Share

Back to Indonesian

1 bulan kemudian.

Headset yang masih mengumpal di kedua telingaku. Gurun di Senja hari yang cerah, memancarkan sinar oranye ke segala penjuru pandangan, yang bisa membuat setiap orang terhipnotis dan terpesona. Bulan yang Menikmati keindahan hamparan pasir dan bulan yang termenung menikmati embusan angin, yang dapat membuat wajah tertepa olehnya. Aluran musik instrumental yang berasal dari handphone menjadi soundtrack yang begitu serasi dengan keadaan sekitarnya. 

Tak terasa, waktu melesat dengan begitu cepat. Dulu aku hannyalah seorang putri manja keluarganya. Berbeda dengan sekarang, si manja yang dulu kini menjelma menjadi putri yang mandiri yang mampu menopang tubuhnya agar tetap tegar berdiri dan melangkah di atas kerasnya hidup di dunia tanpa kasih sayang kedua orang tua. Meski sifat manjanya ini sering kambuh ketika berada bersama keluarganya.

Berat rasanya jika harus meninggalkan tempat ini. Begitu banyak cerita di sini. Suka dan duka sudah aku rasakan di sini selama aku SMA hingga sekarang aku lulus dengan gelar S1 di Kairo. Tempat yang bertahun-tahun membuatku bersemangat untuk menjalankan hidup setelah keterpurukkan di masa lalu.

Apakah semua kisah kasih yang sudahku rajut selama ini di sini harus aku tinggalkan begitu saja? Sungguh, ini sangat sulit untukku. Aku harus meninggalkan negara yang telah menyembuhkanku dari luka masa lalu dan aku harus menetap di negara yang membuatku luka selama bertahun-tahun, meskipun aku tahu jika itu adalah negara kelahiranku tapi tetap saja rasanya sangat sulit. 

Sering kali memori di masa itu terputar kembali dalam pikiranku saat aku berada di negara kelahiranku, Indonesia. Ketika aku mulai mengingatnya, kepalaku sakit seperti di tusuk pisau yang tumpul, hatiku perih seperti luka yang di taburi garam dan air keras, tubuhku lemas seperti tak mempunyai tulang. Akankah aku merasakannya kembali?

‘Oh tuhan, aku tidak ingin pergi dari tempat ini, tapi aku juga tidak ingin membuat orang tuaku kecewa,' ucap batinku dengan mata terpejam.

"Dek!" panggil seorang laki-laki yang berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak berniat menoleh ke sumber suara dan memilih fokus ke arah jendela.

“Dek!” panggilnya lagi.

"Iya, kenapa?" ucapku sekilas menoleh ke sumber suara. Terlihat bang Rafan, yang kini tengah berada di ambang pintu.

"Udah siap-siapnya belum?" tanya bang Rafan yang masih berada di ambang pintu.

"Udah kok, bang!" jawabku datar tanpa menoleh ke sumber suara.

"Lagi ngapain, hah?" bukannya menjawab, ia malah balik bertanya. Perlahan, kakinya mulai melangkah mendekatiku dan duduk di sampingku. Tangannya mulai mendongkak kepalaku supaya aku dapat menatapnya.

"Enggak lagi ngapa-ngapain, kok. Cuma liat in pemandangan aja," lirihku, kembali menatap ke luar jendela. Saat ini aku tepat berada di depan jendela yang mengarah ke arah perkotaan yang padat. Kebetulan, kamarku berada di lantai atas jadi semua pemandangan di sekitar rumah dapat ter ekspos dengan jelas. Tak tegak rasanya, jika aku harus meninggalkan tempat ini, apalagi Abu dan Ummah.

“Coba sini liat Abang! Kan yang ngomongnya ada di sini bukan di luar,” ucapnya sembari membenarkan posisi dudukku yang tadinya bersebelahan dengannya sekarang menjadi berhadapan.

“Hem...,”

"Abang ke sini untuk bawa Adek pulang, bukan mau buat Adek sedih. Coba jujur, Adek kenapa? kok sedih, sih?" tanya bang Rafan yang melihatku sedih. Ia lalu duduk di sebelahku dan perlahan mendongak wajahku agar menatapnya.

"Adek enggak papa, kok," jawabku sembari di barengi gelengan kecil.

"Jangan bohong! Kenapa, hah? Ade enggak mau pulang ke Indonesia bareng Abang?” tanyanya sembari mendongkak kepalaku yang sedari tadi menunduk.

“Bukan gitu,” jawabku

“terus?” tanya bang Rafan sembari menaikkan sebelah alisnya.

“Ana,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, bang Rafan dengan gesitnya memotong.

“Ana kenapa? Sakit? Mana yang sakit? Kasih tahu Abang mana yang sakit? Adek sakit ap...,” cerocos bang Rafan yang membuatku kesal tingkat akut. 

“Abang!” ucapku sedikit berteriak agar bang Rafan berhenti berceloteh. 

“Oke, maaf,” ucapnya sembari mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V.

“Jadi, Adek tuh kenapa?” sambungnya.

“Ana takut tidak bisa mengontrol diri Ana di sana, bang. Ana enggak kuat,” lirihku.

“Adek kan di sini udah konsultasi ke psikiater beberapa tahun, Bukannya udah sembuh?” tanyanya.

“Iya, memang, tapi ketika Abi menyuruh Ana untuk kembali ke Indonesia, memori itu kembali lagi, dan itu sangat menyakitkan bagi Ana, sampai-sampai Ana harus meminum obat Ani nyeri,” lirihku. Tak terasa buliran likuid jatuh dari pelupuk mata.

“Ayolah Dek, jangan terus membebani pikiranmu sendiri. Lupakan semuanya, lagi pula kejadian itu juga sudah 6 tahun yang lalu. Cobalah untuk melupakannya,” ucapnya. Kedua tangannya menungkup wajahku dan mengusap derai air di pipiku.

“Ana udah mencobanya, bang, tapi tetap saja itu sangat sulit bagi Ana. Hiks...,” jawabku dengan di barengi isakan.

“Sudah, jangan menangis lagi. Abang enggak suka kalau liat Adek nangis,” ucapnya. Di bawalah aku dalam dekapan hangatnya. Tangisku semakin menjadi di dekapan bang Rafan. Bang Rafan mengeratkan pelukannya ketika mendengar tangisanku semakin menjadi.

“Aw..., Hiks...,” Rintihan sakit terlontar dari mulutku secara tiba-tiba tatkala memori itu berputar di pikiranku.

“Dek, kamu kenapa?” tanya bang Rafan, khawatir. Melihatku yang kesakitan, bang Rafan sangat panik dan ia ikut menangi dengan posisi masih memelukku. 

“Sakit, Bang. Aw...,” teriakku histeris sembari memegang kepalaku yang terasa sakit. Karena tak kuat menahan rasa sakit, akhirnya aku tak sadarkan diri di pelukan bang Rafan.

“Dek!” panggil bang Rafan sembari menepuk-nepuk pipiku yang sembab karena menangis. Karena tidak mendapat respons dariku, bang Rafan langsung menggendongku dan membaringkanku di atas ranjang king size.

“Abu, Ummah!” teriak Rafan setengah keluar dari ambang pintu, berharap jika Abu dan Ummah mendengar seruannya.

Belum sempat bang Rafan bicara, Abu sudah mendahuluinya dengan berbagai macam pertanyaan.

“Ada apa? Kenapa Abang teriak-teriak? Kasian Ana nanti bangun karena teriakanmu,” tanya Abu, khawatir. Abu belum sadar jika sesuatu telah terjadi pada mereka.

“Iya, Abang kenapa? Abis nangis ya?” tanya Ummah sembari mengamati setiap inci muka bang Rafan yang tengah berdiri di samping ranjangku.

“Loh, Adek juga kenapa itu? Kok pipinya sembab seperti orang yang sudah menangis,” lanjut Ummah setelah melihat ke arahku. Ummah berjalan mendekatiku yang sedang terbaring di ranjang.

“Ummah, Adek pingsan,” ucap bang Rafan.

“Loh, kenapa enggak ngomong dari tadi bang,” omel Abu sembari mengitari ranjang untuk mengecek keadaanku bersama Ummah.

“Mau gimana Rafan ngomong, kalau dari tadi Abu sama Ummah enggak kasih izin Rafan buat ngomong,” kesal Rafan.

“Abu, cepet telepon dokter  Kanaya,” pinta Ummah pada Abu. Abu pun langsung keluar untuk menelepon dokter Kanaya. Setelah selesai menelepon, Abu langsung masuk ke dalam kamar kembali.

Dokter Kanaya adalah dokter keluarga Abu Hamka. Tak hanya dokter keluarga, dokter Kanaya juga merupakan kerabat dekat Abu, tepatnya anak dari adiknya Abu. Selama ini, dokter Kanaya lah yang membantu pengobatanku selain dari dokter psikiater di sini.

“Ummah, apakah Adek sering seperti ini?” tanya bang Rafan yang tengah duduk di tepi ranjangku.

“Udah sekian lama sih enggak pernah kaya gini lagi. Tapi setelah Miftah menelepon Adek untuk menetap di Indonesia, Adek sering mengalami seperti ini lagi. Entah apa penyebabnya, Ummah juga kurang tahu. Mungkin karena mental Adek belum siap untuk tinggal di negara yang membuatnya trauma, jadi Ana seperti ini,” jelas Ummah panjang lebar.

“Kenapa Abu sama Ummah enggak kasih tahu Abang kalau Adek sering kaya gini,” desak Rafan.

“Tadinya Abu sama Ummah juga ingin kasih tahu, Cuma Adek bilang enggak usah takutnya kalian di sana pada khawatir. Sampai-sampai Adek mengancam Abu sama Ummah, jika kami beri tahu kondisinya ia enggak mau berobat lagi. Dari pada gitu, lebih baik Abu dan Ummah tutup mulut aja,” jawab Abu tak kalah panjang dan lebar.

“Assalamualaikum,” ucap dokter Kanaya yang tiba-tiba muncul di balik pintu. 

“Waalaikumsalam,”

“Ana kenapa lagi, Ummah?” tanya dokter Kanaya yang sekarang tengah berada di sampingku dan siap untuk memeriksaku.

“Biasalah, Kay. Si memori buruk datang tiba-tiba,” celetuk Abi.

“Ya sudah, Kay izin periksa dulu, ya,” izin Kanaya. Mereka hanya mengangguk setuju. 

“Bagaimana, Kay?” kali ini Rafan yang bertanya.

“Tenang aja Raf, Ana enggak papa kok. Udah aku kasih obat penenang juga, bentar lagi juga sadar,” jawab Kanaya.

“Memangnya tidak ada obat yang langsung buat Ana sembuh apa, Kay?” tanya Rafan.

“Mana ada bang, semua butuh proses. Tapi kalau Ana sendiri bisa melupakannya dan mengikhlaskannya mungkin bisa sedikit membantu,” jawab Kanaya.

"Ya sudah, kalau gitu Kay izin pergi, soalnya masih ada pasien yang sudah nunggu Kay. Oh, iya, itu obatnya jangan lupa di minum dan jangan dulu mengungkit masa lalunya, kasihan Ana,” pesan kanannya pada mereka. 

“Makasih ya, Kay,” ucap Rafan.

“Iya, sama-sama. Ya udah, Kay pergi dulu, ya, assalamualaikum,” ucap Kanaya, berlalu pergi dari kamaku.

“Hati-hati,” pesan bang Rafan. Kanaya hanya membalas dengan acungan jempol.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Harsia
Seruuuu seruuuuuu............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status