Share

2. Kecanduan

Lareina yang kala itu tengah menangis meratapi kemalangannya, seketika menatap wajah tampan Liceo dengan nyalang.

Dadanya bergemuruh, emosi kini melanda jiwa. Bibir pun gemetar karena menahan emosi dan isak tangis. Tangannya sibuk menutupi tubuh yang polos dengan menggunakan pakaian.

“Aku menginginkanmu lagi! Layani aku lagi!” titah Liceo.

Tanpa perasaan, dia kembali menindih tubuh Lareina. Dengan napas yang menderu, dia terus mencumbui gadis tersebut. Bibir Lareina kini sudah membengkak akibat keganasan Liceo.

Sekuat tenaga gadis itu berusaha melepaskan diri dari kungkungan Liceo. Namun, semuanya sia-sia karena pada saat itu Liceo tengah dilanda nafsu birahi yang menggebu-gebu.

Liceo yang sudah kembali berhasil menyatukan tubuhnya dengan tubuh Lareina. Kini dia sedang menghentak-hentakkan pinggulnya dengan kuat. Dia mendongakkan wajah dengan mata terpejam rapat.

“Sherin, aku tidak seperti yang kau tuduhkan. Lihatlah, kini aku sudah berhasil membuktikan ucapannu itu bahwa aku adalah lelaki normal, aku tidak impoten. Kini aku sudah berhasil menggagahi seorang gadis yang masih virgin.”

“Aakkhh … aku baru pertama kali ini merasakan betapa nikmatnya sensasi bercinta. Dan aku kecanduan menginginkannya lagi dan lagi, tapi aku bahagia karena aku melepaskan keperjakaanku pada gadis yang masih perawan.”

Liceo terus meracau. Matanya masih terpejam dengan rapat, sedangkan wajahnya masih terus mendongak ke atas, tapi pinggulnya masih aktif menghentak-hentak bagian bawah milik Lareina.

Sementara Lareina yang berada di bawahnya, kini dia tengah menatap wajah Liceo dengan lekat. Betapa sakit dan hancur perasaan gadis malang tersebut ketika mendengar ucapan Liceo, yang ternyata menodai dan merudapaksanya hanya demi membuktikan kenormalan diri belaka.

Apalagi di saat Liceo sedang menggagahinya, tapi dia justru menyebut nama perempuan lain. Rasanya, Lareina bagaikan seorang wanita penghibur yang hanya dijadikan tempat pelampiasan nafsu birahi saja.

Lareina menggigit bibir dengan sangat kuat hingga terluka dan berdarah. Tanpa sadar, ia mendesis akibat merasakan sakit di bibir dan rasa sakit di bagian intimnya, yang terasa terkoyak-koyak akibat kebuasan Liceo.

Liceo yang masih fokus mendongak dan memejamkan mata itu, seketika terhenyak ketika dia mendengar desisan dari mulut Lareina. Kesadarannya langsung kembali, dia langsung menundukkan wajah.

Deg!

Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika matanya bersirobok dengan mata indah dan teduh milik Lareina, yang pada saat itu menatapnya dengan linangan air mata, kemudian matanya tertuju pada bibir Lareina yang terluka dan berlumuran darah. Dengan susah payah dia meneguk ludah, dan kini perasaannya semakin tidak menentu.

Perlahan, tangannya terangkat dan memegang bibir Lareina yang bengkak dan terluka itu. Ibu jarinya membelai dengan lembut bibir sensual tersebut, darah yang sudah mulai mengering kini memenuhi bibir Lareina.

“Apa yang kau lakukan? Mengapa bibirmu terluka seperti ini?” Liceo bertanya dengan lembut seraya menatap wajah cantik Lareina.

Lareina kembali menggigit bibirnya dengan sangat kuat, dan dia membuang muka ke samping. Mata Liceo melihat dengan jelas bagaimana Lareina yang tengah menyiksa dirinya sendiri.

“Nona, jangan menyiksa dirimu seperti ini. Apa yang kau lakukan ini salah. Lepaskan gigitan di bibirmu itu, bibirmu bisa hancur jika kau terus menggigitnya.” Liceo memegang bibir Lareina.

Akan tetapi, Lareina tidak mempedulikan ucapan Liceo. Dia terus saja menggigit bibir dengan semakin kuat. Liceo tidak tinggal diam, dia langsung berusaha melepaskan gigitan tersebut dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir Lareina.

Hingga akhirnya, kini Lareina menggigit bibir Liceo dengan sangat kuat hingga berdarah. Sekuat tenaga Liceo menahan rasa sakit itu, tapi dia hanya diam saja tanpa berniat melepaskan tautan bibir mereka.

Liceo yang tengah merasakan sakit di bibirnya itu seketika panik ketika dia sudah tidak merasakan pergerakan lagi dari sang gadis. Dan perlahan tautan bibir mereka pun terlepas. Dia menatap wajah Lareina yang kini sudah pucat pasi. Matanya membelalak lebar. Perasaannya benar-benar tak menentu.

“Nona, bangun. Nona, apa yang terjadi?” Liceo menepuk-nepuk pelan wajah Lareina.

Karena tidak ada pergerakan dari sang gadis, akhirnya Liceo bergegas melepaskan diri dari tubuh Lareina. Dia melepaskan penyatuan mereka. Rasa haus dan dahaga birahinya, kini seketika sirna.

Liceo segera memakai pakaiannya, lalu dia memakaikan pakaian Lareina. Namun, matanya gagal fokus ketika melihat bagian intim sang gadis yang membengkak, dan di sekujur tubuhnya penuh bercak-bercak kissmark akibat ulahnya.

Matanya kini terfokus pada bagian intim milik Lareina. Perlahan dia mengelusnya, lalu mengecupnya dengan lembut. Tingkah laku Liceo terlihat seperti psikopat.

“Ini milikku, hanya milikku seorang,” gumamnya.

Setelah selesai memakaikan kembali pakaian Lareina, Liceo pun bergegas keluar dengan membopong tubuh sang gadis. Damian yang masih berjaga-jaga di luar sangat terkejut melihatnya.

“Bos, apa yang terjadi? Apa yang sudah kau lakukan hingga gadis ini pingsan?” Damian mencerca Liceo dengan pertanyaan beruntun.

“Dam, nanti aku jelaskan. Sekarang, bagaimana caranya kita keluar dari hutan ini dan membawa gadis ini ke mobil. Apakah mobil tidak bisa dibawa kemari?” Liceo menatap sang asisten.

“Tunggu sebentar, Bos, aku akan mengambil mobil dulu. Ini adalah jalan setapak, jadi agak sulit untuk dimasuki kendaraan roda empat.”

“Lalu bagaimana? Apakah aku harus berjalan keluar hutan ini dengan menggendongnya?”

“Tunggu sebentar, Bos, aku akan segera kembali.” Setelah mengatakan itu, Damian pun berlari.

Sementara Liceo yang masih membopong tubuh Lareina, semakin merasa gelisah dan tidak tenang. “Aahh, lebih baik aku berjalan perlahan-lahan saja menuju jalan.”

Liceo pun berjalan menyusuri jalan setapak itu. Namun, seketika langkahnya terhenti ketika samar-samar dia mendengar suara orang yang sedang mengobrol.

Secepat kilat dia berlari ke arah kayu besar. Dia bersembunyi di sana, di bawah pohon besar tersebut sambil memperhatikan dua orang perempuan yang sedang berjalan sambil menggendong kayu bakar di punggungnya.

“Sudah sore begini, tapi aku belum melihat lagi Lareina. Ke mana gadis itu? Tidak biasanya dia libur mencari kayu bakar.”

“Mungkin dia sedang fokus merawat ibunya yang sakit parah. Dia kan hanya tinggal berdua dengan ibunya, jadi jika dia pergi mencari kayu bakar maka ibunya tidak ada yang mengurus dan merawat.”

“Kasihan sekali nasib Lareina. Ayahnya pergi meninggalkannya ketika dia masih kecil. Ayahnya lebih memilih wanita selingkuhannya daripada Lareina dan ibunya.”

“Iya, benar. Dan semenjak kepergian ayahnya itu, Lareina lah yang menjadi tulang punggung untuk membiayai sekolah dan kehidupannya dengan ibunya.”

“Kasihan sekali gadis malang itu. Sejak dia kecil, remaja, hingga kini dewasa, dia tidak pernah menikmati masa-masa indah kanak-kanak dan masa gadisnya seperti teman-temannya yang lain. Karena dia hanya fokus mencari uang dan mengurus ibunya yang sakit.”

Pendengaran Liceo yang masih normal, mendengar dengan jelas semua pembicaraan kedua perempuan tersebut, hingga mereka pun berlalu pergi meninggalkan hutan itu.

Mata Liceo kini menatap wajah Lareina. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba terasa sesak mendengar tentang sosok Lareina. Kini, perasaan bersalah dan menyesal menghinggapi hatinya.

Lareina memang tinggal di desa tersembunyi dan terpencil di Italia, yang belum dikenal luas oleh wisatawan karena berada jauh dari pusat kota. Pekerjaannya sehari-hari hanya mencari kayu bakar, lalu dijualnya pada tengkulak kayu. Kayu-kayu bakar tersebut akan dibawa ke pusat perkotaan untuk bahan bakar memanggang pizza.

‘A-apa yang sudah kulakukan pada gadis ini? A-aku telah menghancurkan masa depannya hanya demi ambisiku saja. Aku ini benar-benar lelaki biadab dan kejam,’ batin Liceo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status