Melanie memandang Zaina tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Zaina ragu sejenak sebelum berkata, "Melly, menurutmu, mungkinkah Rara bukan anak pamanmu?"Benar saja, Zaina memang curiga."Mana mungkin?" Wajah Melanie kelihatan tercengang. "Bu, jangan mengada-ada. Paman dan Bibi Silvia memang orang-orang yang nggak bisa diandalkan. Ditambah Rara selalu membuat masalah. Nggak heran mereka memperlakukannya dengan buruk.""Kamu nggak akan ngerti sampai kamu jadi ibu nanti." Zaina menghela napas pelan. "Separah-parahnya anak melakukan kesalahan, ibunya pasti hanya ingin membantu dia menyelesaikan masalah itu.""Tapi ..." Jeda sejenak, dia menggelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang terlalu memikirkannya. Aku dan Silvia melahirkan di hari yang sama, mana mungkin Rara bukan anak Silvia?"Jantung Melanie berdebar kencang dan dia menghela napas lega saat melihat Zaina hanya berhenti sampai di sana.Urusan antara dia dan Yara harus segera diakhiri. Jika tidak, pasti akan menimbulkan masalah baru ya
"Orang sepertiku?"Yara bangkit berdiri."Di matamu, Yudha, aku orang yang menyayat pergelangan tanganku sendiri dan menghancurkan masa depan cerahku hanya demi mempertahankanmu. Jadi aku nggak pantas membicarakan masa depan, benar begitu?""Kamu nggak bisa mempertahankan aku!" Yudha menyilangkan kaki panjangnya. "Satu-satunya yang bisa kamu pertahankan cuma uang 200 miliar itu.""Tanda tangan sekarang!" Dia sudah kehilangan kesabaran. "Nggak ada untungnya kita berlama-lama menarik ulur masalah ini.""Aku nggak ingin uang!"Yara menyeka air matanya dengan kasar.Yudha mencubit alisnya menahan rasa pusing. "Yara, sudah cukup!""Dua tahun lalu," ucap Yara, memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. "Aku cuma ingin kamu memberitahuku tentang yang kamu katakan di rumah sakit tadi. Ada apa dua tahun lalu?"Yudha benar-benar tercengang kali ini.Dia tidak menyangka Yara bisa menyebutkan dua tahun lalu berulang kali tanpa malu-malu.Apalagi dengan tatapan mata seolah dia tidak tahu apa-apa.
"Ya!"Hampir tidak ada keraguan dalam jawaban Yudha.Yara merasakan sakit yang menusuk di dadanya. Rasanya sangat sakit sampai air mata bergulir deras dari matanya.Dia bertanya kepadanya sambil tersenyum masam, "Secinta itu kamu padanya? Secinta itu sampai nggak bisa membedakan antara benar dan salah? Memutar balik yang benar dengan yang salah?""Dia melakukan semua ini hanya karena takut kehilangan aku."Suara Yudha terdengar sangat tenang, tetapi kata-katanya sangat kejam.Mengira Yara adalah gadis yang licik, dia membenci dan merendahkan Yara. Namun, saat sebutan gadis licik itu dialihkan kepada Melanie, dia dapat mengatakannya dengan sangat enteng.Ternyata, Tuan Muda Lastana yang begitu tinggi dan pandai itu juga punya sisi munafiknya tersendiri.Yara menatapnya. Semua kata tersangkut di tenggorokan, tidak dapat terucap satu pun."Tenang saja. Kalau memang dia yang salah, kami akan menebusnya kepadamu bersama-sama."Satu pisau lagi menusuk jantung Yara tanpa belas kasihan."Yudha
Yara berjalan membawa tubuhnya yang terasa berat, keluar dengan pikiran yang tertutup kabut.Dia harus menuruni gunung dan keluar dari kawasan ini untuk mendapatkan taksi.Mendadak, dia mendengar suara klakson mobil.Saat dia menoleh ke samping, ternyata itu mobil Yudha.Jendela mobil perlahan bergerak turun, memperlihatkan sisi samping wajah yang memesona."Masuk!"Yara mengerutkan kening. "Nggak perlu."Dia menguatkan langkah kakinya untuk terus berjalan.Tidak ada cinta. Dia tidak membutuhkan belas kasihan Yudha.Tak disangka, mobil itu kembali mengikutinya. Suara Yudha samar-samar terdengar tidak sabar."Masuk!""Aku bilang nggak perlu!"Yara berhenti dan berteriak kepada orang di dalam mobil."Apa kamu akan mencintaiku kalau aku masuk ke dalam mobil? Apa kamu akan membatalkan perceraiannya?""Nggak mungkin! Jadi kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Aku nggak butuh belas kasihanmu!"Kata demi kata meluncur berturut-turut dan tangisnya pecah, membuat Yudha terkejut.Yudha menyaksikan
"Kenapa?"Siska refleks melangkah mundur.Dengan gerakan cepat, Yara meraih lengan Siska dan menariknya ke depan.Dia melihat ke bawah dan memperhatikan leher Siska lebih dekat. "Siska, di lehermu itu ... cupang?""Cupang?"Siska melepaskan diri dari tangan Yara dan melanjutkan apa yang dia lakukan tadi seolah tidak terjadi apa-apa.Yara masih tidak menyerah dan berjalan membuntutinya. "Siska, kamu pergi ke mana tadi malam? Di lehermu itu cupang, 'kan?""Cupang? Nggak mungkin!"Siska menghampiri cermin dan mengusap-usap tanda bekas di lehernya."Cupang apa? Agak gatal, paling bekas digigit nyamuk.""Masa?" tanya Yara ragu. "Siska, kamu punya pacar ya?""Nggak, beneran." Jawaban Siska sangat mantap. "Ibuku kemarin telepon aku perlu dibantu sesuatu, jadi aku pergi ke sana.""Beneran?"Yara masih tidak percaya.Dia meraih tangan Siska dan berkata, "Siska, aku nggak bermaksud yang lain. Walaupun kamu punya pacar dan nggak mau beri tahu aku, tapi janji kamu harus melindungi dirimu sendiri,
"Yudha, ada apa kamu telepon aku? Kangen ya?""Pergi ke kantor Lastana. Kutunggu sekarang juga."Melanie ingin bertanya lebih banyak, tetapi Yudha sudah menutup panggilan.Dia berpikir sejenak, segera mengemasi barang-barang dan pergi.Baru kali ini Yudha memanggilnya pergi ke kantor Perusahaan Lastana. Akhirnya, hubungan mereka mungkin akan melangkah lebih jauh.Sesampainya di gedung kantor Perusahaan Lastana, Melanie langsung menuju kantor direktur di lantai paling atas."Yudha?" Dia melangkah senyuman merekah."Duduk!" Sikap Yudha agak dingin.Melanie duduk di sofa dengan penuh kebingungan dan bertanya sambil tersenyum, "Ada apa?"Yudha melempar berkas yang ada di tangannya ke atas meja.Melanie ragu-ragu sejenak. Dia mengambil file itu dan membukanya.Itu berkas rawat inap Yara. Jelas disebutkan bahwa Yara sudah dua kali dirawat di rumah sakit dalam lima tahun terakhir.Pertama kali, dia koma karena kehilangan banyak darah akibat putusnya arteri di pergelangan tangan kanannya.Kali
Jeremy mendesah pelan."Kalau yang dimaksud pulih untuk kegiatan sehari-hari, selama tidak melakukan pekerjaan berat, tidak akan ada masalah."Mendengar ini, kecemasan Yara masih belum sirna.Benar saja, Jeremy melanjutkan, "Anita sudah menjelaskan, Anda pelukis yang sangat berbakat. Masalahnya, melukis adalah kegiatan yang berat untuk tangan, jadi ... jangan terlalu berharap."Yara tersenyum pahit. "Saya sebenarnya sudah tidak punya harapan sama sekali."Dia pun bangkit hendak pergi. "Dok, saya sudah merepotkan hari ini, jadi saya ...""Tunggu sebentar." Jeremy menyela Yara. "Bukannya tidak ada harapan sama sekali. Tapi kemampuan saya terbatas. Yang bisa memberi Anda keajaiban mungkin mentor saya.""Benarkah?" Yara hampir tidak percaya."Tapi mentor saya sedang di luar negeri." Jeremy mengeluarkan ponselnya. "Coba saya tanyakan sekarang.""Terima kasih Dok, terima kasih banyak," ucap Yara.Dia menunjuk ke luar dan berkata, "Saya menunggu di luar dulu."Tak lama, Jeremy membuka pintu d
"Nggak masalah, Yudha, aku sudah lama ingin pulang dan melanjutkan penelitian di dalam negeri. Terima kasih banyak sudah mengabulkan keinginanku.""Jangan begitu, Profesor Wijaya, negara ini juga butuh orang berbakat sepertimu.""Tapi, Yudha, kamu yakin nggak perlu memberi tahu gadis itu? Kamu menghabiskan dua triliun untuk semua ini.""Aku nggak melakukannya untuk dia saja. Sudah kubilang, negara ini membutuhkanmu.""Oke, oke." Profesor tua itu menambahkan, "Ngomong-ngomong, rehabilitasinya akan dimulai besok.""Oke." Yudha tidak berkata apa-apa lagi.Yara mengajak Anita dan Jeremy untuk makan makanan Barat bersama. Setelah makan, Jeremy kembali ke rumah sakit.Yara dan Anita berjalan-jalan bersama."Kak Anita, kamu dulu teman sekelas Dokter Jeremy?"Yara merasa mereka sepertinya hampir sebaya. Saat makan tadi, mereka tampak akrab sekaligus asing, seperti teman sekelas lama yang sudah lama tidak bertemu."Bukan." Anita tertawa. "Kami baru kenal kemarin, belum sampai sebulan.""Ah?" Ya