Share

6. Oma Masimma Domani

“Kau —”

Mata Lareina membola sempurna ketika ia melihat kehadiran laki-laki yang sangat dibencinya. Bola-bola kristal itu pun sudah siap meluncur dari kelopak matanya.

Lareina semakin beringsut mundur, hingga tubuhnya terjatuh dari ranjang. Liceo berlari ke arahnya.

“Nona Reina, kau tidak apa-apa?” Liceo mengulurkan tangan.

“Jangan mendekat! Jangan sentuh aku! Menjauh dariku!” Lareina berteriak histeris.

Kelima maid yang melihat pemandangan itu hanya bisa saling berpandangan. Mereka bingung dengan apa yang terjadi, sementara Lareina sudah menangis terisak.

“Tuan —”

Salah satu maid membuka suara. Namun, Liceo mengangkat tangannya. Dia memberi kode agar para maid itu diam dan pergi. Kelima maid itu pun bergegas keluar.

Sementara Lareina menangis dengan memeluk lutut. Ia menyusupkan wajah di antara kedua lututnya. Liceo meneguk ludah dengan susah payah, tenggorokannya terasa tercekat.

“Nona, a-aku mohon, tolong maafkan kesalahanku. Aku berjanji akan bertanggung jawab. A —”

“Kau pikir dengan kata maafmu itu dan dengan kata tanggung jawabmu itu akan bisa menghidupkan kembali ibuku, hah?! Apa kau pikir kau bisa mengembalikannya padaku?!” Mata Lareina memerah dan menatap nyalang pada Liceo.

“Nona, aku —”

“Apakah kau juga berpikir, bahwa semua kata-katamu itu akan bisa mengembalikan kesucianku yang telah kau renggut paksa?”

Deg!

Jantung Liceo berdetak kencang. Dia balas menatap mata Lareina yang sedang tersulut emosi. Lareina perlahan bangkit, tangannya berpegangan pada sisi ranjang dan nakas.

Liceo pun ikut berdiri. Kini kedua anak manusia yang berbeda jenis kelamin itu saling menatap dengan pikiran masing-masing.

Tanpa sadar tangan Liceo terulur ke depan. Dia bermaksud menyentuh wajah Lareina, dia ingin menghapus jejak-jejak air mata sang gadis.

Plak! Plak!

Lareina menampar wajah tampan Liceo. “Kau benar-benar penjahat kelamin! Kau iblis! Aku sangat membencimu!”

Lareina mendorong kuat tubuh Liceo hingga tubuh tinggi besar nan atletis itu bergeser ke samping. Gadis itu berlari menuju pintu, dia berniat ingin pergi dari rumah tersebut.

Akan tetapi, tiba-tiba langkah kakinya perlahan mundur. Liceo diam sambil memperhatikannya. Seorang wanita tua masuk ke dalam kamar tersebut.

“Kau mau pergi ke mana, Nak? Kau sedang tidak enak badan, sebaiknya kau beristirahat. Dan ingat, jangan berlarian, nanti kau bisa kembali pingsan.” Wanita tua itu berbicara sambil tersenyum hangat.

Lareina diam tanpa kata. Namun, matanya tak luput dari wajah wanita tua yang masih terlihat sangat cantik itu. Emosinya yang tadi menggebu-gebu, kini perlahan mereda.

“Ayo, oma temani kau beristirahat.” Wanita tua itu merengkuh bahu Lareina.

Tanpa penolakan, Lareina pun hanya menurut saja. Lalu, mereka berdua duduk di tepi ranjang. Tangan wanita tua itu membelai-belai kepala Lareina, sementara Liceo yang berdiri di belakang mereka hanya diam.

“Siapa namamu, gadis cantik?”

“N-namaku Lareina Rafaela. Anda siapa?”

Akhirnya Lareina mau berbicara secara normal, tanpa diiringi emosi jiwa.

“Nama yang sangat cantik, secantik orangnya. Nama oma … Masimma Domani, kau panggil aku oma saja, terserah bagaimana senyamannya kau saja.”

Tanpa sadar, bibir Lareina terangkat, dia tersenyum mendengar ucapan Masimma Domani—oma Liceo. Liceo terpana melihatnya. Karena baru kali ini dia melihat Lareina tersenyum.

‘Ternyata dia sangat cantik dan manis sekali jika sedang tersenyum. Sejak pertama aku bertemu dengannya, aku tidak pernah melihatnya tersenyum. Dia selalu dipenuhi emosi jika berhadapan denganku.’ Liceo membatin sambil tersenyum.

Sejenak Lareina melupakan keberadaan Liceo. Karena dia tengah fokus terhadap Masimma. Kehadiran wanita tua itu sedikit memberi warna dalam hidupnya.

Sementara Masimma tiada henti membelai kepala Lareina. Terkadang dia mengelus pipinya, yang semakin membuat Lareina lupa pada keberadaan Liceo.

“Kau sudah mandi?” Masimma bertanya. Lareina hanya menggeleng.

“Kau sudah makan?” Masimma kembali bertanya, dan Lareina kembali menggeleng.

“Jika begitu, sebaiknya kau mandi dulu, lalu makan.”

“Apa yang Oma katakan itu benar, Nona Reina. Sebaiknya kau mandi dan makan. Karena kau belum makan sejak kemarin.” Tiba-tiba suara Liceo terdengar.

Lareina terhenyak mendengarnya. Kesadarannya langsung kembali, dan kini dia kembali teringat dengan Liceo.

“Laki-laki iblis kau! Aku membencimu! Pergiiiii …!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status