Share

Part 3

Suasana Bandara Halim Perdana Kusuma begitu sibuk, kepergian dan kedatangan silih berganti dimulai dari domisili hingga internasional. Ada yang menjemput hingga mengantarkan kerabat sampai teman menuju tempat yang diinginkan. Sungguh sibuk, seperti tidak ada istirahatnya. 

Seorang pria dewasa berjalan dengan langkah penuh percaya diri sambil menyeret koper menuju pintu keluar. Menjadi pusat perhatian bagi semua orang terlebih lagi wanita yang berdecak kagum akan ketampanannya, sekilas mirip seperti Chris Hemsworth. Dengan rahang yang terkesan tegas dan bulu halus di sepanjang rahang, semakin membuat daya tarik tersendiri bagi para wanita. Ditambah lagi dengan setelan mahal yang melekat di tubuh pria itu yang harganya bisa mencekik bagi yang mengetahui mereknya. Tidak jarang wanita melirik dua kali ke arah pria itu. 

“Selamat siang, Tuan Sean. Saya Eliandro, asisten Tuan besar untuk menjemput Tuan,” sapa pria paruh baya, Eliandro pada pria itu sembari membuka pintu mobil. Sean, pria itu hanya mengangkat sebelah alisnya sambil menilai Eliandro dengan seksama dari atas hingga bawah. Sementara itu, Eliandro merasa tidak keberatan dengan yang dilakukan Tuan mudanya itu. Tanpa membuang waktu Sean masuk ke dalam mobil tersebut, lalu disusul Eliandro. Pajero hitam itu pun menghilang  di tikungan jalan. 

Sepanjang perjalanan, Sean hanya diam sambil memperhatikan gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi jalanan Jakarta. Tidak banyak yang berubah semenjak sepuluh tahun silam, pikirnya. Dengan pelan dia mengusap bibir bagian bawah, mengenang masa lalu yang membuat dia dibuang ke luar negeri dan meninggalkan wanita yang sangat dia cintai tanpa wanita itu ketahui.

Kejadian yang berawal dari kebodohannya yang menyebabkan gadis tidak bersalah harus menjadi tumbal karena dirinya. Setelah kepergiannya ke Amerika, Sean berusaha mencari wanita itu agar dapat menebus dosa-dosa yang telah dia lakukan. Namun kabar wanita itu seperti ditutupi oleh orang lain sehingga membuat Sean tidak dapat mengetahui keberadaannya. 

“Tuan besar mengatakan bahwa anda akan mulai memimpin perusahaan lusa, Tuan muda,” Ujar Eliandro memecah keheningan di dalam mobil. Sean menatap Eliandro lewat kaca tidak berminat. Persetan dengan perusahaan ayahnya, yang dia pikirkan saat ini adalah untuk mencari wanita yang telah mengisi seluruh ruang di hatinya. Eliandro tersenyum maklum dengan tabiat Tuan mudanya yang sedari kecil sangat dingin. Bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Dirgantara membuat dia paham. 

Flashback on

“Nama kamu Vania, kan?” tanya Sean saat itu. Gadis yang asyik membaca buku di perpustakaan itu hanya melirik malas. Dari suaranya, dia tahu bahwa laki-laki itu adalah idola para siswa di sekolah ini.

“Nama aku Sean,” ujar Sean pada Vania, sedangkan gadis itu hanya diam. 

Tanpa mempedulikan Sean yang mengulurkan tangan mengajak berkenalan, gadis itu melanjutkan membaca yang sempat tertunda. Sementara itu, Sean menggaruk kepalanya kikuk. Belum ada sebelumnya yang menolak dirinya, bahkan guru wanita yang mengajar di sekolah ini saja tergila-gila padanya meski dia dijuluki ‘si tampan yang tidak lulus' tapi banyak yang mengagumi dirinya. Tapi Vania dengan angkuhnya menolak dirinya yang berbaik hati mengajaknya berkenalan secara langsung. 

“Vania sedang apa?” tanya Sean di tengah sepinya perpustakaan. Hanya ada penjaga perpustakaan yang sudah tua dan sepasang siswa yang sedang asyik pacaran di pojok sana. 

“Kalau kata papa saya, Tuhan menciptakan mata itu untuk melihat sesuatu dengan jelas, terkecuali jika memang ada masalah dengan matanya. Apakah mata kakak ada masalah?” tanya Vania dengan nada sisnis tanpa mengalihkan pandangan dari buku di tangannya. Sean hanya terperangah mendengar jawaban dari adik kelasnya yang baru berumur 15 tahun. Dia tidak menyangka di umurnya yang ke 19 ini ada orang yang berani melawannya, padahal banyak orang yang memilih untuk tidak berurusan dengan Sean karena takut terkena masalah. Meski begitu, Sean itu adalah tipikal pria yang digilai wanita, bahkan banyak wanita yang rela mengemis cinta dari seorang Sean. Tapi Vania, gadis berpotong rambut bob seperti polwan itu dengan berani bahkan dengan terang-terangan menyatakan kebencian padanya. Seketika adrenalin Sean merasa tertantang untuk menaklukkan gadis di hadapannya ini. 

“Mata kakak nggak bisa lihat aku lagi apa? Kasihan, masih muda tapi udah rabun,” sindir Vania. Sean semakin terperangah dengan keberanian perempuan ini menyindir dirinya.

“Harus, ya, perkataannya penuh dengan sindiran begitu? Nggak bisa, gitu, seperti perempuan lainnya? Yang lemah lembut dan—“ 

“Dan penuh dengan desahan yang dibuat-buat di setiap kata yang diucapkan agar membuat kakak senang dan membayangkan hal-hal yang ... tau sendirilah!” sinis Vania dengan lirikan tajam.

Sean berdehem pelan. Bukan salahnya jika dia memikirkan hal-hal yang tidak senonoh jika banyak perempuan yang mendekatinya bahkan setiap tutur katanya diselingi dengan desahan. Salahkan saja para perempuan itu. Tapi yang namanya pria itu selalu salah dan perempuan selalu benar, jadi mau perempuan itu salah tetap saja dia selalu benar. 

“Oke, aku salah.” Vania menutup bukunya dengan kesal. Nait hati dengan berbicara ketus dan sinis agar pria satu ini menjauh, malah membuat Vania tidak enak hati karena permintaan maaf dari Sean atas kesalahan yang tidak dia perbuat. Dengan menghela napas lelah, dia bertanya, “Emang kakak punya salah apa sama aku?”

“Iya, punya,” jawab Sean ragu, sedangkan Vania menaikkan sebelah alisnya bingung.

“Kamu ngomong ketus dan sinis gitu sama aku. Jadi aku pikir aku punya salah sama kamu,” lanjut Sean. 

Vania menghela napas kesal. Ternyata bukan hanya selalu salah, pria itu juga makhluk yang kurang peka, buktinya saja pria yang duduk di sampingnya ini. Tidak peka ‘kah bahwa Vania berbicara ketus agar pria itu tidak mengganggu dirinya yang sedang belajar untuk persiapan ulangan dari Pak Chandra, guru biologi paling galak seantero sekolah?! Masa Vania harus mengomong begitu pada Sean? Jujur, Vania tidak sudi! 

Tidak ingin berlama-lama di dekat pria itu, Vania dengan cepat pergi keluar dari perpustakaan. Harapan untuk bisa belajar dengan tenang  di perpustakaan, nampaknya belum bisa Vania rasakan.  Dengan cepat Vania berjalan di lorong menuju kelasnya. Tampak para teman sekelasnya sedang berpencar mencari tempat untuk belajar. 

“Aku beneran minta maaf, loh, Van. Aku nggak ada niat buat—“ Ucapan Sean terhenti begitu Vania berhenti berjalan dan berbalik menghadap dirinya. 

“Kakak bisa diem, nggak?! Aku udah pusing dengan ulangan biologi yang bentar lagi akan dimulai, terus kakak minta maaf atas kesalahan yang nggak Kakak perbuat,” jelas Vania kesal. 

“O-Oke, maaf.”

“Maaf lagi ... Maaf lagi! Daripada Kakak minta maaf nggak jelas sama aku, mending Kakak masuk kelas dan belajar. Bukan malah keluyuran ngintilin aku kayak aku punya hutang!” ujar Vania, lalu pergi dari hadapan Sean sambil menghentakkan kaki kesal, sedangkan Sean hanya diam di tempat.

Flashback off

“Kita telah sampai, Tuan muda,” ujar Eliandro menyadarkan Sean dari lamunan. Tidak membuang waktu lama, Sean segera keluar dari Pajero putih itu. 

Tidak ada yang berubah pada rumah di hadapannya setelah sepuluh tahun di ungsikan ke luar negeri. Taman bunga yang selalu dirawat dengan baik oleh tukang kebun, cat rumah yang seolah tampak baru, jalan setapak yang sengaja dibuat, pagar tinggi yang mengelilingi rumah dan jangan lupakan ayunan yang menjadi tempat Sean dan adik-adiknya bermain bersama. 

“Sean!” teriak seorang wanita paruh baya dari pintu masuk. Dengan cepat wanita itu berlari ke arah Sean tanpa menghiraukan teguran dari pria di belakangnya. 

“Oh, Sayang. Mommy sangat rindu padamu,” ujar wanita itu sambil memeluk Sean erat. Sepuluh tahun dipisahkan dari putra sulung yang sangat dia cintai ini membuat rindu semakin menumpuk tinggi, terlebih lagi dipisahkan oleh jarak dan waktu. 

Dengan cepat dia memandang wajah putra yang sangat dia rindukan. Mengelus dengan pelan dan mengamati hingga dia puas. Tidak, wanita itu tidak pernah puas dengan hanya memandangi wajah sang putra sampai kapan pun! 

“Kau seharusnya berhati-hati, Irina. Jika kau terjatuh dan terluka, aku tidak mau menjagamu yang penuh dengan rengekan setiap hari hingga sembuh,” tegur pria oaruh baya yang mengikuti wanita itu dari belakang. 

“Diam kau, Pak tua! Kau yang memisahkan antara aku dan anakku! Kerja kau sana dan hasilkan banyak uang! Jangan mengganggu waktu ibu dan anak ini!” hardik Irina, ibu dari Sean sambil menunjuk pria paruh baya itu. 

“Ckckckck, sepertinya ini akibat dari bergaul dengan ibu-ibu yang selalu berdandan dan berpenampilan seperti badut itu.”

“Diam kau, Pak Tua Andrew! Itu namanya kumpulan ibu-ibu sosialita, bukan ibu-ibu berdandan badut! Memang kamu, bergaul hanya dengan tumpukan kertas warna-warni dan segala laporan,” sindir Irina. 

“Tapi kertas itu bisa membuatmu menghabiskan kumpulan Gucci hingga memenuhi kamar kita,” balas Andrew pada istrinya. Sean memutar mata malas melihat perdebatan antara ayah dan ibunya yang sering terjadi tanpa tahu tempat dan waktu. Terkadang ada saja yang mereka perdebatkan, dimulai dari pakaian apa yang akan dikenakan hingga nama anak kucing yang mereka pungut dari jalanan. Bagai kucing dan anjing, selalu bertengkar dan sulit untuk akur. 

“Anggap saja itu bayaran dari perbuatanmu yang memisahkan antara aku dan Sean!” desis Irina. Semenjak kepergian Sean ke luar negeri, Irina seolah-olah ingin membuat perusahaan Andrew bangkrut dengan cara berbelanja sesuka hatinya. Namun bukan kebangkrutan yang dialami suaminya, tapi Irina yang bingung mau diletakkan di mana barang-barang yang dia beli. 

“Omong kosong macam apa itu? Terakhir setelah mendengar kepulangan Sean, kamu malah pergi ke mall dan memborong hampir seluruh setelan pria di sana. Aku yakin itu hanya akal-akalanmu saja, kan?” 

“Diam kau, Pak tua! Atau kau mau aku ....”

“Sudahlah, Irina. Apakah kau tidak mencium bau gosong dari dalam rumah kita?” tanya Andrew memotong ucapan Irina. Irina tersentak, lalu berteriak panik sambil berlari ke dalam rumah tanpa menghiraukan teguran dari suaminya. 

Kini hanya tinggal ada Andrew dan Sean, Eliandro telah masuk ke dalam rumah sambil membawa barang-barang milik Sean. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya saling memperhatikan. Andrew tersenyum terlebih dulu, lalu mendekat ke arah putranya tanpa menghiraukan pandangan memusuhi dari Sean. 

“Lihat siapa yang sekarang di depan pria tua ini? Penerus keluarga Dirgantara!” ujar Andrew sambil menepuk bahu Sean dengan penuh bangga. Siapa yang tidak bangga, putra sulungnya yang dulu terkenal nakal dan biang masalah, sekarang telah menjadi orang besar di perusahaan mertuanya di Amerika. 

Ternyata waktu telah mengubah segalanya, pikir Andrew sambil menatap Sean dengan penuh bangga. Putranya yang dulu selalu buat onar dan sering kali membuat kepalanya pusing, sekarang telah siap memegang kendali di perusahaan miliknya dan milik mertuanya. Meski Andrew tahu bahwa yang membuat Sean mau melakukan yang dia minta bukanlah demi dirinya atau keluarganya, tapi demi wanita itu. 

“Kau tumbuh seperti yang apa yang aku harapkan,” ujar Andrew bangga. Sean menatap sang Ayah dengan tatapan penuh benci. 

Seandainya Andrew tidak mengusirnya ke Amerika, sudah pasti dia akan bisa menemui Vania, gadis yang mengisi hatinya dari dulu hingga saat ini. Tapi tanpa rasa bersalah, Andrew bersikap seolah-olah itu adalah permintaan Sean sendiri. 

“Dan kau tidak melakukan apa yang aku harapkan,” balas Sean tajam, lalu berlalu meninggalkan Andrew yang terdiam di halaman. Tanpa Sean sadari, bahwa Andrew tersenyum kecil mendengar perkataannya. 

“Kau mungkin nanti akan bersyukur atas apa yang aku lakukan, Son. Tapi tentu saja tidak sekarang, dan aku tau itu,” gumam Andrew setelah Sean berjalan cukup jauh darinya. Tidak ada yang mendengarnya terkecuali angin yang berhembus. Biarlah ini menjadi kejutan untuk Sean, pikirnya. 

Memindahkan Sean ke Amerika bukanlah hal yang mudah. Tidak ada yang mendukungnya, terkecuali ayah mertuanya tentu saja. Tatapan permusuhan dari istri dan anak-anaknya selalu dia dapatkan, tapi hal itu tidak membuat niat Andrew goyah untuk membuat Sean menjadi penerus perusahaannya. Bukan hanya itu saja, alasan sebenarnya adalah dia ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan putranya dahulu. 

Dengan santai Andrew berjalan memasuki rumah yang dulu terasa dingin, kini kembali hidup setelah kepulangan Sean. Andrew tersenyum lega begitu mendengar teriakan demi teriakan dari anak-anaknya yang begitu antusias menyambut kepulangan Sean hingga terdengar dari luar rumah. 

TBC

Kalbar, 11 September 2021

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status