“Untuk apa mama menghubungiku?”“Mana aku tahu?”Zie membuang napasnya lewat mulut, dia tak habis pikir Raiga seketika mengabaikan pemeriksaannya dan malah melempar pertanyaan konyol ke Sean.“Angkat saja panggilan itu, kenapa bertanya?” sembur Zie yang kesal, dia tarik selimut khusus pasien untuk menutupi bagian perutnya. “Sepertinya kamu baik-baik saja, Nak. Setelah badai topan yang dibuat papamu,” lirihnya.Sean sepintas mendengar apa yang diucapkan oleh sang istri lalu menoleh. “Angkat teleponnya dan segera lanjutkan pemeriksaan ke istriku!” titahnya ke Raiga.Raiga bergerak cepat hendak meraih ponsel miliknya, tapi panggilan itu lebih dulu mati. Ia memandang Sean lalu Zie dengan gurat kebingungan.“Mati,”ucapnya.“Bagaimana bisa orang bodoh sepertimu menjadai dokter?” Sean berdecak sebal lalu mengangkat tangan seolah ingin memukul Raiga. “Ambil ponselmu itu dan telepon balik!”Raiga yang kesal mengepalkan tangan, dia membuat gerakan meninju tepat di depan muka Sean, tapi Sean bahk
Setelah Raiga setuju untuk membantu menghubungi istrinya, Ghea pun merasa lega. Ia tetap menunggu di dalam mobil sampai Raiga kembali mengirim pesan, memberitahu kalau Yura akan menemui Ghea sebentar lagi.Membaca pesan dari putranya itu Ghea pun menelan saliva, dia menoleh ke arah gerbang dengan perasaan harap-harap cemas. Sesekali sang sopir menatapnya dari kaca spion tengah, heran kenapa sang majikan seperti hendak bertemu dengan pelakor yang merebut suaminya.“Nyonya, apa Anda ingin saya antar masuk saja? Dari pada menunggu di sini?”“Tidak Pak, kita di sini saja,”jawab Ghea. Dia bahkan mempersilahkan sang sopir untuk pergi membeli makanan jika lapar, sedangkan dia memilih untuk menunggu di sana.Lima belas menit berselang Ghea sudah merasa jenuh menunggu di mobil, beruntung Yura muncul dan terlihat sedang dibantu oleh satpam menyeberang jalan. Ghea menegakkan badan, dia lantas membuka kaca jendela mobil saat Yura mendekat.“Tante Ghea, maaf aku tadi harus diskusi sebentar dengan
Yura menatap layar ponsel di mana pesan balasan dari Raiga baru selesai dia baca. Ia menoleh Ghea, lantas memasukkan benda pipih miliknya ke dalam tas. Meski takut, tapi Yura akhirnya mencoba untuk mengajak bicara sang mertua.“Mama, apa ada sesuatu yang ingin mama beli nanti?”Di satu sisi Ghea kaget mendengar pertanyaan Yura. Namun, di sisi lain dia lega karena gadis itu mau bicara dan bahkan memanggilnya dengan sebutan mama. Ghea terlihat kebingungan dan hanya bisa memandangi wajah sang mantu, hingga bibirnya menipis. Ia tersenyum untuk mencairkan suasana.“Lihat-lihat saja dulu, sebenarnya mama ingin membelikan beberapa hadiah untukmu,”jawab Ghea.Yura menelan ludah, benar dugaannya. Ghea pasti akan mengajaknya berbelanja. Ia mencoba untuk berbasa-basi dengan menolak kalimat Ghea yang ingin memberinya hadiah.“Hadiah? Ulangtahunku sudah lewat.”Yura sengaja tertawa, meski apa yang dia tunjukkan sedikit mengandung kepalsuan. Dadanya terasa berdebar, Yura benar-benar takut jika samp
“Iya, meski ada yang bilang jika sedikit saja tidak apa-apa, tapi kalau banyak bisa bahaya,”ucap Ghea menjelaskan ke Yura. “Nanti kalau kamu sudah melahirkan kamu boleh minum jus nanas, untuk sekarang lebih baik tidak, Mama bilang begini karena peduli sama kamu, kalau kamu tidak percaya nanti kamu bisa bertanya ke mamamu soal larangan ini.” Yura yang awalnya sedih karena ditolak menjadi terharu, dia tersenyum kecil kemudian menunduk, membiarkan pelayan restoran pergi meninggalkan mejanya dan Ghea, setelah itu dia menyambar tisu di meja. “Yura! Kamu kenapa? Apa kamu menangis?” Ghea syok, dia takut jika sampai menantunya itu menyalahartikan larangannya tadi. Namun, tak berselang lama Ghea bisa bernapas lega. Yura akhirnya menegakkan kepala dan berkata terharu dengan apa yang Ghea lakukan. “Terima kasih, Ma. Terima kasih sudah baik padaku.” Ghea tak habis pikir, dia tak menyangka kalau perhatian kecilnya itu bisa menyentuh hati Yura. Ia pun meraih tangan menantunya itu yang berada di
“Tolong sampaikan ke Pak Aris, malam ini Yura tidak akan pulang ke rumah, karena saya menculiknya.” Mulut Yura menganga mendengar ucapan Ghea ke sang mama. Ia tidak menyangka bahwa mertuanya akan bicara seperti itu. “Tapi, dia tidak membawa baju.” Yura tertawa mendengar jawaban sang mama, dia yang sedang duduk di karpet ruang keluarga rumah mertuanya menepuk beberapa tas kertas berisi baju yang dibelikan Ghea untuknya. “Mama tidak perlu cemas, mama Ghea membelikan aku satu lusin baju tidur,”ucap Yura saat Ghea mendekatkan ponsel ke arahnya. Mirna benar-benar merasa senang, sepertinya tidak ada kebahagiaan lain untuknya sekarang, selain rasa syukur karena sang putri mendapat kasih sayang melimpah dari sang ibu mertua. “Jadilah menantu yang baik, Ra. Ingat jangan merepotkan!” Ghea tersenyum dan kembali menempelkan ponsel ke telinganya, dia berbicara lagi dengan Mirna sebelum akhirnya menutup panggilan itu. “Hari ini aku sangat senang, terima kasih Ma.” Yura menyandarkan kepala k
“A-a-apa maksud pertanyaanmu itu?” Raiga mencoba mengelak dari pembicaraan ini, tapi malah berakhir bertanya maksud dari sang istri. “Aku tahu kamu belum sepenuhnya mencintaiku, jadi aku memutuskan akan mengejarmu.” Raiga gelagapan, dia tak pernah menyangka akan bertemu dan menikahi wanita seperti ini. Tatapan mata Yura yang genit dan menggoda, serta kejujurannya membuat Raiga mundur lalu memasang gesture agar gadis itu mau menghentikan aksi. “Kamu pikir aku pencuri, kenapa harus dikejar?” “Kamu memang pencuri, kamu mencuri hatiku.” Jawaban Yura membuat pipi Raiga bersemu. Sebagai pria dari keluarga Tyaga, sepertinya Raiga yang paling lembek hatinya. Terbukti dia seketika berbunga-bunga hanya karena gombalan dari Yura. “Ra, aku mau mandi. Hari ini aku membantu dua orang melahirkan.” Raiga memberi alasan agar bisa menghindar. Tanpa menunggu respon Yura, dia masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya. “Dia imut sekali,”ucap Yura. Gadis itu memasang muka gemas ke Raiga sambi
Yura memutuskan menunggu Raiga selesai mandi, dia duduk di depan meja riasnya dengan tatapan mata terus tertuju ke pintu kamar mandi. Yura menduga suaminya itu pasti heran dengan tingkahnya tadi, tapi mau bagaimana, cinta harus dikejar, begitu pikirnya. Ia akan menyingkirkan rasa malu untuk membuat Raiga secepatnya tergila-gila. “Ah… sial!” Raiga mengumpat menyesali kebodohannya sendiri, karena buru-buru menghindari Yura dia sampai tidak membawa baju ganti bahkan handuk. Dengan tubuh tanpa busana, pria itu mondar-mandir sampai akhirnya menjambak sisi kepala. Mau tak mau dia harus meminta tolong Yura mengambilkan handuk dan baju ganti. “Ra, apa kamu masih di sana?” Raiga berteriak tanpa membuka pintu kamar mandi. “Hem, iya. Aku masih di sini. Ada apa?” Yura bangun dan mendekat, dia memandang daun pintu lalu mengetuknya sekali. “Butuh sesuatu?” “Aku lupa membawa handuk dan baju ganti, bisakah kamu mengambilkannya di lemari?” pinta Raiga. Ia merasa lega karena Yura mengiyakan. Gadi
Yura menutup pintu sesaat setelah masuk kamar. Ia melihat Raiga berhenti melangkah, dengan seringai licik Yura dengan sengaja bergegas mengunci pintu, hingga sang suami menoleh kaget. “Kamu mau apa?” “Mau apa? tidur donk, kakak ini bagaimana sih,”jawab Yura sambil mendekat ke ranjang, tatapan matanya tak teralihkan sedikitpun dari wajah Raiga. Yura duduk di tepi ranjang, dia tiba-tiba mengurungkan niat menaikkan kaki, karena sebuah ide kembali melintas di kepala. “Kak bisa bantu membuka resleting bajuku lagi? terlalu gerah, aku mau berganti baju tidur yang nyaman,”ucapnya. Yura kembali berdiri untuk mendekat ke Raiga lantas menunjukkan bagian punggungnya. “Ma-mau ganti baju apa? bukankah kamu tidak membawa baju ke sini?” Yura menelengkan kepala, dia tahu Raiga pasti tak mengira bahwa Ghea membelikan beberapa baju kekurangan bahan juga untuknya. “Kakak lupa? Sepertinya aku sudah bilang kalau Mama membelikanku baju tadi.” Yura menggoyangkan pundak, menyentuh bagian belakang punggu