Share

Part 4

Berkali-kali Anya berteriak meminta tolong, hingga membuat semua penghuni rumah bangun di tengah malam dan berlari ke dalam kamar wanita itu dengan segera. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi pada putrinya, Andi dengan sigap mendobrak pintu kamar Anya dibantu oleh Aditya. Begitu pintu terbuka, dengan segera mereka memasuki kamar tersebut. Memeriksa adanya bahaya yang menimpa Anya. Tapi yang mereka temui bukanlah hal yang mereka pikirkan, pasalnya Anya berteriak meminta tolong dengan mata masih terpejam dan keringat membasahi seluruh tubuhnya.

“Anya! Anya!” panggil Diyah panik, mencoba menyadarkan Anya yang masih berteriak meminta tolong dalam keadaan tertidur. Memukul pipi wanita itu berharap agar lekas tersadar, namun hasilnya nihil. Anya tetap tidur dan berteriak meminta tolong sambil memanggil anggota keluarganya. Diyah semakin panik melihat keadaan putrinya.

“Anya! Vania Kananya Bagaskara Putri!” teriak Diyah memanggil nama lengkap wanita itu. Seketika mata Anya terbuka. Dengan sigap dia memeluk erat sang Ibu yang ada di sampingnya.

Semuanya terasa nyata bagi Anya, mimpi buruk itu datang kembali setelah sekian lama semenjak kejadian itu. Kejadian yang menyebabkan Anya menjadi seperti sekarang. Masih ada sisa-sisa ketakutan yang terpancar dari binar matanya begitu menatap mata sang Ibu yang mengelap keringat di kepalanya. Kekhawatiran terpancar dengan jelas dari binar sang Ibu tanpa perlu di katakan. Tidak ada orang tua yang khawatir begitu melihat keadaan anaknya yang seperti ini.

“Anya kenapa?” tanya Diyah pelan. Dengan bibir bergetar, Anya hanya tersenyum kecil pada ibunya. Dalam hatinya merasa menyesal telah membuat orang rumah khawatir begitu melihat orang rumah yang ada di kamarnya. Seharusnya dia tidak membuat keributan di tengah malam, di saat banyak orang yang beristirahat.

“Anya ... Anya hanya mimpi buruk, Ma. Anya nggak apa-apa, kok, Ma.”

“Anya, yakin?” tanya Andi menanyakan keadaan putrinya itu. Anya hanya mengangguk pasti.

“Iya, Pa. Anya baik-baik aja, cuma mimpi buruk. Udah malam, Ma, Pa, Dit. Besok Papa dan Mama akan ada perjalanan dinas ke Solo, kan? Lanjut tidur aja, daripada besok ke siangan dan telat jadinya. Anya juga mau tidur lagi, masih ngantuk.”

Diyah menatap ragu pada Anya, tiba-tiba berat rasanya untuk meninggalkan Anya sendirian di rumah. Mungkin nanti dia akan bermusyawarah pada suaminya perihal keabsenan dirinya dari perjalanan dinas ini mengingat kondisi Anya yang mengkhawatirkan.

“Ma, Anya nggak apa-apa. Mama jangan khawatir,” ujar Anya menenangkan ibunya. Diyah mengangguk mengerti, dengan sigap dia membaringkan Anya di atas tempat tidur, lalu menyelimutnya di atas dada.

“Ya udah, sekarang Anya tidur. Selamat malam, Anya,” ujar Diyah, lalu mencium kening Anya pelan.

Satu per satu mereka keluar dari kamar Anya, terkecuali Aditya yang masih bertahan di sana. “Dit, ayo keluar. Biarkan Anya istirahat,” ajak Andi pada Aditya.

“Aditya mau nemenin Kakak tidur di sini. Boleh, Pa, Ma?” izin Aditya pada kedua orang tuanya. Mereka tersenyum lalu mengangguk. Anya tersenyum cerah, lalu menepuk tempat di sampingnya. Andi dan Diyah segera keluar, sementara Aditya berbaring di samping sang Kakak. Dengan sigap Anya memeluk Aditya dengan erat. Entah kenapa memeluk Aditya, Anya merasa memeluk ayahnya sendiri. Terlebih lagi postur tubuh Aditya dan ayahnya tidak jauh berbeda, bahkan aroma tubuh Aditya juga mirip dengan sang Ayah yang diam-diam membuat Anya tenang dan damai.

“Aditya mau nemenin Kakak tidur di sini. Boleh, Pa, Ma?” izin Aditya pada kedua orang tuanya. Mereka tersenyum lalu mengangguk. Anya tersenyum cerah, lalu menepuk tempat di sampingnya. Andi dan Diyah segera keluar, sementara Aditya berbaring di samping sang Kakak. Dengan sigap Anya memeluk Aditya dengan erat. Entah kenapa memeluk Aditya, Anya merasa memeluk ayahnya sendiri. Terlebih lagi postur tubuh Aditya dan ayahnya tidak jauh berbeda, bahkan aroma tubuh Aditya juga mirip dengan sang ayah yang diam-diam membuat Anya tenang dan merasa terlindungi.

Sementara itu, Sean belum terlelap. Masih memantau perkembangan perusahaannya yang di Amerika lewat email yang dikirim oleh sekretarisnya.

“Kakak,” panggil seseorang dari balik pintu kamarnya. Sean menghentikan pekerjaannya sebentar lalu berjalan ke arah pintu.

Begitu pintu terbuka, nampak anak laki-laki berusia delapan tahun berdiri di depan pintu sambil membawa bantal di pelukannya. Dahi Sean mengkerut, menatap bingung melihat Dave, adik bungsunya ini belum juga tidur padahal jam sudah menunjukkan tengah malam.

“Ada apa, Dave? Kau bermimpi buruk?” tanya Sean. Sementara Dave hanya menggeleng cepat.

“Aku ... aku tidak bisa tidur. Bolehkah aku tidur denganmu malam ini?” tanya Dave takut.

Sebenarnya Dave hanya ingin mengenal Sean lebih dalam. Sebab selama dia lahir, Sean tidak pernah pulang atau bertemu dengannya secara langsung, terkecuali lewat telepon. Pertemuan tadi membuat Dave jadi ingin mengenal kakaknya yang baru pulang ini.

“Masuklah,” ujar Sean sambil membuka pintu lebar, mempersilahkan Dave masuk ke dalam kamarnya.

Dave tanpa membuang waktu segera masuk ke dalam kamar Sean. Dengan tatapan kagum, Dave memandang kamar mewah milik Sean yang tidak pernah dimasukinya, terkecuali malam ini.

Kamar Sean yang bernuansa klasik, berdinding hitam dan putih, jendela besar membatasi antara kamar dan balkon luar, lampu yang menyala temaram tidak membuat mata Dave sakit, meja kerja di pojok kamar, sofa santai menghadap ke jendela, rak-rak buku yang menjulang tinggi, serta kasur besar berwarna abu-abu melambai ke arahnya, seolah-olah meminta untuk segera ke sana. Semua terasa sangat sempurna bagi Dave yang ingin memiliki kamar sendiri. Sebenarnya Dave risih dengan sang mama yang selalu melarangnya untuk tidur sendiri, dengan alasan bahwa banyak monster yang suka menculik anak kecil jika malam tiba. Dave memutar mata bosan mendengar alasan mamanya yang tidak masuk akal itu, dia bukan anak kecil lagi! pikir Dave. Mungkin nanti dia akan merengek agar diberi kamar sendiri.

Dengan segera Dave berbaring di kasur empuk milik Sean. Entah kenapa kantuknya yang sedari tadi tidak datang, kini mulai menghampiri. Perlahan dia membenarkan posisi berbaringnya, mencari posisi nyaman untuk tidur. Tapi Dave merasa aneh melihat sampingnya yang masih kosong. Dengan rasa ingin tahunya serta menahan kantuk, dia melirik ke arah meja kerja yang di huni Sean.

“Kakak belum tidur?” tanya Dave memecah keheningan malam, Sean yang sedang asyik memeriksa laporan seketika tersentak. Dia menatap adik bungsunya yang menatap dia penuh minat dan kantuk di matanya. Sepenglihatannya tadi, Dave telah tertidur di ranjangnya. Tapi ternyata adiknya satu ini belumlah tidur.

“Kakak sedang apa?” tanya Dave penasaran.

“Bekerja,” jawab Sean santai. Dahi Dave mengkerut bingung. Ayah dan ibunya juga bekerja, tapi saat malam mereka akan istirahat dan tidur. Begitu melihat Sean yang bekerja hingga malam seketika membuat Dave berpikir, apa pekerjaan yang dijalani Sean? Yang dia ketahui dari kakak-kakaknya bahwa Sean akan meneruskan perusahaan milik ayah mereka. Apakah perusahaan ayahnya ada masalah? Begitulah yang ada dipikiran Dave saat ini.

Dia tersentak begitu merasakan kepalanya diusap pelan. Sean telah berdiri di hadapannya dengan senyum terlukis di bibirnya.

“Kau harus tidur, Dave. Bukankah besok kau harus ke sekolah?”

“Kau juga harus tidur, Kak. Bukankah besok kau harus bekerja?” balas Dave pada Sean. Sean hanya tersenyum menanggapi perkataan adiknya satu ini. Adiknya ini mengingatkannya pada wanita itu, wanita yang mengisi relung hatinya hingga saat ini dan tidak terganti.

“Aku akan tidur sebentar lagi. Masih ada hal yang harus aku urus, kau tidurlah terlebih dulu.” Dave menatap Sean ragu. Haruskah dia mengikuti perintah kakaknya ini?! Dengan terpaksa dia berbaring di atas ranjang. Dia percaya bahwa kakanya itu tidak akan berbohong. Dengan pelan tapi pasti, Dave mulai tertidur dan menjemput mimpi. Sementara itu Sean melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Tanpa ada rasa lelah dan jenuh, dia kembali memeriksa laporan. Jika dirasa kepalanya mulai pusing, dia mengalihkan pandangannya pada foto dia atas meja. Foto saat dia SMA bersama wanita yang masih menghiasi hatinya.

“Kak, ngapain ke sini? Ini masih jam sekolah,” tanya Vania. Saat itu dia mengajak Vania bertemu di belakang sekolah dengan alasan keadaan darurat. “Itu kamera buat apa?”

“Yuk, kita foto bareng! Biar jadi kenang-kenangan antara kamu dan aku,” ajak Sean sambil mengutak-atik kamera terbaru yang dibelinya kemarin.

“Nggak!” tolak Vania tegas. Vania pikir ada hal yang mendesak hingga membuat dia harus berbohong lada gurunya bahwa dia pergi ke toilet, tapi yang dia dapati adalah Sean hanya mengajak dia untuk berfoto. Buang-buang waktu, pikir Vania.

“Ayolah. Sekali ini aja, aku janji!” bujuk Sean sambil menahan tangan Vania.

“Lain kali aja, Kak. Ini lagi jam sekolah,” papar Vania tegas.

“Kalau bisa sekarang, kenapa harus nanti? Yuk, bentar aja! Nggak lama, janji!” bujuk Sean. Dan foto itu pun tercipta setelah melalui perdebatan yang alot.

Air mata Sean menetes, dia sangat merindukan Vania. Sangat. Tapi kenapa takdir begitu kejam hingga memisahkan antara dia dan Vania? Vania menghilang tanpa sempat Sean meminta maaf atas kebodohannya dulu. Andai saja, dia diberi kesempatan kedua untuk bertemu dengan Vania, maka dia berjanji akan menebus semua kesalahan yang telah dia perbuat dan tidak akan melepaskan Vania begitu saja.

TBC

Kalbar, 13 September 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status