Share

Part 2

Sebagai seorang anak, terlebih lagi anak perempuan tunggal, Anya selalu merasa bahwa Ayah dan Aditya terlalu posesif padanya. Dimulai dari sekolah yang dipilih oleh Anya hingga teman-temannya. Banyak aturan yang ditetapkan oleh sang Ayah terlebih lagi setelah kejadian yang menimpa Anya sepuluh tahun lalu. Sementara Anya tidak ambil pusing lagi, dia mengerti akan kekhawatiran keluarga besar perihal traumanya yang belum sembuh benar. 

“Pa, Anya mohon izin mau ke rumah Mbak Gifa, boleh?” tanya Anya malam itu di ruang santai keluarga. Ayahnya yang sedang bermesraan dengan sang Ibu terdiam sejenak. 

“Gifa yang penampilannya nyentrik itu, kan? Yang berhijab tapi kayak selebgram itu?” tanya Andi. Anya mengangguk membenarkan. 

Bisa dibilang awal pengenalan antara Gifa dan keluarga besar Anya bukanlah perkara mudah, terlebih lagi Gifa itu memiliki saudara laki-laki. Entah apa hubungannya, yang jelas Ayah dan Aditya sangat-sangat tidak menyukai perempuan yang memiliki teman hingga saudara laki-laki yang dekat dengan Anya. Tapi Gifa tidak putus asa untuk mendekati Anya untuk mengajak berteman hingga niat tulus itu dapat dilihat dari pertemanan mereka yang masih bertahan hingga saat ini. 

“Ada keperluan apa, An? Kamu nggak ada masalah di kantor, kan?” tanya Diyah khawatir. Jujur, sebenarnya dia tidak menyetujui dengan pilihan Anya untuk bekerja di tengah kondisinya yang belum sembuh benar dari traumanya. Tidak bermaksud meremehkan kemampuan Anya, dia hanya khawatir dengan yang akan menimpa Anya tanpa mereka ketahui. Tapi buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tidak Anya dan Aditya itu sama seperti Andi, keras kepala! Terkadang Diyah pusing dibuatnya. 

“Nggak, Ma. Mbak Gifa minta ditemani, dia sendirian di rumahnya. Suaminya ‘kan lagi dinas di Sulsel terus dia lagi hamil, jadi nggak berani kalau sendirian. Kata orang zaman dulu, kalau orang lagi hamil itu mudah dapat gangguan dari makhluk asing,” tutur Anya menutupi alasan sebenarnya yang dipaksa Gifa untuk nonton drakor. Dalam hati Anya meminta ampun pada orang tuanya karena telah berbohong. 

“Makhluk halus kali, bukan makhluk asing. Emang alien?!” ledek Aditya dari lantai dua. 

“Emang tepung apa, makhluk halus!” 

“Dih, dikasih tau masih aja ngeyel,” hardik Aditya kesal. Dia duduk di dekat orang tuanya yang tidak kenal umur dan tempat untuk bermesraan. Duh, bikin iri aja nih orang tua, maki Aditya dalam hati. Seolah-olah mendengar maki Aditya dalam hati, Andi melotot ke arah Aditya. 

“Apa?! Iri, bilang boss! Sekolah dulu yang pinter, kejar jabatan yang tinggi. Kalau udah dapat jabatan yang tinggi, perempuan juga ikut ngejar. Contoh papamu ini,” ujar Andi bangga sambil menepuk dadanya. Aditya hanya memutar mata malas, sudah menjadi hal yang biasa bahwa Andi sering berbicara sombong pada anak-anaknya saat di rumah. 

“Ohh, jadi maksud Papa dulu Mama yang ngejar-ngejar Papa, gitu? Pantesan aja ada cowok yang dulu niat pergi ke negara konflik pas Mama tolak,” sindir Diyah, sedangkan Andi hanya meringis sambil menggaruk tengkuknya tidak gatal. Terbongkar sudah rahasia yang dia tutupi dari anak-anaknya, sedangkan Aditya tertawa meledek sang Ayah. 

“Pa, Ma, gimana? Boleh Anya nginap di rumah Mbak Gifa?” tanya Anya. 

“Malam ini aja, ya, Sayang. Mama takut kamu nanti diculik,” ujar Diyah yang mengundang gelak tawa dari Aditya dan tatapan bosan dari Anya. 

Jika dulu, Anya tidak menggubris perkataan sang Mama. Atau lebih tepatnya seperti tidak pernah terucap dari mamanya. Tidak seperti sekarang, meski dia merasa seperti anak kecil yang harus dijaga dan dikekang, Anya tidak dapat berbuat apa-apa. Lebih baik tidak pergi sama sekali, itu keputusan final dari mamanya permintaannya tidak dituruti. Didukung oleh Aditya dan Andi. 

“Iya,” ujar Anya pasrah. 

___________$$$$$_______

“Gimana? Macet, ya?” tanya Gifa saat menyambut Anya di depan pintu rumahnya. Anya hanya merengut mendengar pertanyaan tanpa perlu di jawab olehnya. Mengingat ini weekend, banyak orang yang pergi ke luar kota untuk liburan hingga menyebabkan jalanan macet. 

“Udah tau masih aja nanya. Kalau bukan karena calon ponakan, aku nggak mau keluar dari kamar.”

“Jangan gitu, dong, Aunty. Dede cuma mau nonton bareng Aunty aja,” ujar Gifa dibuat seperti anak kecil. 

“Dih! Nggak imut! Yang ada amit-amit,” hardik Anya pada Gifa. Jika Anya boleh jujur, sebenarnya wajah Gifa yang sangar dan garang itu tidak cocok memasang wajah imut begitu. Anya jadi mual melihatnya. 

“Kejam banget kamu ngiritiknya!” ujar Gifa. Anya memutar mata malas. 

“Eh, An, kamu tau nggak?—“

“Nggak!” jawab Anya sebelum Gifa selesai berkata. Gifa memukul kepala Anya keras, hingga membuat yang punya kepala meringis sakit. 

“Aku belum selesai nngomong!” Anya mengelus kepalanya yang terkena pukulan dari Gifa, seharusnya dia tidak memancing emosi seorang ibu hamil jika tahu akan begini jadinya. 

“Kamu tau, nggak, kalau Pak Andrew bakalan pensiun minggu ini.” Anya menatap Gifa dengan tatapan bingung. 

“Terus? Kalau pensiun memangnya kenapa?” tanya Anya bingung. Orang pensiun, kok, malah di jadiin berita. Kurang kerjaan sekali seniornya ini, mentang-mentang tidak ada bahan untuk dijadikan gibahan di kantor hingga menjadikan berita pensiun Pak Andrew sebagai bahan gibahan. 

“Ck, kalau orang kurang jauh mainnya gini, nih! Heh, kamu nggak kepo dengan yang bakalan gantiin posisi CEO kita?” tanya Gifa geram. Duh, juniornya satu ini memang suka bikin darahnya naik. 

“Nggak! Toh, yang penting bisa menjadikan perusahaan kita makin maju dan gaji kita naik,” jawab Anya tidak peduli. Gifa memukul jidatnya keras, dia geregetan dengan sikap Anya yang tidak peduli dan hanya memikirkan gaji dan gaji, padahal keluarganya termasuk keluarga kaya dan selalu kelebihan uang. Tapi Anya masih saja memikirkan gaji. Keterlaluan, maki Gifa dalam hati. 

Hatchi

Tiba-tiba saja Anya bersin tidak ada sebab. Gifa hanya memandang Anya bingung, lalu memandang sekitarnya memastikan tidak ada hal yang bisa membuat seseorang bersin. Terkecuali.... 

“Kayaknya ada yang ngomongin aku, Mbak. Aku bawaannya pengen bersin aja,” ujar Anya sambil menggosok hidungnya. Gifa hanya diam, pura-pura tidak mengetahui bahwa dia yang membicarakan Anya dalam hati. Biarlah Gifa dan Tuhan yang tahu. 

“Udah, deh! Nggak usah banyak alasan! Kapan nontonnya kalau gitu?!” tanya Gifa. 

“Tapi—“

“Nggak ada tapi-tapian! Ayo, kita nonton! Ji Chang-wook, i'm coming!” teriak Gifa sambil menyeret Anya yang hanya pasrah saja. 

TBC

Kalbar, 9 September 2021

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status