Share

Pulau Karampuang

Sepasang suami-istri itu tengah menikmati makan pagi yang terlanjur siang di warung dengan sangat menikmati. Mereka saling berkomentar tentang cita rasa masakan yang baru kali pertama dicoba. Bahkan Jojo yang masih merasa belum kenyang, membuka buku menu lagi. Ia penasaran dengan sebuah gambar yang menampilkan makanan dibungkus dengan daun pisang. 

"Golla kambu," ucap Jojo. "Ndok, tolong pesan ini seporsi. Kamu mau tambah makanan lainnya nggak?"

"Hmmm apa itu, Mas, golla kambu?"

"Entah. Kayanya menarik. Makanya kita harus coba."

"Ya sudah, aku pesan es pisang ijo. Tapi, bantu habiskan, ya, Mas?" Jojo mengangguk menanggapi. Sari segera memanggil pelayan dan memesan lagi. 

Tak lama, seorang pelayan telah menyajikan sepiring kue yang mereka sebut golla kambu dan segelas es pisang ijo. Keduanya segera membuka daun pisang yang membungkus kue itu. 

"Kayak wajik," ucap Sari. Jojo setuju dengan pendapat istrinya. Ia pun segera mencicipi kue yang terasa manis itu tetapi memiliki cita rasa yang berbeda dari wajik. Ada rasa kacang sangrai serta kelapa parut disetiap gigitnya. 

"Hmmm… enak ini, Ndok. Beda dari wajik rasanya." Sari segera mencicipi setelah mendengar komentar Jojo. Mereka pun segera melahap makanan yang dipesan dalam sekejap. 

Setelah dirasa semua makanan memenuhi lambung, mereka mengobrol sebentar dan menikmati pemandangan. Namun, angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh, perlahan membuat mereka merasakan kantuk yang teramat. Terlebih perut telah terisi penuh. 

"Sepertinya kita harus kembali ke kamar, Ndok." Sari tertawa melihat mata sipit Jojo semakin mengecil. 

"Yah… perut kenyang, angin pun menggoda untuk kembali tidur sepertinya." Keduanya tertawa. "Oke, ayo, kembali ke kamar. Kita istirahat."

Mereka pun menyelesaikan pembayaran lalu bergegas kembali ke kamar. Beristirahat sejenak, menghilangkan lelah. Agar sore bisa menikmati suasana pantai lagi. 

***

Dua jam berlalu semenjak mereka melepas lelah. Jojo mengecek gawai, ada tampilan pesan dari Erika yang telah ia rubah namanya menjadi nama seorang lelaki. 

[Kamu liburan kemana, Honey?]

[Honey? Sibuk pasti sama dia, lupa sama aku.]

[Hon…]

Jojo tersenyum membacanya. Sebelum ia membalas pesan, ia memastikan Sari masih pulas tertidur. 

[Iya, maaf banget. Hon, maaf, ya. Aku besok baru pulang. Sementara kamu jangan hubungi aku dulu. Kalau sudah aman, aku hubungi kamu. Aku juga janji nanti akan ajak kamu ke tempat yang indah. Oke? Love you.]

Jojo mengakhiri percakapan dengan sebuah emoji peluk dan cium. Tanpa menanti lama, Erika yang terlihat online segera membalas. 

[Oke. Aku tunggu kabar kamu dan akan aku tagih janji jalan-jalan. Love you, too.]

Erika pun tak kalah mengirim beberapa emoji peluk dan cium. Setelah Jojo membaca, ia segera membersihkan percakapan dengan Erika dan menaruh gawai di nakas. 

"Sayang, sudah sore. Bangun, yuk?" bisik Jojo sembari mencium tubuh Sari dari belakang. Wanita itu pun bangun dan membalikkan tubuh, menghadap suaminya. Membalas pelukkan. "Nikmatin sunset, yuk?"

Sari tersenyum dan mengangguk. 

"Mandi dulu kalau begitu, ya, Mas?"

"Oke."

Dengan sigap, Jojo mengangkat istrinya dari ranjang ke toilet. Membuat Sari terpingkal atas perlakuan suaminya. Mereka pun mulai membersihkan diri dan bersiap untuk menikmati sore di bibir pantai. 

Langkah mereka terayun menuju bibir pantai. Mencari tempat yang pas untuk menikmati suasana sore yang tampak cerah. 

"Bu, kelapa muda dua, ya?" ucap Jojo ke seorang penjual. Mereka pun duduk di pasir putih sambil menatap ombak yang berkejar-kejaran. Memandang laut luas yang sangat jernih serta pulau yang begitu ramah lingkungan. Tanpa ada sampah berkeliaran. Masyarakat sangat antusias menjaga kelestarian pulau itu. Agar menarik perhatian wisatawan. 

"Keren, nggak?" tanya Jojo. Lelaki itu segera duduk di sebelah istrinya. 

"Banget. Ini pulau paling, paling, paling… keren pokoknya yang pernah aku kunjungi."

"Perjalanan jauh, jadi nggak berasa, ya? Hilang gitu aja setelah sampai."

Sari hanya mengangguk menjawab ucapan Jojo, sedetik pun ia tak rela melewatkan apa yang tengah di pandangnya. Bahkan saat seorang penjual kelapa memberikan pesanan mereka, keduanya hanya mengucap terima kasih tanpa menoleh. Tak henti memandang ke lautan. 

Jojo merasa dirinya berhasil membawa Sari larut dan mulai percaya lagi padanya. Menutupi kesalahan yang kembali ia lakukan. Meski ia tahu, cepat atau lambat wanita di sebelahnya pun akan mengetahui tentang perselingkuhannya lagi. Namun, untuk selanjutnya Jojo sudah bersiap. 

Jika saja Sari telah mengetahui lagi, Jojo tidak akan menyembunyikan semua. Mengungkapkan dan meminta izin untuk menikahi Erika. Itu yang Jojo pikirkan. Kini ia hanya bisa membahagiakan Sari, menuruti dan mengajaknya melepas penat. Suatu hari, Jojo pastikan Sari tidak akan bisa melupakan apalagi mengajaknya bercerai. Karena perjalanan mereka sangat indah. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Dengan penuh percaya diri, Jojo yakin Sari akan menerima keputusannya. 

"Mas, lihat deh!" Senyum Sari mengembang saat menyaksikan langit yang mulai berubah jingga. Bahkan pantulan sinar itu mewarnai sebagian air laut yang tadi siang mereka lihat berwarna biru muda jernih. 

"Keren, ya? Kalau sudah lihat yang begini, nggak mau beranjak rasanya," jawab Jojo sambil merangkul istrinya. 

Suasana sore itu sangat mempengaruhi hati Sari. Dalam sekejap semua kesalahan yang Jojo lakukan bisa dapat ia lupakan. Ya, semata bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk keluarga besar mereka yang sangat Sari hormati. Tidak ada yang boleh mengetahui aib Jojo. Selama lelaki itu bertobat dan telah mengakui kesalahannya, mengapa Sari tidak bisa memaafkan. 

Wanita itu sungguh larut dalam suasana. Tanpa berpikir buruk akan ada kejutan besar dari Jojo dan selingkuhannya. Entah apa yang akan Sari putuskan nanti, jika firasat Jojo benar--hari dimana Sari akan mengetahui lagi perselingkuhan mereka. 

Sementara Erika sedang sibuk, kembali ke rumah Emak. Menjalankan ritual terakhirnya untuk memasang susuk yang benar-benar hanya Jojo lelaki yang akan terpikat padanya dan membuat Sari perlahan pergi meninggalkan lelaki itu atau menjadi gangguan jiwa karena mempertahankan rumah tangga mereka. 

"Semua telah selesai. Kau ingat, semua susuk, santet, ataupun pelet pasti ada kelebihan dan kekurangan. Kau lakukan saja seperti yang sudah aku ajarkan, maka semua akan berjalan sesuai inginmu," ucap wanita tua itu. 

"Baik, Mak. Kalau begitu aku pamit pulang. Terima kasih."

Erika pun beranjak dari rumah Emak dan kembali ke rumah orang tuanya. Rumah tampak sepi saat ia memasuki bangunan tua itu. Ia melihat ada ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, dengan pandangan kosong. 

"Yah, Erika pulang," sapa gadis cantik itu. Namun, ayahnya tidak menjawab. Masih terdiam. Kedua adik Erika keluar dari kamar dan memberitahu bahwa ini sudah hari ketiga ayahnya tidak bekerja dan hanya duduk melamun seperti orang kehilangan akal sehat. Bahkan makan pun disuapin, jika tidak seharian bisa tidak menyantap apapun. 

"Kenapa kalian tidak telepon aku dan memberi kabar?"

"Pulsa kami habis, Kak. Kakak belum kirim bulan ini." Erika menepuk keningnya. Ia lupa mengirim pulsa ke gawai adiknya. Biasanya satu hari sebelum pulsa habis, Ibu adalah orang yang paling bawel mengingatkan adik Erika untuk minta kirim pulsa dan uang. Kini, sosok wanita itu telah tiada. 

"Oke, aku kirim sekarang, ya? Untuk biaya lainnya, seperti ongkos sekolah dan makan, ada?" 

"Tinggal lima puluh ribu, Kak. Karena ayah tidak ada penghasilan."

Erika mengerjapkan mata dan mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dari tasnya. 

"Ini buat makan dan ongkos sekolah. Nanti sisanya aku transfer dan pulsa juga aku transfer, ya? Lalu, kalian tolong carikan sewaan mobil. Aku mau bawa ayah ke klinik. Sekarang."

Kedua adiknya pun bergegas menuruti titah Erika sedangkan gadis itu masih berusaha mengajak lelaki di sebelahnya bicara. Namun tidak ada jawaban. Lelaki itu hanya diam. 

Bersambung….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status