika membahas tentang pekerjaan. Daniel tidak lagi memintaku memasak untuknya. Dia juga tidak pernah lagi mengajakku untuk pulang bersamanya. Harapanku benar-benar pupus.“Mau makan apa, Sofi?” Tanya Rena padaku dikantin kantor.“Nasi opor ayam aja, Ren. Minumnya air mineral aja.” Rena mengangguk dan berjalan menuju ibu kantin untuk memesan makanan. Dari jauh aku melihat kelebat Salman. Dia datang lagi. Sudah seminggu dia rutin datang kesini untuk ikut makan Bersama kami. Aku tidak hanya mulai berdamai dengan Salman, tapi aku juga mengizinkan Salman datang asalkan dia tidak membahas masalah hati lagi. Sapertinya, kami sudah berteman dengan baik.“Haii, Sofi.” Salman menyapaku dan menarik kursi lalu duduk didepanku“Hai, Man.” Jawabku pada Salman. “Kamu enggak mau pesen makan?
Pagi yang sangat cerah. Aku memilih untuk berdiam diri diteras kostan pagi hari.Hari ini, aku izin tidak masuk kantor . Fikiranku masih kacau. Belum selesai aku memikirkan kisah cintaku pada Daniel yang bertepuk sebelah tangan, sekarang Salman menambah serabut dalam kepalaku memikirkan lamarannya. Aku melihat lalu Lalang kendaraan disepan kostanku. Tidak ramai memang, karena kostanku bukan berada dipinggir jalan raya, hanya jalan kecil.Tapi tidak kalah ramai dengan jalan raya. Karena Surabaya adalah kota ramai setelah Jakarta.Aku melirik ponsel yang kugenggam. Lama ia tidak berbunyi menghantar pesan dari Daniel. Namanyapun lama tidak hadir dalam layarku. Kala itu, Daniel pernah mengatakan rindu, apakah ia rindu padaku sama seperti ia merindukan Rena? Tapi rasanya, jangankan untuk mengatakan rindu pada Rena, menghubungi Rena saja Daniel sangat jarang. Lantas kenapa perasaannya harus sama pada kami berdua? Atau memang, Farah masih menguasai hati Daniel? Ah, Aku semakin pelik
Malam ini hujan turun, aku tidak bisa memandang bulan yang indah bersama gemintang yang mengitarinya. Sejak pulang dari kantor, aku malas bangun dari tempat tidur. Fikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran pada kondisi Daniel. Aku ingin menjenguknya, tapi Rena melarangku. Katanya, Daniel tidak mengizinkan aku menemuinya. Sebenci itukah Daniel padaku, sampai melihat wajahku saja dia tidak mau.Dua hari sudah Daniel tidak masuk kantor, aku ingin tahu keadaannya. Aku merindukannya.Kring kring..Aku melirik ponselku yang berdering. Layarnya menyala. Aku terkejut melihat nama yang tampil dilayar ponsel, ternyata Bibi menelponku. Padahal, biasanya tidak sekalipun dia menelponku kecuali aku yang menelponnya lebih dulu.“Iya Bi..” Aku menyapanya.“Kamu apa kabar, Sofi?” Tanya Bibi dari dalam posnel.”“Baik, Bi. Bibi apa kabar sama keluarga disitu? Tumben nelpon, Sofi.”“Disini semua baik. Bibi cuma mau bilang, kalau kami udah nerima lamaran Salman seperti yang kamu pesankan.”“Apa?” Ak
Kring kring.. Ponselku berdering. Aku melirik ponselku ditepi ranjang. Aku terperanjat seketika bangun karena melihat nama Daniel terpampang disana. "Hallo.." Aku menjawab telpon Daniel. "Morning, Sofi." Jawab Daniel dari dalam telpon. "Morning, Mas. Gimana kabar Mas sekarang? Udah sehat?" Tanyaku penuh kekhawatiran. "Mendingan. Kamu gimana kabarnya? Nggak main-main kesini?" Aku lega mendengar kabar Daniel. Tapi aku mendadak tidak dapat bersuara. Sadarkah Daniel menanyakan itu padaku. Bukankah Daniel yang tidak mengizinkan aku untuk datang kerumahnya? Atau, ini hanya basa-basi belaka. "Sofi." Panggil Daniel memintaku bersuara. "Iya, Mas." Jawabku. "Bisa dateng kesini hari ini? Bawa file dan document yang harus saya baca dan tanda tangani." Jelas Daniel memerintahku. "Baik, Mas." Jawabku tanpa perlawanan. Sementara mataku melirik jam dinding kamar. Masih jam 06.00 pagi. "Saya akan kekantor jam 07.00, Mas. Dari kantor saya langsung kerumah Mas buat bawa semua yang Mas minta
'Pagi ini, aku melangkah meniti asa. berharap jalan menuju hatimu masih ada.Aku tertatih membawa raga, hampir putus asa.Deru angin pagi ini sangat kencang. Dia memaksaku untuk menyerah. Tapi hati ini terus meronta.Daniel, Kenapa aku dan kamu tidak bisa Bersama?Sekerdil inikah aku, hingga tak mampu menggapaimu.Atau memang, kau yang ingin menjauhiku?Jika iya, betapapun aku merakit tali temali takdiruntuk membersamaimu, ia akan putus oleh tajamnya ketidak perdulianmu pada perasaanku.Haruskah aku melepas semua namamu dialiran darahku, denyut nadiku, jantung yang berpacu, hingga hati yang tak pernah ragu mencintaimu. Ah, kamu terlalu jauh.'Aku masih duduk dengan tatapan kosong. Aku masih berharap semua ini mimpi. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini.Aku tidak mungkin bisa hidup bersama orang yang tidak aku cintai. Sementara Daniel masih menguasai hatiku saat ini.Tapi, ‘Daun Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin’. Judul novel itu yang selalu ku ulang-ulang dalam otakku.