Share

Cinta karena benci
Cinta karena benci
Penulis: Mustatirr

Telepon dari Abi

Dret... Dret... Dret...

Tiba-tiba handphone ku berdering. Aku yang merasa handphone berdering pun langsung mengambilnya dan terlihat nama 'Abi sayang' tertera di layar ponselku. Lalu aku langsung menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel tersebut di telingaku.

"Tumben sekali Abi meneleponku," gumamku dalam hati.

"Assalamualaikum, Sayang," terdengar ucapan salam dari seorang laki-laki paruh baya di seberang sana. Siapa lagi jika bukan Miftah Hengkara, Abi ku.

"Waalaikumsalam, Abi," jawabku girang, "bagaimana kabar Abi di sana? tumben, Abi menelepon Ana?" sambungku.

"Alhamdulillah, Abi baik. kamu sendiri, bagaimana?" tanya Abi .

"Alhamdulillah, Ana juga baik, Bi," jawabku.

"Abi doang nih yang di tanya kabar?" sambung Aisyah Hengkara, Umi ku.

"Eh, Umi sayang. Ana kira Umi enggak ada, hhhe. Gimana kabar Umi, baik kan?" jawabku tak berdosa.

"Alhamdulillah, Umi juga baik," jawabnya.

"Oh, iya, bang Rafan ke mana? gimana kabarnya?" tanyaku, penasaran. Biasanya, jika umi sedang meneleponku, pasti bang Rafan yang selalu rusuh.

"Ada tuh di kamarnya, lagi ngurusin berkas kantor!" jelas Abi.

"Mau Umi panggil in?" usul Umi.

"Eh, enggak usah, mi. Biarin aja abangnya fokus dulu kerja. Nanti juga kalau Abang rindu, pasti bakal telepon Ana, kok. Salamnya aja buat bang Rafan," tolakku pada Umi, karena takut mengganggu pekerjaan bang Rafan.

"Iya, nanti Umi, salam in sama Abang,"

"Oh, iya, ada apa Abi telepon Ana? Tumben banget. Biasanya juga Umi atau bang Rafan yang suka telepon Ana," tanyaku, karena tidak seperti biasanya Abi meneleponku. Pasalnya, Umi lah yang selalu meneleponku.

"Tidak ada apa-apa kok. Cuma lagi rindu aja sama anak Abi yang satu ini," ucap Abi padaku, yang mampu membuatku terkekeh.

"Jujur saja lah, Bi. Tidak perlu gombalin Ana segala. Ana juga sudah tahu, jika Abi seperti ini, Abi pasti lagi ada maunya sama Ana. Iya kan?" desakku pada Abi. Ya, seperti ini lah Abi, ia akan mengeluarkan semua kata-kata manis jika sedang ada inginnya.

"Wah, anak Abi ini sudah pandai ternyata, hhha," ucap Abi sambil tertawa.

"Ya iyalah, masa mau gitu-gitu aja, hhha," jawabku sembari tertawa, " sudahlah Bi, katakan saja, apa yang Abi inginkan!" desakku pada Abi.

"Jadi begini, Nak, kamu kan sudah lama tinggal di Kairo bersama Abu dan Ummah. Apakah kamu tidak merindukan Umi dan Abi di sini? Tak inginkah kamu pulang ke kampung halamanmu? Atau jangan-jangan kamu sudah melupakan semuanya?" tanya Abi bertubi-tubi. 

Abu dan Ummah adalah orang tua Umi Aisya. Ya, Umi berasal dari Kairo. Umi tinggal di Indonesia karena mengikuti Abi sebagai suaminya. Abi tidak bisa tinggal di Kairo karena Abi memiliki beberapa perusahaan besar di Indonesia, yang tidak bisa di tinggalkan begitu saja. Apalagi perusahaan tersebut Abi sendiri yang rintik dari nol.

"Bukan gitu, Abi. Bukannya Ana sudah melupakan Abi dan Umi atau kampung halaman Ana. Lagi pula, Ana kan 6 bulan lalu baru saja pulang. Nanti juga, jika sudah waktunya, Ana juga akan pulang menemui Abi dan Umi,"

"kapan?" tanya Abi kembali.

"Entahlah, Bi. Ana juga belum tahu, Ana masih betah tinggal di sini bersama Abu dan Ummah. Abi juga tahu kan kalau  beberapa bulan lalu Ana baru saja diterima sebagai pekerja tetap di sebuah perusahaan di sini. Masa Ana harus keluar, kan sayang, Bi," jelasku panjang lebar pada Abi. Berharap jika Abi tidak mempermasalahkan hal ini.

"Iya, Abi juga tahu. Tapikan di sini juga bisa. Jika kamu tidak ingin bekerja di kantor Abi dan membantu abangmu, Abi bisa mengenalkan mu dengan sahabat Abi," bujuk Abi.

"Perasaanku mulai enggak enak nih," gumamku dalam hati.

"Pulanglah, dek! Bantu Abang di sini! Emangnya Adek enggak kasihan apa sama Abang?" kali ini bang Rafan yang bicara.

"Kasihan Abangmu, sayang. Dia udah cape mengurus perusahaan Abi sendirian," jelas Umi

"Biasanya juga kan Abang kerja suka sendiri, enggak suka kalau Ana bantu. Abang ingat gak, dulu aja Ana mau bantu in suka di larang sama Abang. Kenapa sekarang malah menyuruh Ana buat nemenin?" tanyaku.

"Itu kan dulu, dek. Sekarang mah udah beda lagi!" ucap bang Rafan.

"Beda dari mananya, Abang?" protesku

"Ya bedalah, sayang. Dulu kan Adek masih kecil, sekarang mah kan udah besar, jadi beda." jelas bang Rafan.

"Sama aja kali, bang," tegasku.

"Ih, bedalah, dek. Kalau dulu Adek itu masih sekolah, jadi Abang enggak mau ganggu sekolah kamu. Nah, sekarang kan sekolahnya udah lulus, jadi Abang minta bantuan kamu," jelas bang Rafan panjang lebar.

"Tapikan, bang," ucapanku terpotong.

"Ayolah, dek. Abang jemput deh," rayu bang Rafan.

"kok jadi maksa gini!" ujarku.

"Bukannya Abang maksa, sayang." lirih bang Rafan.

"Lah, terus apaan kalau bukan maksa?" ketusku pasalnya aku terasa terpaksa.

"Nyuruh," dengan ringannya bang Rafan berkata.

"Dulu aja, giliran Ana enggak betah di sini dan mau pulang ke Indonesia, enggak boleh. Lah, sekarang, Ana udah betah di sini sama Abu dan Ummah malah di suruh pulang. Egois banget, sih," kesalku.

"Berarti, Adek juga egois dong," timbal bang Rafan.

"Loh, kok Ana?" tanyaku, kesal.

"Ya, iyalah, Adek!" ucap bang Rafan yang mulai kesal. Terdengar dari suaranya yang mulai bernada tinggi.

"Abang lah," ucapku tak mau kalah.

"Adek lah,"

"Abang,"

"Adek,"

"Ih, Abang,"

"Udah-udah, apaan sih kalian ini, kok malah ribut!" ucap Abi, menengahi perdebatan ku dan bang Rafan.

"Abangnya aja nyebelin, egois,"

"Loh, kok malah nyalahin Abang lagi?"

"Ya, terus, Ana harus salah in siapa, Abi? Umi? toh, yang Salakan Abang," cibirku.

"Adek lah,"

"Abang lah,"

"Adek,"

"Abang,"

"Astagfirullah, udah pada gede juga masih aja berantem, enggak malu apa, hah?" kali ini Umi, angkat bicara.

"Gara-gara Adek, sih. Di marah in kan jadinya," sambung bang Rafan.

"Loh, kok Abang malah nyalahin Ana lagi, sih," kesalku

"Memang Adek yang...," ucap bang Rafan yang terpotong oleh Umi.

"Kata Umi kan udah, kenapa masih di lanjut in!" Kesal Umi.

"Adeknya, Mi, ngeselin," adu bang Rafan pada Umi.

"Udah tahu, adeknya kek gitu, masih aja di layani. Udah gede, bukannya ngalah," ucap Umi.

"Dengerin tuh, bang," ucapku dengan bangga karena di bela oleh Umi.

"Adek juga, kalau abangnya ngomong, jangan di bantah," ucap Abi padaku.

"Kedengaran gak, dek?" ledek bang Rafan, yang merasa di bela oleh Abi.

"Ngeselin!" cibirku. 

"Tuh kan, Abi denger sendirikan Adek ngomong apa!" adu bang Rafan pada Abi.

"Ana sayang, sudah ya, jangan membantah lagi. Ana tahukan dosa membantah orang tua seperti apa. Jadi, dengan mohon, Abi menyuruh Ana untuk pulang ke Indonesia. Bantulah Abang Ana di sini, kasihan dia capek mengurus semua perusahan di sini. Apa Ana tidak kasihan pada Abi dan Abang? Lagipula kuliah Ana kan sudah lulus 2 bulan yang lalu. Jadi, tidak ada malah kan?" ucap Abi panjang lebar.

"Pekerjaan Ana bagaimana?" tanyaku.

"Ana kan bisa berhenti." titah Abi.

"Tapi, Abi," bantahku.

"Tidak ada tapi, Ana sayang. Keputusan Abi udah bulat. 1 minggu lagi Abang akan menjemput Ana ke sana sembari silaturahmi kepada abu dan Ummah," ucap Abi.

"1 minggu lagi? Ayolah Abi, berikan Ana waktu lebih lama di sini. Semua terlalu mendadak untuk Ana," lirihku.

"Mendadak bagaimana, bukannya bang Rafan, sudah mengingatkan Ana dari satu bulan yang lalu?" ucap Abi.

"Benar kok, Abi, Rafan sudah mengingatkan adek dari 1 bulan yang lalu," timbal bang Rafan.

"Ana kira bang Rafan cuma becanda waktu itu," jawabku.

"Jadi benarkan bang Rafan sudah memberi tahu Ana 1 bulan yang lalu. Berarti keputusan Abi udah bulat yah, Ana pulang ke Indonesia 1 minggu lagi,"

"Abi sayang, ayolah kasih Ana perpanjangan waktu, jangan 1 minggu. 1 bulan aja gimana? Ayolah, Bi," rengek ku pada Abi.

"Deal, 1 bulan. Tidak ada alasan lagi. Biar nanti bang Rafan yang mengurus kepulangan mu," ucap Abi.

"Baiklah," lirihku.

"Ya, sudah, kalau begitu, Abi tutup telponnya. Jaga diri baik-baik. assalamualaikum," ucap Abi di sebrang sana, sembari mematikan telponnya.

"Waalaikumsalam," jawabku, ketika telpon sudah mati.

###

1 bulan kemudian

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status