Share

4. Kehilangan Ibu

Liceo dan Damian tersentak mendengarnya. Damian hanya tertunduk, sedangkan Liceo menatap Lareina dengan sangat lekat. Damian yang sangat paham dengan karakter sang bos, merasa khawatir. Karena jika Liceo sudah tersulut emosi maka dia tidak akan memandang siapapun lawan bicaranya.

Perasaan Damian sudah ketar-ketir, apalagi melihat mata Liceo yang sudah memerah dan bahkan berkaca-kaca, sementara Lareina sengaja membalas tatapan Liceo, dia terlihat begitu menantangnya.

“Mengapa kau menatapku seperti itu? Apakah kau ingin marah? Kau tidak terima dengan ucapanku? Aku tidak peduli! Karena apa yang aku katakan itu semuanya benar dan kenyataan, bahwa kau dan temanmu itu penjahat kelamin!” Lareina berteriak di depan wajah Liceo.

Liceo memejamkan mata. Tangannya sudah terlihat mengepal hingga urat-uratnya nampak. Damian yang melihat itu semakin khawatir. Dia mendekati sang bos. Namun, seketika langkahnya terhenti karena Liceo memberinya kode untuk berhenti.

“Nona, aku tidak ingin berdebat ataupun bertengkar denganmu. Jika kau ingin marah padaku, nanti kau bisa melanjutkannya, tapi untuk saat ini … lebih baik kita ke rumahmu.” Liceo menatap Lareina.

“Aku tidak sudi jika penjahat kelamin sepertimu mendatangi rumahku! Lebih baik kau pergilah, aku bisa pulang sendiri!”

Lareina langsung membalikkan badan dan meninggalkan Liceo serta Damian. Namun, Liceo segera berinisiatif untuk kembali mengejar Lareina, dan dia memerintahkan Damian untuk mengikutinya menggunakan mobil.

Hari yang sudah semakin beranjak malam, semakin gelap. Suasana di hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar serta rumput-rumput liar itu, semakin membuat suasana mencekam.

Lareina yang sudah terbiasa berjalan di semak belukar itu, tidak mengalami kesulitan ketika sedang berjalan. Berbeda halnya dengan Liceo yang terlihat kesulitan.

“Nona, aku mohon, ayo, naik mobil bersamaku. A-aku kesulitan berjalan.” Liceo memegang tangan Lareina.

Seketika gadis itu menepis tangan Liceo. “Apa peduliku, hah?! Aku tidak memintamu untuk mengikutiku.”

“Tapi Nona, ini semua demi ibumu.”

Lareina mendadak berhenti sehingga dada Liceo membentur punggungnya. Lareina nampak sedang berpikir dan mencerna ucapan Liceo.

‘Ibu? Aku sedari tadi hanya sibuk dengan diriku sendiri. Aku bahkan melupakan tentang ibuku yang sedang sakit dan sedang menungguku. Hari sudah beranjak malam, apa yang harus aku lakukan?’ Lareina membatin.

“Nona, mari masuklah.” Liceo membuka pintu mobil.

Damian yang mengikuti mereka sudah berada di belakang. Dia mempersilakan sang bos dan sang gadis untuk masuk. Akhirnya, Lareina mengalah. Dia pun masuk karena ingin segera sampai di rumah.

Dirinya duduk di kursi belakang, sedangkan Liceo duduk di sampingnya. Damian pun bergegas melajukan mobil secara perlahan mengikuti jalan setapak.

Lareina duduk dengan gelisah. Wajahnya melihat ke arah luar. Pikirannya sudah tidak karuan memikirkan sang ibu. Air mata kembali mengalir. Sesekali tangannya terlihat sedang menyusut air mata. Dan semua itu tak luput dari perhatian Liceo.

Perasaan Liceo semakin bergemuruh melihatnya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lareina mau diantarkan olehnya saja, itu sudah sesuatu yang sangat berharga untuknya.

Hingga tanpa terasa, mobil yang mereka tumpangi telah memasuki sebuah desa terpencil. Terlihat rumah-rumah penduduk yang hanya sedikit. Jarak rumah mereka pun agak berjauhan.

Penerangan pun sangat minim. Walaupun sudah ada listrik, tapi itu hanya di rumah-rumah saja, sementara di jalan tidak tersedia lampu untuk penerangan.

“Nona, di mana rumahmu? Kita telah sampai.”

Suara Liceo mengagetkan Lareina yang tengah melamun. Gadis itu seperti linglung. Dia menatap sekitarnya, lalu matanya tertuju pada sekelompok orang yang memenuhi sebuah rumah.

Lareina pun bergegas keluar dan berlari ke arah mereka. Kedatangannya mencuri perhatian orang-orang. Perasaan Lareina semakin tak menentu melihat tatapan mereka.

“Reina, akhirnya kau pulang, Nak. Dari mana saja kau seharian ini? Ibumu —”

Seorang wanita paruh baya berbicara seraya mendekati Lareina.

“Ibuku? Ada apa dengan ibuku?” Lareina bertanya dengan berlinangan air mata.

Tanpa mendengar jawaban, dia pun langsung berlari ke dalam rumah. Dia mendesak kerumunan banyak orang yang kini tengah memenuhi rumahnya yang kecil dan sempit itu. Lareina langsung memeluk tubuh sang ibu yang sudah terbujur kaku.

“Ibuuu … Ibuuu … bangun, Bu. Tolong bangun, jangan tinggalkan Reina, Bu. Jika Ibu pergi, aku dengan siapa? Ayah sudah meninggalkanku sejak aku kecil, dan yang aku miliki hanya dirimu.”

“Ibu, tolong maafkan aku. Karena aku terlambat membawakan obat untukmu. A-aku sudah membeli obat itu, tapi —”

Lareina tidak meneruskan ucapannya. Dia kembali teringat dengan Liceo yang sudah menghancurkan hidupnya. Seketika matanya mengedari orang-orang di sekitarnya.

Hingga akhirnya, matanya tertuju pada sosok tinggi besar yang berdiri tak jauh darinya. Seketika emosi kembali memenuhi jiwanya. Lareina bangkit dan berlari ke arah Liceo.

“Ini semua gara-gara kau! Kau yang telah menyebabkan ibuku tiada. Dasar laki-laki biadab, bajingan, iblis. Aku sangat membencimu. Aku sangat membencimu.” Lareina memukul-mukul dada Liceo.

Lareina menangis dengan pilu. Dia tak berhenti berteriak hingga suaranya parau. Liceo hanya diam, dia menerima semua kemarahan Lareina. Dia tidak bermaksud untuk menghentikan tindakan sang gadis.

“Kau pembunuh! Kau yang telah membunuh ibuku! Aku sangat membencimu! Aku membencimu. Aku memben —”

Bruk!

Tubuh Lareina terjatuh. Dengan sigap Liceo menahannya. Dia memeluk tubuh sang gadis yang tak sadarkan diri, sementara Damian terlihat sedang berbincang dengan orang-orang di tempat tersebut.

Lalu, mereka pun langsung mengikuti instruksi dari Damian. Damian terlihat sibuk mengatur semuanya, sementara Liceo tampak sedang membopong tubuh Lareina yang masih tak sadarkan diri.

Seorang ibu menghampirinya. “Tuan, tolong bawa Reina ke kamarnya. Biarkan dia istirahat di sana. Ayo, ibu antar.”

Liceo mengangguk. Dia mengikuti langkah ibu tersebut. Sesampainya di kamar sederhana milik Lareina, dia pun segera merebahkan tubuh sang gadis.

Wajah Lareina terlihat semakin memucat. Hati Liceo mencelos melihatnya. Perlahan dia duduk di pinggir ranjang. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah cantik Lareina.

“Tolong maafkan aku. Aku berjanji akan bertanggung jawab dengan semua ini. Aku benar-benar menyesal. A-aku tidak tahu jika semuanya akan seperti ini.” Liceo berbicara seraya mengelus-elus kepala Lareina.

“Reina, aku menerima jika kau sangat membenciku. Aku memang bersalah. Aku jahat, aku iblis, aku bajingan. Semua yang kau katakan itu benar, tapi tolong izinkan aku mempertanggung jawabkan semua ini.”

Liceo terlihat menyusut air matanya. Dia benar-benar sangat menyesali perbuatan terkutuknya itu. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada Sherina—sang mantan istri. Liceo mengepalkan tangan.

‘Sherin, ini semua akibat ulahmu yang mengatakan aku impoten. Kau menceraikanku di malam pertama kita hanya karena keputusanmu yang sepihak itu.’

‘Semua ini tidak akan terjadi jika kau tidak mengatakan itu padaku. Aku sampai menodai Lareina karena ingin membuktikan ucapanmu itu. Aku sampai menyebabkan ibunya meninggal. Sherin, aku tidak akan pernah memaafkanmu!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status