Share

7. Penjahat Kelamin

Lareina kembali membabi-buta. Bahkan dia melempari Liceo dengan bantal guling yang ada di ranjang, dan benda apa saja yang ada di dekatnya.

Masimma hanya memperhatikan tindakan Lareina terhadap cucu kesayangannya itu. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena dia belum mengetahui titik permasalahan dari keduanya.

Lareina kembali histeris. Kini dia melupakan keberadaan Masimma yang masih duduk di sampingnya. Gadis tersebut berdiri dengan tatapan nyalang.

“Aku ingin kembali ke rumahku. Ibuku di sana tengah menungguku. Mengapa kau membawaku ke sini, hah?! Aku tidak sudi tinggal dengan penjahat kelamin sepertimu!” Lareina terus berteriak.

Masimma mengernyitkan kening mendengar Lareina mengatakan cucunya penjahat kelamin. Pertanyaan demi pertanyaan bercokol dalam benaknya.

Dia menatap Liceo yang masih berdiri sambil menghalau benda-benda yang Lareina layangkan padanya.

“Aku membencimu laki-laki iblis. Aku sangat membencimu ….” Suara Lareina semakin melemah, hingga akhirnya dia kembali tak sadarkan diri.

Liceo dan Masimma sangat panik melihatnya. Wanita tua itu berteriak histeris memanggil nama sang cucu. Liceo melompati ranjang dan langsung membopong tubuh Lareina.

“Ceo, letakkan gadis ini di ranjang, dan panggil para maid. Cepaatt!” Masimma berteriak.

Liceo berlari keluar. Tak lama kemudian kelima maid tadi kembali masuk ke dalam kamar mewah milik Liceo. Mereka langsung menangani Lareina yang masih pingsan.

Kelima maid itu bukanlah pelayan biasa. Mereka merupakan pelayan khusus di keluarga Domani yang sangat kaya raya itu. Mereka ada yang dari bidang kedokteran, kecantikan, kesehatan, dan chef. Dan mereka memiliki peran masing-masing.

Tak butuh waktu lama, akhirnya Lareina siuman. Matanya terbuka dan langsung bersirobok dengan mata elang milik lelaki tampan yang sangat dibencinya. Dia pun langsung memalingkan wajah.

Masimma yang melihat itu semakin merasa penasaran dengan permasalahan mereka. Dia mengajak kelima maid untuk keluar. Dan kini di dalam kamar yang mewah dan luas tersebut hanya tinggal Lareina dan Liceo.

Liceo mengumpulkan keberanian untuk membuka suara. Dia menarik napas dengan berat. “Nona Reina, kau makan dulu.”

Tidak ada jawaban. Liceo memutar otak agar gadis tersebut menanggapinya. 

“Atau kau mandi saja dulu agar tubuhmu segar.” Pandangan Liceo tak beralih dari wajah cantik Lareina.

Tetap tidak ada jawaban. Yang terdengar justru isak tangis Lareina yang sangat memilukan. Liceo memejamkan mata, hatinya berdenyut nyeri melihat keadaan Lareina.

“Nona, aku —”

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menghentikan ucapan Liceo. Dia bergegas menghampiri pintu. Ternyata Damian sudah berdiri di luar kamar.

“Dam, ada apa?” Liceo menutup pintu.

“Maaf, Bos, jika aku mengganggumu. Aku hanya mengingatkan jika nanti malam kau ada acara dinner dengan Nona Rebeca.” Damian menatap sang bos.

Meskipun Damian adalah asisten Liceo, tetapi dia tidak mau jika sang asisten berbicara formal padanya. Oleh karena itu, Damian menggunakan bahasa informal agar tidak ada kecanggungan di antara mereka. Karena Liceo yang menginginkan itu semua.

Liceo terlihat mondar-mandir sambil menggigit-gigit buku jarinya. Damian sangat tahu apa yang sedang bosnya itu pikirkan.

“Dam, apakah Mommy masih terus menuntutku untuk mengikuti semua keinginannya?” Akhirnya Liceo membuka suara seraya menatap sang asisten.

“Maaf, Bos, Madam Alessia masih terus menuntut agar kau mengikuti keinginannya. Karena dia ingin agar kau segera menikah lagi.”

“Mommy benar-benar egois. Padahal belum juga satu minggu aku menikah sekaligus bercerai, tapi dia tidak mau mengerti kondisiku.” 

Liceo meninju udara untuk melampiaskan kekesalannya. Ujian dalam hidupnya bertubi-tubi datang silih berganti. Perceraiannya dengan sang mantan istri, yang baru hitungan jam menikah.

Lalu, sang mommy kini mendesaknya agar segera menikah kembali. Yang lebih membuatnya pusing adalah masalah yang dibuat sendiri olehnya, yaitu tentang tragedinya dengan Lareina.

Kini dia sedang berusaha untuk meyakinkan gadis itu agar mau memaafkannya dan juga menerima pertanggungjawaban darinya.

“Ceo, kau masih di sini? Bagaimana keadaan gadis itu?” Suara Masimma mengejutkan Liceo.

“Oma. Ah, dia sudah siuman, tapi dia masih menangis.” Liceo menunduk.

Masimma menatap iba sang cucu. Dia memeluk dan membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang. “Nanti oma akan berbicara padanya, tapi kau berhutang penjelasan pada oma.”

Liceo hanya mengangguk. Dia sudah lemas untuk mengeluarkan suara. Masimma melepaskan pelukannya dan menatap lekat wajah kusam sang cucu.

“Pergilah jika kau ingin pergi untuk menenangkan pikiranmu.”

“Baik, Oma, terima kasih.” Liceo mencium kedua pipi sang oma, lalu berlalu pergi.

Setelah kepergian sang cucu, Masimma masuk ke dalam kamar. Di sana terlihat Lareina yang sedang memeluk lutut sambil terisak. Bahunya terguncang.

‘Aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi antara cucuku dengan gadis ini, tapi apapun permasalahannya, aku akan tetap mendukung cucuku.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status