Share

Comeback
Comeback
Author: Annchi Liem

Part 1

Tidak ada yang kurang dari seorang Anya, wajah yang cantik seperti IU, berpendidikan tinggi, karir yang bagus di usia muda, ramah dan ceria. Sempurna bagi yang baru mengenal seorang Anya, tapi tanpa mereka ketahui bahwa banyak cacat yang disembunyikan di balik kesempurnaannya. 

Tok

Tok

Tok

“Anya! Selamat siang! Bagaimana hari ini?” sapa Gifa, senior sekaligus teman Anya di kantor. Bekerja di perusahaan ternama sekaligus besar, membuat kebanggan tersendiri bagi semua orang, termasuk Anya sendiri. Mendapat pekerjaan yang bagus dan lingkup pertemanan yang baik membuat Anya merasa lega sekaligus bersyukur. Meski dia tau bahwa banyak pihak yang hanya memanfaatkan dirinya, bagi Anya tidak masalah. 

“Waalaikumsalam, Mbak Gifa,” sahut Anya di balik layar komputer. Gifa hanya tertawa geli begitu mendengar jawaban dari Anya yang secara tidak langsung menyindir dirinya. 

“Aduh ... Bu manager, pintar banget, sih, nyindirnya.” Anya hanya tersenyum memandang Gifa yang duduk di kursi hadapannya padahal belum di persilahkan. Dalam hati Anya hanya memaklumi seniornya yang suka berperilaku seenaknya pada Anya di saat sedang berdua, tapi jika sudah bertemu di tempat umum maka yang ada hanya seperti rekan kerja kebanyakan. 

“Ada yang bisa Anya bantu, Mbak?” tanya Anya sembari memangku kedua tangannya di atas meja. 

“Udah makan siang? Kerja boleh, An, tapi makan jangan lupa! Udah makan belum? Obatnya udah diminum?” tanya Gifa. Anya hanya berdecak kesal. Memangnya dia anak kecil yang selalu diingatkan untuk makan siang, apa! Dan apalagi Gifa yang harus datang dari lantai 25 ke lantai 30 hanya untuk mengingatkan agar dia makan dan minum obat, Anya merengut mendengarnya. 

“Mbak Gifa rela naik ke lantai ini hanya untuk nanya apakah aku udah makan? Aku bukan anak kecil lagi, Mbak!” ketus Anya kesal. Duh, Anya bukan anak kecil lagi. 

“Maaf, An. Aku hanya menyampaikan pesan dari mamamu yang meminta aku mengingatkan kamu untuk makan siang. Jangan marahin aku, dong,” rengut Gifa lalu mengambil apel di atas meja dan menggigitnya. 

“Ck, kayak anak kecil aja!”

“Kamu ‘kan memang anak kecil! Kalau kamu udah dewasa udah pasti kamu bolak-balik punya pacar!” ketus Gifa, lalu dia segera menutup mulut kegat dengan apa yang dia katakan. ‘Gifa bodoh!’ maki Gifa dalam hati. Seharusnya dia tidak menyinggung hal yang sangat sensitif bagi Anya. 

Di balik kesempurnaan dan kesuksesan seorang Anya, ada hal gelap yang disembunyikan. Ibarat sebuah benda yang tertimpa sinar, semakin terang cahayanya maka semakin gelap pula bayangannya. Begitu pula dengan Anya, semakin sempurna dirinya maka semakin banyak pula cacatnya. Bukankah kesempurnaan itu hanya milik Sang Pencipta? 

“Maafin Mbak, An. Seharusnya Mbak nggak ngomong gitu,” tutur Gifa dengan rasa bersalah yang besar menggerogoti hati. Seharusnya dia tidak mengungkit alasan Anya masih single dan belum pernah pacaran hingga saat ini. 

Androphobia adalah kecemasan atau ketakutan yang ekstrem pada laki-laki. Biasanya penyakit ini ditemukan pada orang yang memiliki kejadian negatif seperti pemerkosaan, pelecehan dan lain sebagainya. Mirisnya Anya mengidap penyakit aneh itu. Sampai sekarang Gifa tidak tau apa yang menjadi penyebab wanita muda itu menderita penyakit itu karena Anya sangat tertutup pada kehidupan pribadinya, meski pada Gifa sekalipun. Yang Gifa ketahui hanyalah anggota keluarga Anya yang keturunan militer, berbeda dengan Anya yang lebih memilih menjadi seorang karyawan swasta daripada pengabdi negara seperti kedua orang tua dan saudaranya. 

Anya kembali mengetik dan fokus kembali ke layar komputernya, mencoba acuh dan melupakan apa yang dikatakan oleh Gifa. Suasana kembali hening, yang terdengar hanya suara jam yang berdenting dan ketikan dari keyboard Anya. 

“An, are you oke? Mbak minta maaf, An. Mbak keceplosan,” bujuk Gifa meminta maaf pada wanita itu, sedangkan Anya hanya diam sembari fokus mengetik untuk menutupi tangannya yang sudah bergetar hanya karena mendengar kata laki-laki. 

“An, jangan marah ... kalau kamu marah, siapa yang mau Mbak ajak nonton drama Korea terbaru bulan ini? Sedih Mbak kalau nonton sendirian,” tutur Gifa sedih. 

“Aku ‘kan nggak pernah nonton drakor kayak Henny, Mbak. Boro-boro nonton drakor, lihat cowoknya aja aku udah takut,” akui Anya lirih. Mungkin sampai kapan pun, dia tidak akan bisa seperti wanita-wanita lainnya yang bisa bebas menceritakan aktor tampan terkenal tahun ini, atau menonton drakor dengan pasangan. Terkadang Anya iri, tapi rasa takutnya mengalahkan semuanya. 

“Nah, itu dia! Kamu harus belajar nonton drakor dan kenal cogan meski lewat layar. Kalau lingkup pertemananmu yang cowok hanya Brian seorang, maka kamu nggak akan bisa tau bahwa cowok di dunia ini nggak Cuma satu! Tapi banyak!” ujar Gifa menggebu-gebu menyemangati Anya yang sudah mulai putus asa dengan penyakitnya ini. 

“Tapi, Mbak—“ 

“Husstt... aku baca di Mbah Gosong kalau nonton drakor itu bisa merefreshkan isi pikiran yang udah mulai ngajak berantem, jadi kamu harus coba! Kalau kamu nggak suka ama aktornya, kamu harus lihat aktrisnya! Cakep, loh, An! Ada yang kayak kamu!” teriak Gifa antusias hingga menggebrak meja kerja Anya. 

“Tapi ....”

“Please, An ... hanya kamu aja yang belum aku ajak nonton drakor. Anggap aja kamu lagi melawan phobia kamu itu,” bujuk Gifa dengan puppy eyes andalannya yang sering kali membuat karyawan pria lainnya muntah di tempat. Bayangkan saja wajah yang sangar seperti preman pasar tukang palak memasang wajah seimut mungkin, percayalah kalian akan merasa mual begitu saja. 

“Emm ... aku nggak berani, Mbak. Kalau aku kumat nanti gimana? Mbak nontonnya sendiri aja, ya? Atau mbak ajak teman yang lainnya,” tolak Anya halus, tidak berniat menyakiti hati Gifa yang selalu baik padanya. 

“Please, An ... hanya kamu yang aku mau, yang lain terserah mau apa. Mau mereka jungkir balik, salto hingga mewek sambil manjat pohon cabe, itu terserah mereka. Yang aku mau itu kamu. Mau, ya? Kumohon,” pinta Gifa sambil memasang wajah melas pasalnya membujuk Anya yang sedang ngambek itu bukanlah perkara yang mudah. 

“Nggak. Lain kali aja, Mbak, hari ini aku ada konsultasi ke Dokter Bintang. Maaf, Mbak.” Gifa hanya menunduk sambil memasang wajah sedih. Harapannya untuk menonton drakor dengan Anya hanya tinggal angan semata. 

Anya merasa tidak nyaman begitu melihat mimik wajah Gifa yang berubah murung. Sebenarnya bertemu dengan Dokter Bintang hanyalah alasan Anya untuk menolak ajakan Gifa, tapi begitu melihat ekspresi Gifa rasa tidak nyaman bersarang di hatinya. 

“Gimana kalau minggu depan aja aku usahakan buat nonton bareng Mbak? Kalau minggu ini aku nggak ada waktu,” usul Anya pelan, berharap wanita itu setuju dengan usulannya. 

“Aku maunya besok, An. Kalau minggu depan mah aku mau ke Surabaya, rindu masakan mamaku. Mau, ya, An ... sekali aja,” bujuk Gifa. 

“Kalau gitu nggak usah aja, Mbak.”

“Kamu mau lihat anak aku ngiler nanti pas lahirnya?!” Anya kaget begitu mendengar tutur Gifa yang terkesan ketus. 

“Mbak Gifa lagi hamil?” tanya Anya kaget. 

“Iya. Baru tiga bulan,” jawab Gifa santai sembari melahap apel lagi yang ada di meja. 

“Anak siapa?” tanya Anya bingung. Gifa menatap Anya dengan tatapan sengit. 

“Anak manusialah, masa anak Ji Chang-wook! Mimpi itu namanya!” hardik Gifa kesal. Entah kenapa dia merasa kesal dengan reaksi rekan-rekannya begitu mendengar dirinya sedang berbadan dua. Wajar jika rekan-rekannya bingung, pasalnya Gifa dan suaminya telah menjalani LDR. Dia di Jakarta sedangkan suaminya di Gowa, Sulsel. 

“Bukan, bukan gitu maksud aku. Mbak beneran hamil, kan? Nggak bohongin aku lagi?” 

“Kalau nggak percaya, kita periksa sekarang!” Gifa seketika menjadi kesal dengan junior satunya ini. Pura-pura hamil untungnya apa, coba? Seharusnya mereka senang karena anak yang telah diidam-idamkan oleh Gifa dan suaminya selama lima tahun pernikahan mereka akan segera hadir di antara mereka, bukan malah pasang muka seperti orang idiot yang beri soal seleksi profesor! Atau mungkin mereka tidak menyukai dengan berita kehamilannya ini. Duh, Gifa jadi sedih. Dengan perlahan dia mengusap air matanya yang mulai menetes di pipi. Semenjak hamil, dia jadi sangat sensitif terhadap banyak hal. Dibentak sedikit langsung nangis, lihat yang lucu sedikit langsung tertawa hingga menangis, jangan lupa dia sering marah-marah akan masalah sepele. 

“M... Mbak kenapa? Kok, jadi nangis!” teriak Anya panik. Dengan segera dia berjalan menuju Gifa yang sesegukan karena menangis. Anya panik! Sebelumnya dia tidak pernah menenangkan wanita hamil yang menangis. Kalau kata Clara, sahabatnya, menenangkan ibu hamil itu sama saja kamu lagi mencoba menjinakkan Singa. Terkadang mereka akan langsung berhenti atau ada yang langsung marah seperti akan menerkam kita jika bisa. 

“Mbak ... Mbak Gifa jangan nangis,” bujuk Anya setengah takut, takut jika diterkam oleh ibu hamil satu ini. 

“Kalian jahat! Seharusnya kalian senang begitu mendengar kehamilan aku setelah lima tahun aku menunggu, bukan malah kayak orang bodoh! Kalau nanti anak aku jadi bodoh begitu lihat wajah kalian kayak gitu, gimana?!” hardik Gifa kesal. Berhenti menangis tiba-tiba saja emosinya sudah tersulut. “Atau kalian nggak suka kalau aku hamil?! Kejam kalian!”

“Bu... bukan begitu, Mbak. Aku cuma kaget sekaligus senang dengar Mbak Gifa akhirnya hamil setelah banyak program yang Mbak dan suami jalani. Mbak jangan sedih, dong. Mbak mau minta apa? Biar nanti Anya coba turuti, anggap aja itu permintaan calon keponakan Anya. Gimana? Mau?” bujuk Anya takut karena melihat ekspresi Gifa yang sudah seperti akan menelan orang. Anya jadi merinding dibuatnya. 

“Beneran?! Kamu nggak bohong apalagi ingkar janji, kan? Atau ini akal-akalan kamu biar Mbak nggak nangis dan bikin berisik?” tuduh Gifa. Anya menggeleng kepala panik, belum sempat dia berkata Gifa sudah merengek seperti anak kecil yang diambil permennya. 

“Mbak, jangan nangis, dong. Anya minta maaf atas ucapan Anya tadi, Mbak. Mbak jangan nangis, dong, nanti cantiknya hilang.” 

Dalam hati Anya merutuki, seharusnya Gifa yang meminta maaf karena sempat menyinggung traumanya bukan Anya yang harus meminta maaf dari kesalahan yang bukan dia buat. Diam-diam Anya berdoa, semoga saja nanti anak dari wanita itu tidak menyebalkan seperti ibunya. Dengan segera Gifa menghentikan tangisannya lalu bercermin pada layar hpnya. Setelah cukup lama dia bercermin, dengan segera dia menatap Anya dengan angkuh dan penuh percaya diri. 

“Aku masih cantik, kok!” ujarnya penuh percaya diri. Anya segera memukul jidatnya sendiri karena kesal. Rasanya ingin mengusir wanita ini, tapi entah kenapa dia tidak ingin melakukannya. 

“Kalau gitu, besok kamu harus nonton drakor bersama di rumahku!” putus Gifa. Anya hanya melongo begitu mendengar putusan Gifa yang tidak meminta pendapatnya terlebih dahulu. “Tanpa alasan!” lanjut Gifa, lalu wanita itu pergi keluar ruangan itu meninggalkan Anya yang hanya memijit kepalanya yang pusing. Sepertinya dia tidak ada alasan lagi untuk menolak permintaan dari Gifa. 

___________$$$$$$___________

Dentingan garpu dan sendok beradu menghiasi 

 keheningan di meja makan. Makan malam bersama adalah rutinitas yang harus dilakukan setiap malam di keluarga Andi Bagaskara, terkecuali jika Andi dan istri harus ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Menjaga tata krama dalam makan, tiada satu pun yang bersuara meski banyak hal yang ingin dibicarakan dari hal yang serius hingga hanya candaan semata. 

“Ujian kamu gimana, Dit? Kira-kira lulus atau nggak?” tanya Andi pada putra bungsunya, Aditya yang baru saja seleksi masuk akademi polisi. Berbeda dengan sang ayah yang merupakan anggota TNI, Aditya memilih menjadi polisi semenjak kejadian yang menimpa Kakak perempuannya sepuluh tahun yang lalu. 

“Papa,” tegur Diyah, sang istri pada Andi. Dia tidak setuju dengan tindakan Andi yang menanyakan masalah pendidikan di meja makan. Bagi Diyah yang dididik tata krama dengan ketat, berbicara di meja makan itu tidak sopan, terlebih lagi masalah masa depan anak-anaknya. Masih ada ruangan lain selain ruang makan. Tapi sepertinya Andi tidak peduli dengan hal itu. 

“Masih harus tes renang, Pa,” jawab Aditya juga tidak memperdulikan peringatan dari mamanya. Diyah mendengkus kesal. Anak dan Ayah sama aja, pikirnya. 

“Yakin bisa renang?” tanya Anya meledek adiknya. Diyah melotot ke arah Anya, mengode agar tidak ikut-ikutan seperti Andi dan Aditya. Tapi sepertinya Anya tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu akan kode dari Diyah hingga dia kembali meledek sang Adik. 

“Bisalah. Gini-gini pernah jadi juara kampung!” seru Aditya menepuk dadanya bangga seolah-olah telah berhasil menyelamatkan dunia dari marah bahaya. 

“Dih, juara kampung aja bangga! Yang jadi saingan kamu itu satu negara, bukan satu kampung!” ledek Anya masih tidak menghiraukan kode dari Diyah agar tidak memperpanjang perdebatan. 

“Oh, bukan hanya juara kampung. Kakak tau siapa yang mengukur kedalaman palung Mariana?” tanya Aditya menantang Anya berdebat. 

“Siapa? Kamu yang ngukur?”

“Ya bukanlah! Paling Mariana itu kedalamannya di teliti oleh kapal Angkatan Laut Britania, Challenger II, menggunakan kapal selam bernama Triste. Makanya kalau punya HP itu jangan Cuma buat bisnis ama main game aja, baca artikel juga perlu!”

“Dih, udah sok pinter! Padahal nilai pas ulangan harian aja pas-pasan.”

“Biarin. Yang penting bentar lagi jadi polisi,” sahut Aditya tidak peduli dengan ledekan sang Kakak. Diyah sudah yang sudah menahan emosi sedari tadi, sepertinya sudah akan meledak melihat perdebatan tidak penting dari kedua anaknya. Di saat akan memarahi kedua anaknya, Andi memegang tangan Diyah, mengkode agar sang istri tidak menghentikan perdebatan antara kakak dan adik itu yang hampir tidak pernah terjadi. Diyah pun menuruti permintaan suami. Dia kembali diam dan memperhatikan sangkalan hingga ejekan yang kakak adik itu lontarkan. Diam-diam dia tersenyum penuh syukur. Setelah sepuluh tahun masa kelam yang keluarga mereka alami, kini bisa tersenyum cerah layaknya mentari pagi. 

Tanpa mereka ketahui, bahwa semakin cerah cahaya maka akan semakin gelap pula bayangannya. Semakin tinggi suatu pohon, maka semakin kencang pula angin yang berhembus. Hanya waktu yang menunjukan kapan harus bertindak dan kapan harus berhenti. Itulah yang namanya takdir. 

TBC

Kalbar, 8 September 2021

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status