Share

3 permintaan

“Eughk...,” lenguhku yang baru saja terbangun dari pingsannya. Di sofa samping ranjangku, ku lihat bang Rafan yang tengah bersandar dengan kedua tangan yang berada di dadanya.

“Adek udah sadar?” tanya Bang Rafan yang baru saja terbangun dari duduknya karena mendengar lengukanku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.

“Aws..., kepalaku,” ucapku sambil memegangi kepala yang tera sakit, ketika aku hendak membenarkan posisiku menjadi duduk.

“Kepalanya masih sakit? Udah istirahat dulu aja, jangan terlalu banyak pikiran,” ucapnya hendak menidurkanku kembali.

“Cuma dikit kok, enggak papa,” sanggahku yang kekeh ingin duduk. Akhirnya Bang Rafan menuruti keinginanku, dan membantuku untuk duduk.

“Dasar keras kepala,” celotehnya, aku hanya memasang bola mata jengah.

“Jam berapa?” tanyaku.

“18.30,” jawab Bang Rafan  sembari melihat arlojinya.

“Astagfirullah, Ana belum Shalat,” ucapku. Sejak kecil, Abi selalu mengajarkan anak-anaknya untuk melaksanakan Shalat lima waktu tepat waktu karena, Shalat itu tiangnya agama dan wajib bagi setiap orang untuk melaksanakannya. Jika anak-anaknya tidak melaksanakan Shalat,  Abi tidak akan memberi kami uang jajan. 

“ Ya udah, sana Shalat dulu, nanti keburu isya,” suruh Bang Rafan. Aku pun mulai beranjak dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

”Abang udah Shalat? “ tanyaku sebelum masuk kamar mandi.

“Udah, tadi berjamaah ke mesjid sama Abu. Abang ke bawah dulu ya, kalau Ana butuh sesuatu panggil aja Abang,” pesannya. Aku masuk ke kamar mandi setelah bang Rafan berlalu pergi meninggalkan kamarku. 

Jam menunjukkan pukul  19.15. Terdengar suara ketukan dari luar.

“Masuk aja, enggak di kunci kok,” seruku di dalam kamar. Tak lama, muncullah bang Rafan dari balik pintu.

“Masih ada yang sakit, enggak?” tanya bang Rafan yang kini tengah duduk di tepi ranjang milikku.

“Enggak, kok,” jawabku dengan gelengan kepala.

“Syukurlah. Ayo kita makan malam, Abu sama Ummah udah menunggu di bawah,” ucap Bang Rafan yang hendak berdiri.

“Abang,”

“Iya, kenapa?” tanya Bang Rafan

“Apa kita jadi pulang?” tanyaku menatap Bang Rafan yang kini tengah berada di depanku.

“Jadi, Cuma enggak tahu kapan. Nunggu Ade mendingan dulu, baru kita pulang,” tuturnya.

“Kalau Ade masih belum sembuh, gimana?” tanyaku dengan mengangkat sebelah alis.

“Kalau kamu masih sakit, Abang akan tetep bawa Adek pulang, kita cari Dokter baru yang bagus di Indonesia, atau kita pulang pergi ke negara lain juga enggak masalah. Berapa pun biayanya, Abang bakalan usaha in, yang penting Adek Abang ini bisa kaya dulu ,” jelasnya panjang lebar.

“Yang benar ah, Abang kan sibuk, enggak ada waktu buat Ana,” jawabku ketus. Pasalnya, Abang itu orang yang rajin dan pekerja keras. Setiap harinya ia akan sibuk dengan pekerjaannya. Hanya hari libur aku dan Abang bisa bermain bersama, itu pun jarang.

“Benar dong, masalah uangmah kecil.  Abang kerja dari pagi sampe malem kalau bukan buat keluarga buat siapa lagi. Apalagi buat kamu, nyawa aja Abang rela berkorban,” ucapnya sambil terkekeh.

“Lebay,” aku cubit perutnya hingga Bang Rafan meringis kesakitan.

“Udah ah, ayo makan dulu, nanti kamu sakit lagi. Kasihan Abu sama Ummah udah nunggu dari tadi,” ucap Bang Rafan sembari menarik tanganku untuk pergi.

Kamipun pergi keruang makan untuk makan malam bersama. Satu persatu anak tangga aku lalui. Tangan kekar bang Rafan setia menggandengku dari kamar hingga sampai di ruang makan. Ummah sudah mulai mengalas nasi dan lauk pauk di piring Abu. Lalu, aku duduk di samping Ummah, dan bang Rafan duduk berhadapan dengan Ummah.

Makan malam berlangsung dengan Hidmat. Tidak ada percakapan diantara , karena Abu sangat tidak suka jika ada orang yang makan sembari bercakap-cakap. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring. 

Makan malam pun selesai. Aku hendak membantu Ummah untuk membereskan piring kotor ke dapur, tapi Ummah malah melarangku.

“Biar Ummah aja, Adek istirahat,” pinta Ummah.

“Enggak papa, Ummah. Biar Adek bantu. Ade enggak papa kok,” tentangku.

“Sudah, Ana istirahat saja, biar Ummah saja yang beresin. Ada yang ingin Abu bicarakan juga,” pinta Abu. Aku langsung duduk kembali karena tak berani melawan perintah Abu. Bagiku, perintah Abu itu bersifat wajib, tidak ada kata tidak untuk menolaknya. Karena Abu itu tipikal orang yang tidak suka di bantah. 

Kami pindah ke ruang keluarga yang tak jauh dari dapur. Ummah masih setia dengan pekerjaannya di dapur, sedangkan Aku, Abu dan bang Rafan Sudah duduk di sofa empuk ruang keluarga.

“Besok Abang anter Konsultasi lagi ya,” ucap bang Rafan, memecah keheningan.

“Iya, Adek di anter Abang aja besok, soalnya Abu sama Ummah ada urusan di luar,” tutur Abu.

“Enggak usahlah, Adek baik-baik saja kok, Abu” tolakku.

“Pokoknya besok Adek di anter Abang pergi lagi ke psikiater,” tegas Abu.

“Tapi Ana enggak suka  ke psikiater,” rengekku pada Abu, berharap Abu akan membatalkannya.

“Ana!” Abu menatapku dengan mata tajam.

“Baiklah,” lirihku memasang muka cemberut.

“Makanya kalau enggak mau pergi ke psikiater, Adek harus sembuh, Jangan kek gitu,” ledek Bang Rafan.

“Ana baik-baik kok, Abang,” ucapku. Bang Rafan hanya berohria.

“Kalian jadi pulang kapan?” tanya Abu menatapku dan Bang Rafan silih berganti.

“Abang sih maunya besok lusa, soalnya kerjaan udah numpuk dan banyak berkas yang harus di tandatangani. Tapi liat kondisi Adek dulu kayanya,” jawab bang Rafan.

“Gimana, udah ngabarin Abi kamu belum, kalau kepulangannya di undur?” tanya Abu.

“Udah, tadi Abang yang telepon ke Abi,” jawab bang Rafan.

“Baguslah. Ya sudah, Adek istirahat sana. Abi juga mau istirahat juga, capek,” seru Abu.

“Ya udah Abu, Adek ke kamar dulu,” izinku, lalu pergi menaiki anak tangga, untuk bisa sampai ke kamar.

“Anter jangan?” terik bang Rafan dari ruang keluarga.

“Enggak usah, Ana bisa sendiri kok,” tolakku sembari menoleh ke sumber suara.

“Obatnya jangan lupa di minum,” ucap bang Rafan yang kini tengah berdiri.

“Iya,” ucapku kembali berbalik ke arah bang Rafan yang kini tengah menatapku.

“Adek, cepet!” kesal Bang Rafan yang tengah menungguku bersiap-siap di depan pintu.

“Iya, bentar,” jawabku setengah berteriak. Aku buka pintu dan aku lihat bang Rafan yang sedang berdiri dengan wajah kesalnya karena bosan menungguku.

“Lama banget sih,” ketus Bang Rafan. Pasalnya bang Rafan itu orangnya disiplin enggak kaya aku, orangnya ngaret.

“Iya, maaf. Kaya enggak tahu cewe aja,” jawabku. Bang Rafan masih setia wajah kesalnya. Tidak ada jawaban dari Bang Rafan.

“Abang ih, maaf,” ucapku sembari menggoyangkan tangannya yang sudah berada di depan dadanya. 

“Abang, jangan kek gitu mukanya jelek kaya Donald bebek, Adek enggak suka,” ucapku, berharap bang Rafan tertawa karena ucapan ku dan kembali memaafkanku. Bukannya memaafkan, Bang Rafan malah memasang tatapan tajam ke arahku.

“Abang ih, jangan diemin Ana dong,” ucapku kembali menggoyangkan tangannya. Akan tetapi, bang Rafan malah memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Adek kasih 3 permintaan, tapi Abang maafin Adek ya,” usulku asal.

“Oke, Abang setuju. Adek Abang maafin, dan Adek harus ngabulin 3 keinginan abang. Awas aja kalau bohong, Abang kasih hukuman,” ucapnya sembari menyodorkan kelingkingnya.

“Iya, tapi Abang jangan diemin Adek, marahin Adek, pokonya jangan ngelakuin yang Adek enggak suka, gimana?” saranku sebelum menautkan jari kelingkingku ke kelingking bang Rafan.

“Oke, setuju,” seru Bang Rafan yang langsung menyambar jari kelingkingku.

“Oke,”

“Ayo berangkat, nanti keburu siang. Kitakan belum siap-siap buat pulang nanti sore,” ucap Bang Rafan.

“Emang kita jadi pulang nanti lusa!” tanyaku. Pasalnya kemarin bang Rafan menyerahkan keputusan itu padaku.

“Iya dong, jadi. Itukan salah satu  permintaan Abang yang pertama,” Ucapnya beranjak pergi meninggalkanku.

“Loh, kok Abang gitu. Jangan-jangan Abang kibulin Ana lagi?” tanyaku sembari berlari mengejar bang Rafan.

“Mungkin,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku.

“Abang curang,” kesalku yang kini tengah berada di samping Bang Rafan.

“Sudahlah adekku sayang. Kitakan sudah membuat perjanjian barusan, dan Adek pun menyetujuinya,” jawab bang Rafan sembari merangkul pundakku.

“Ta,” ucapku terpotong.

“Adek tahukan, kalau janji itu adalah,” ucapnya sembari mengangkat sebelah alisnya.

“Hutang,” lirihku.

“Anak pintar,” ucapnya sembari mengusap-usap pucuk kepalaku. Aku hanya berohria mendengar penuturannya.

“Anak pintar,” ucapnya sembari mengusap-usap pucuk kepalaku. Aku hanya berohria mendengar penuturannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status