Yara kaget saat mengetahui Siska tidak memakai topeng.Dia sangat terkejut. Dia tidak tahu kapan ini dimulai. Apakah setelah bertemu Tanto? Atau setelah putus dari Tanto?Dia menonton sebentar dan menyadari bahwa popularitas ruang siaran langsungnya sangat tinggi dan meningkat dua kali lipat beberapa kali.Yara pun memperhatikan banyak orang dalam kolom komentar yang memanggil Siska dengan panggilan sayang, dan Siska pun menanggapinya dengan tertawa dan bercanda.Apalagi setelah Siska tersambung dengan penyiar yang berkolaborasi dengannya, dia tidak lagi berkomentar pedas, tetapi malah terkesan menggoda lawan bicaranya.Yara segera menutup siaran langsung itu, menunggu Siska keluar dengan hati berat.Faktanya, saat masih di sekolah, ada banyak sekali orang yang memuji Siska karena kecantikannya. Dia adalah seorang dewi dengan wajah cerah dan bahkan lebih cantik tanpa riasan. Hanya saja, mulutnya sangat berbisa dan sifatnya selalu sadar diri. Karena itulah dia tidak pernah punya pacar.
Dia memuji-muji pria itu. "Waktu enam tahun, dia sudah punya kesadaran tinggi, menemukan karir hidupnya, dan dengan mantap menyerahkan hak waris kekayaan keluarga yang sampai lebih dari satu kuadriliun. Dia benar-benar ... idolaku.""Kak Felix memang mengesankan." Yara juga sama-sama takjub.Keesokan harinya, Felix datang menjemput. Begitu Yara duduk di kursi depan, dia melihat Yudha duduk di kursi belakang."Yudha kebetulan nggak ada pekerjaan hari ini. Dia ingin pergi juga," jelas Felix.Yara duduk dengan canggung. Saat ini, dia pada dasarnya yakin bahwa semua ini akal-akalan Felix.Yudha tiba-tiba berkata dari belakang, "Sewa apartemen di sini nggak murah."Dia jelas terkejut Yara pindah ke sini, lalu menyimpulkan bahwa Yara di sini hanya menyewa dan jumlah sewanya bukan sesuatu yang mampu dibayar Yara.Yara otomatis melirik Felix dan melihat Felix menggelengkan kepalanya sedikit.Dia tidak punya pilihan selain berbohong. "Aku sudah kerja lagi. Uang sewanya patungan aku dan Siska. N
"Jangan minta Rara, kita juga bisa bolak-balik beberapa kali lagi."Sebelum Yara sempat berkata apa pun, Felix lebih dahulu menjawab.Yudha mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Dia nggak sedang hamil, dia nggak serapuh itu!"Melihat Felix hendak membantah lagi, Yara segera melangkah ke depan dan menariknya. "Nggak apa-apa, aku bisa bawa sedikit.""Jangan!" desak Felix, "Masuk saja dulu, biar aku yang bawa. Yudha, biarkan saja di sana kalau kamu nggak mau bawa."Yudha terdiam kaget. Dia belum pernah melihat Felix seperti ini.Seseorang yang membuat keputusan untuk tidak pergi dari rumah pada usia enam tahun. Dia begitu perhatian dan protektif terhadap adik iparnya, yang baru saja dia temui? Sihir macam apa yang diberikan Yara kepada Felix?Dia menyaksikan dua orang itu pergi bersama, merasa seperti orang luar.Dia membawa barang-barangnya dengan wajah yang semakin tidak senang. Dari kejauhan, dia melihat seorang nenek, ketua panti asuhan, bergegas keluar bersama sekelompok anak."Pak
"Kata Nenek, kalau Okti sudah besar nanti, Okti bisa punya rumah sendiri." Wajah bulat Okti dipenuhi harapan.Yara tidak terlalu mengerti. Bukankah anak yang lebih muda lebih mudah diadopsi?Saat bertanya-tanya dalam hati, dia merasakan seseorang menarik sudut bajunya dari belakang.Dia menoleh ke belakang dan melihat seorang gadis berusia sekitar 11 atau 12 tahun, yang pasti merupakan anak tertua di antara anak-anak ini.Anak itu merendahkan suaranya dan memberi tahu Yara, "Okti punya penyakit jantung, nggak ada yang mau mengadopsi dia."Hati Yara tiba-tiba terasa sesak. Pantas saja, anak-anak lain berlarian, tetapi Okti terus mengikuti dirinya.Dia menepuk kepala anak yang lebih tua itu, lalu berbalik dan memeluk Okti dengan lembut. "Nenek benar, setelah Okti besar dan bekerja nanti, Okti bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan."Kali ini, anak laki-laki yang tadi bicara lagi. Dia memandang Okti dengan wajah serius. "Aku bisa tumbuh besar sebelum kamu. Apa pun yang kamu inginkan, a
"Kak Rara, Kak Rara," Okti menarik-narik celana Yara dengan mata merah. "Tolong bantu mereka. Kak Deka sangat suka layang-layang itu.""Nggak apa-apa." Deka, yang matanya tak bisa berhenti menatap layang-layang itu beberapa detik yang lalu, segera berlari ke arah Okti. "Nggak apa-apa. Saat aku besar nanti, aku bisa beli layang-layang sendiri yang lebih besar dan lebih bagus."Dia menyeka air mata Okti dan menghibur, "Okti, jangan menangis. Kalau kamu menangis, kamu nggak cantik lagi."Yara merasa sedikit tergerak melihat mereka. Dia lalu melihat ke arah layang-layang itu.Dia berjongkok dan menunjuk ke arah Yudha yang duduk tidak jauh dari sana. "Orang yang di sana mungkin bisa menurunkan layang-layangnya. Ayo kita minta bantuan padanya."Tak terduga, Okti langsung bersembunyi di belakang Yara. "Nggak mau, dia menakutkan.""Biar aku yang pergi, aku nggak takut!" Deka bangkit. Rupanya, si kecil itu masih sangat menyukai layang-layangnya.Yara memimpin sekelompok anak-anak itu ke arah Yu
"Kak Rara." Okti segera berlari ke arah Yara dan berbisik dengan suara yang bisa didengar semua orang. "Paman itu nggak tahu malu. Dia sudah tua, tapi masih minta dipanggil kakak.""Hahaha ..." Yara langsung tertawa lepas, menyadari betapa manisnya Okti.Tawanya semakin lepas saat dipandangnya wajah Yudha yang begitu marah."Kalau kamu nggak berhenti tertawa, aku nggak akan membantumu." Yudha mengancam Yara dengan kejam.Yara segera menahan tawanya dan menggelengkan kepala. "Iya, iya, tolong bantu aku.""Tolong, tolong bantu." Okti juga ikut memohon lagi."Iblis kecil!" Yudha terlihat jijik, tetapi dia tetap pergi untuk membantu mengambil layang-layang.Tubuhnya tinggi dan lengannya panjang. Dia dapat meraih layang-layang yang terlihat begitu tinggi hanya dengan merentangkan tangan."Hore, akhirnya!" Anak-anak langsung bersorak di sekeliling Yudha."Kak, kamu luar biasa, kamu pahlawan yang paling hebat." Okti memeluk paha Yudha. "Aku suka Kakak."Yudha terpaku di sana. Anak kecil yang
Deka bilang ingin belajar dari Yudha, tapi begitu dua bocah nakal itu bertemu, mereka malah bertengkar."Anak kecil, tahu apa kamu?" Yudha berkata seolah-olah dia sudah dewasa dan dia yang terbaik."Tapi anak-anak yang paling tahu cara main layang-layang. Kamu yang sudah besar terlalu kikuk dan menyusahkan." Deka tampak yakin dengan perkataannya.Yara terdiam dan mengetuk meja dengan jarinya. "Kalian berdua, berhenti bertengkar. Ayo makan.""Benar, benar. Kalian sudah besar, masih saja bertengkar. Nggak baik itu." Okti kecil juga belajar menasihati orang."Hmph!" Si besar dan si kecil membuang muka bersamaan, tidak ingin meneghadap satu sama lain.Makanan segera dihidangkan. Ketua panti asuhan juga keluar, tetapi Felix tidak terlihat."Berkat daging dan sayuran yang kalian bawa hari ini, semuanya jadi lahap makannya," kata Bu Ketua sambil tersenyum."Kak Felix di mana?" tanya Yara."Oh, Pak Felix sudah pulang duluan." Bu Ketua menjelaskan sambil tersenyum. "Dia bilang dia ada urusan, t
Tubuh kecilnya tampak sedikit gemetaran."Kamu kedinginan?" tanya Yara penuh perhatian.Deka menggeleng.Yudha berjalan mendekat dan memakaikan jasnya kepada Deka."Aku nggak kedinginan." Deka berusaha menolak."Pakai saja," perintah Yudha.Yara mendesah pelan dan berkata pada Yudha, "Dia ketakutan."Ia menepuk-nepuk punggung Deka dengan lembut. "Jangan takut, Okti pasti baik-baik saja.""Ya." Deka mengangguk. Dia tidak menangis atau rewel, seperti yang dia janjikan sebelumnya, tetapi tubuhnya masih gemetaran.Yara tidak bisa menahan rasa sedihnya. Anak-anak ini kehilangan orang tua terlalu dini dan lebih peka dibandingkan anak-anak biasa di panti asuhan.Penanganan Okti baru berakhir pada pukul 8 malam.Felix pun datang setelah menerima kabar juga.Okti dipindahkan ke kamar rawat inap biasa.Yudha memandang anak itu sekilas dan pergi mencari dokter yang merawatnya.Yara bersama Felix membawa anak-anak ke kamar.Deka menempelkan diri di depan ranjang rumah sakit. Matanya tak pernah lep